Tri Hita Karana
Anand Krishna*
(Radar Bali, Kamis 12 November 2009)
Ada pepatah di kalangan mistik Sufi: “Dahulu, ‘Sufi’ sebagai sebuah istilah tidak ada, tapi orang menghayati ajaran Sufi. Sekarang, istilah ‘Sufi’ ada – tapi tak ada yang menghayati pesannya.”
Sayangnya, hal ini terjadi pula pada Tri Hita Karana – sebuah ajaran spiritual yang berakar dari dalam kebudayaan kuno di Indonesia dan masih sangat populer di Bali.
Tri berarti “Tiga”. Uniknya “3” adalah salah satu angka terpenting dalam semua tradisi agama. Ada Trinitas di kalangan umat Kristiani: Tuhan sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ada Trinitas Sufi, yakni Guru Spiritual atau Murshid; Nabi atau Rasul; dan Tuhan, Allah.
Trinitas asli Bali dan dari kepulauan Indonesia disebut Trimurti – “Tiga Bentuk”. Ketiga bentuk tersebut bisa dijelaskan dengan menguraikan kepanjangan kata “God”; “G” Generator, Pencipta, “O” Operator, Pemelihara dan “D” Destroyer, Pemusnah. Dalam bahasa kuno, ketiga fungsi tersebut dikenal sebagai Brahma, Visnu dan Shiva.
Dalam Trinitas masyarakat Bali, fungsi Tuhan sebagai pemusnah dibutuhkan sebagai prasyarat regenerasi. Secara berkesinambungan mencari keseimbangan dan harmoni, ketiga fungsi yang tampaknya berbeda membentuk sebuah lingkaran. Shiva sering disimbolisasikan sebagai Lingga atau organ kelamin pria, dengan Yoni atau organ kelamin wanita di bawahnya. Ini adalah simbol yang lengkap; ia mewakili ke-3 fungsi Tuhan tersebut.
Di zaman modern, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan angka “3” untuk merespon isu perubahan iklim dan dampaknya pada kita semua: Reduce (Kurangi), Reuse (Pakai Ulang) dan Recycle (Daur Ulang). Demikian pula di ranah ilmu pengetahuan, kita memiliki elektron, proton dan neutron. Neutron ialah Visnu atau aspek operasional Tuhan. Proton adalah Brahma; dan elektron adalah Shiva, sebagai elemen positif dan negatif.
Selain itu manusia memiliki tiga lapisan kesadaran utama: secara umum disebut tubuh, pikiran dan jiwa. Bisa juga disebut lapisan fisik, mental/emosional dan psikis. Dengan mengembangkan ketiganya, kita berevolusi secara spiritual.
Sekarang, lebih jauh tentang Tri Hita Karana….
Hita ialah “Kemakmuran”, dan Karana berarti “Sebab”. Tiga Sebab Kemakmuran, atau lebih tepatnya Sejahtera lahir-batin – itulah arti Tri Hita Karana. Atau, kalau Anda mau, bisa juga diartikan sebagai tiga panduan untuk hidup seimbang dengan keberadaan.
Di masa lalu, tak hanya penduduk di pulau Bali, tapi juga seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia menghayati hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Walaupun, di zaman tersebut, istilah Tri Hita Karana belum ada. Istilah tersebut baru dikenal kemudian. Para akademisi melacak penggunaan kembali istilah tersebut pada sebuah konferensi di Universitas Dwijendra Bali pada tanggal 11 November 1966.
Tapi, cukuplah tentang sejarah istilah tersebut; mari kita menelusuri kedalaman maknanya. Penjelasan umum yang diberikan di Internet dan media cetak tentang Tri Hita Karana begitu sederhana: ”Untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antara manusia dan Tuhan; antara manusia dan manusia lain, dan antara manusia dengan lingkungan alam.” Dalam bahasa Bali, kita memiliki 3 istilah untuk ketiga tipe hubungan tersebut: Parahyangan untuk hubungan kita dengan Tuhan atau para Dewa; Pawongan untuk hubungan kita dengan sesama manusia; dan Pelemahan untuk hubungan kita dengan lingkungan alam.
Para pakar sering menjelaskan hubungan kita dengan Tuhan secara vertikal. Sedangkan hubungan kita dengan sesama umat manusia dan lingkungan alam dikatakan sebagai hubungan horisontal. Bagaimana kita bisa membuat garis semacam itu? Saya juga ingin bertanya: Apakah ini mungkin?
Kesalahpahaman yang lebih parah ialah anggapan bahwa ada tingkatan dalam hubungan-hubungan tersebut; bahwa hubungan dengan Tuhan memiliki tingkatan lebih tinggi di atas hubungan dengan alam dan umat manusia.
Sebab utama menjadi ”Sejahtera”, Karana pertama dari Hita – ialah bukan menjaga keseimbangan dan harmoni antara kita dan Tuhan, tapi ”menyadari Tuhan dalam satu dan segalanya”. Ini berarti mengalami kemahahadiran Tuhan – yang merupakan sebab utama keberadaan manusia.
Sebab utama ialah dasarnya, di mana kedua sebab lainnya berdiri. Atau, lebih tepatnya, ketiga sebab tersebut pada hakikatnya Tri Tunggal. Tiga tapi Satu. Trinitas Suci abadi yang tak terpisahkan.
Kepercayaan kepada Tuhan tak berarti banyak kecuali diterjemahkan sebagai pelayanan penuh kasih terhadap kemanusiaan. Kasih Tuhan mesti membawa keceriaan di antara anggota masyarakat manusia. Apa gunanya kepercayaan kita pada Tuhan, jika kita tidak dapat hidup secara damai dan harmonis dengan tetangga di sebelah kita? Ini sebab kedua, Pawongan.
Pawongan bukanlah keseimbangan antara sesama umat manusia, tapi prinsip dari ”satu untuk semua, dan semua untuk satu” – di mana ”satu” bukanlah ego kecil kita, suka atau tidak suka, syak-wasangka dan kepentingan diri – tapi ”kebaikan bagi sebanyak mungkin orang”.
Sebab ketiga; Palemahan, mencurahkan perhatian bagi lingkungan: alam – tumbuhan dan binatang. Palemahan menuntut kesadaran untuk melihat energi yang sama berada di mana-mana, di dalam semua mahkluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan, sungai, pohon, dan sebagainya. Jauh sebelum Einstein menemukan teori Relativitas, para leluhur kita sudah mempraktekkannya.
Jauh sebelum Al Gore, PBB dan lembaga-lembaga lainnya mulai berbicara tentang perubahan iklim dan dampaknya pada kita semua; jauh sebelum pemanasan global menjadi isu panas – para leluhur kita sudah menasehati kita agar berdamai dengan lingkungan alam di sekitar kita.
Bagaimana kita bisa mencintai Tuhan, Sumber dan Asal Muasal segala sesuatu di balik yang ada ini, dan masih membenci keberadaan itu sendiri? Bagaimana kita tetap bersahabat dengan Sang pencipta, dan merusak ciptaannya? Inikah agama? Kaum radikal, ekstremis, teroris, bahkan politisi dan pelaku ekonomi picik yang hanya mementingkan diri, musti memahami, dan memahaminya dengan baik, bahwa mereka tidak beragama.
Tindakan kriminal yang dilakukan oleh kaum teroris atas nama agama – tak bisa dibenarkan. Sebutan ”Ia yang dikasihi oleh Allah” atau ”Kekasih Allah” yang mereka sering cantumkan didepan nama – menunjukakan itu semata khayalan dan halusinasi ciptaan mereka sendiri.
Penyebaran kebencian yang dilakukan oleh kaum fanatik tidak bisa dibenarkan ula. Karena, sesungguhnya merekalah yang melahirkan para ekstremis, radikal, dan teroris.
Sama halnya, dengan para pejabat, dan pengusaha, di Bali dan di mana saja, saatnya memahami, dan segera memahaminya – bahwa bila mereka tidak menghargai alam dan lingkungan, maka lingkungan dan alam pun tak menghargai mereka. Mereka dapat bermain dengan hukum dan peraturan buatan manusia, tapi mereka tak dapat menipu hukum keberadaan – hukum sejati alam ini.
* Penulis adalah aktivis spiritual, dan telah menulis lebih dari 130 buku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatannya di Bali, silahkan menghubungi Padma +62 818-0530-8808, atau kunjungi www.aumkar.org, www.anandkrishna.org (Tulisan ini pertama kali dimuat di The Bali Times, diterjemahkan oleh Nugroho Angkasa).