BALI, BELAJARLAH DARI MASA LALU. 24 Maret 2008

BALI, BELAJARLAH DARI MASA LALU

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 24 Maret 2008

 

Kekalahan memang tidak menyenangkan. Tak seorang pun mau kalah. Namun, adalah para bijak yang mau belajar dari kekalahan. Sebaliknya, mereka yang tidak bijak selalu berontak. Mereka akan menghalalkan segala macam cara untuk membalas dendam dan merubah kekalahan menjadi kemenangan.

Masih ada golongan ketiga, golongan para lemah. Golongan ini akan tenggelam dalam kekalahan, dan tidak pernah bangkit lagi. Selanjutnya, mereka hidup sebagai tumbuh-tumbuhan saja. Bertambah usia, tetapi tidak bertambah matang.

Bagi seorang politisi, bagi seorang pemimpin adalah sangat penting bahwa dirinya berada dalam golongan pertama. Bila menang ia akan melayani. Bila kalah ia akan belajar dari kekalahannya. Mereka yang tidak bijak, yang tidak mau menerima kekalahan, dan malah ngotot – berada dalam golongan kedua. Mereka tidak pantas menjadi pemimpin. Golongan ketiga, golongan para lemah – tidak perlu dibahas. Karena mereka tidak bisa berbuat apa pun bagi diri sendiri, apalagi menyumbang bagi bangsa dan negara.

Raden Wijaya, tempo doeloe, berhasil mengusir pasukan Cina di bawah pemerintahan Kublai Khan, dari kepulauan kita. Namun, pengusiran itu dilakukannya dengan tipu muslihat. Awalnya, ia menggunakan tentara Cina untuk meraih kekuasaan – tentunya dengan janji muluk bahwa selanjutnya ia akan tunduk pada pemerintahan Cina. Setidaknya ia akan mengakui kedaulatan Cina dan membayar upeti. Itu tidak terjadi.

Kesalahan lain yang dilakukan oleh Raden Wijaya adalah ia tidak memahami Budaya Cina saat itu yang sudah sangat terpengaruh oleh ajaran Kung Fu Tze dan Sun Tze. Pun, ia tidak memahami tabiat orang Mongol. Tak terbayang olehnya bahwa pengusiran yang dilakukannya itu akan “terpahat” pada jantung dan jiwa pemerintahan Cina untuk selamanya.

Dinasti berganti, namun Pemerintah Cina tak pernah melupakan kekalahan yang pernah mereka derita. Keadaan di negeri ini di pantau terus. Maka, ketika Majapahit berada pada puncak kejayaannya, dan baik para petinggi maupun rakyat terlena oleh kekuasaan dan kenyamanan materi – Kaisar Cina pun segera bertindak.

Dalam diri seorang putra – bukan putra mahkota – hasil perkawinan Raja Majapahit yang berkuasa dengan seorang putri Cina, ditemukanlah “cela” untuk menyusup ke dalam tubuh Majapahit dan merusaknya dari dalam.

Kaisar Cina dan para penasihatnya tahu betul bila kepulauan kita terlalu luas dan hampir tidak dapat dikuasai tanpa siasat dan tipu muslihat. Pertama-tama mereka mempengaruhi orang-orang yang berada di pesisir. Kebetulan sekali, banyak syah bandar keturunan Cina dan Arab. Maka, agama pun dijadikan alat untuk mempersatukan mereka, yang kemudian melakukan pembangkangan secara halus dan teratur. Sedemikian hebatnya strategi Kaisar Cina dan para pembantunya – sehingga kedatangan seorang Admiral untuk mengepung kita pun hingga hari ini dianggap sebagai kunjungan wisata dan budaya – bahkan persahabatan. Seorang putra terbaik kita pun bersedia untuk memainkan peran sang Admiral dalam film kolosal yang sudah hampir rampung – yang mana sesungguhnya tidak lebih dan tidak kurang dari alat promosi untuk tujuan-tujuan”tertentu”.

Sejarah selanjutnya sudah kita ketahui semua. Dinasti Sriwijaya yang pernah berkuasa hingga satu milenium, dinasti Singasari dan Majapahit yang berkuasa hingga hampir 4 abad – tergusurkan oleh para pedagang yang mempolitisir agama demi kekuasaan. Dalam kurang dari satu abad, kepulauan kita berubah menjadi lahan pertarungan antara para pedagang. Dan, kita dijajah hingga lebih dari 3 abad.

Sejarah ini dapat berulang…..
Mereka yang hidup dan berkuasa di pesisir selalu lebih peka terhadap perubahan – yang bersifat baik, maupun buruk. Sebab itu, orang-orang yang tinggal di pesisir semestinya memiliki kesadaran yang sangat tinggi. Semestinya Viveka, atau Fakultas Diskriminasi di dalam diri mereka – bekerja secara optimal.

Mereka yang berada di pesisir semestinya memiliki Jiwa Satria – Pemberani, dan Tidak Mementingkan Diri. Inilah Dharma para Petinggi dan Rakyat di Pesisir. Ketika Dharma ini terlupakan oleh Petinggi maupun Warga Majapahit yang tinggal di pesisir – maka runtuhlah kerajaan itu.

Semestinya Warga dan para Petinggi kita yang tinggal di pesisir Bali – belajar dari sejarah masa lalu ini. Mereka sangat rentan terhadap pengaruh dari luar. Bila jiwa mereka lemah, jika iman mereka tidak kuat – maka mereka dapat tergelincir. Itu tidak boleh terjadi. Karena, sejarah mencatat bila pesisir hilang, kedalaman pun ikut hilang.

Vinaash Kaale, Vipritah Buddhih – demikian bunyi sebuah pepatah dalam bahasa Sanskerta. Artinya: Datangnya Kebinasaan Diawali oleh Hilangnya Akal Sehat. Dalam kekalahan dan kemenangan – kita tidak boleh kehilangan akal sehat kita. Karena, hilangnya akal sehat itu pula yang kemudian menciptakan tabir, sebuah tirai tebal kebodohan, persis di depan mata kita. Kita tidak bisa lihat apa yang ada di balik tirai itu. Kita mulai mempercayai gambar-gambar yang diproyeksikan di atas tirai itu saja. Kita mulai mempercayai bayang-bayang.

Saat ini Bali membutuhkan Rekonsiliasi dan Kolaborasi Kolosal. Di masa lalu, ancaman yang dihadapi oleh pulau ini tidak seberat apa yang sedang dihadapi saat ini. Demokrasi baik adanya, dan memang semestinya selalu diupayakan, dijunjung tinggi. Tetapi, apa arti demokrasi yang tidak dapat menyejahterakan rakyat? Apa arti demokrasi dimana rakyat masih tidak menikmati keadilan sosial dan hukum rimba masih berlaku?

Demokrasi kita di Indonesia masih belum dewasa – masih mesti dijaga, dirawat, dimatangkan dan dibesarkan. Untuk itu, pertama-tama para petinggi mesti bersatu-padu dan bekerja sama…. Bukan demi partai, bukan demi kekuasaan apalagi kepentingan pribadi – tetapi demi Bali!

Bila kesadaran kita dapat ditingkatkan sedemikian rupa hingga kepentingan Bali berada pada urutan pertama – maka kita dapat memberi warna baru pada Nilai Demokrasi. Kita dapat membuktikan kepada anak-anak kita yang masih muda, kurang pengalaman dan terpengaruh oleh ide-ide asing yang tidak sesuai dengan budaya kita – bahwasanya Nilai-Nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila dan berlandaskan Budaya Asal Nusantara itu – MASIH MAMPU MENJAWAB SETIAP PERSOALAN BANGSA.

Keberadaan Bali adalah untuk memberi arahan kepada bangsa dan negara yang besar ini. Maka, janganlah kau sendiri kehilangan arah. Para petinggi partai di pusat hendaknya memahami peran Bali itu. Mereka hendaknya tidak menyebabkan kegaduhan yang dapat merugikan Bali. Karena, kerugian Bali juga berarti kerugian mereka sendiri. Bahkan, kerugian negara dan bangsa….

Kelak, siapapun yang terpilih sebagai Gubernur Bali – mohon dengan amat sangat janganlah melupakan peranmu sebagai Pelayan Bunda Bali yang memiliki sekian juta putra-putri – baik yang berada di Pulau Bali, maupun yang tinggal di luar Bali.

Akhir kata, siapapun yang berkuasa di pesisir, saat ini ataupun di kemudian hari – jagalah integritas dirimu. Janganlah kau tergoda oleh kekuasaan… Karena, kau “terpilih” untuk menjadi prajurit, menjadi Pandu Ibumu….. Apa arti takhta dan mahkota, bila kedaulatan tidak terjaga dan terselamatkan? Sekian dulu……

* Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.californiabali.org/, http://www.aumkar.org/)