Belajar dari Pakistan, 5 Maret, 26 Maret dan 9 April 2007

Belajar dari Pakistan

Anand Krishna
Radar Bali, 5 Maret, 26 Maret dan 9 April 2007

 

Masih ingat tahun ketika Borobudur dibom? Masih ingat siapa yang disangka sebagai pelakunya? Siapa yang ditangkap dan dihukum, dan siapa pula yang melarikan diri?

Banyak diantara kita yang barangkali sudah lupa. Tahun 1985 tidak terekam dalam ingatan kita sebagai tahun ketika sebuah saksi peradaban dunia itu dibom. Dulu tidak boleh, kemudian enggan, sekarang cuek – kita, bahkan tidak mau lagi membicarakan perkara itu. Ah, sudahlah. Itu kan dulu.

Kemudian, pada tahun 2001 Rezim Taliban di Afghanistan membom monumen serupa di negeri mereka sendiri, di kota Bamiyan. Kita tidak peduli, “Itu bukan urusan kita”. Memang ada beberapa suara yang “menghimbau” dan “menganjurkan” supaya monumen tersebut tidak dihancurkan. Tetapi, ya sebatas itu saja.

Kita tidak menekan Pakistan, satu-satunya negara di seluruh dunia, yang memiliki hubungan dengan rezim terkutuk itu, untuk menekan Taliban dengan ancaman pemutusan hubungan diplomatik. Padahal, kita dapat melakukannya. Ingat, walau Indonesia bukanlah Negara Islam, namun jujmlah penduduknya yang beragama Islam melebihi seluruh umat Islam di Timur Tengah! Saat itu, jika kita menekan Pakistan dan Pakistan menekan Taliban, barangkali kepala suku mereka, Omar Abdullah, tidak menjadi ge-err dan melakukan hal-hal lain yang lebih destruktif.

Khair, sekarang Taliban sudah tumbang. Warga Afghanistan sudah bebas, merdeka. Kaum Hawa sudah boleh meraih pendidikan, belajar apa saja, dan bekerja. Kelembutan di dalam diri manusia pun tengah diupayakan untuk muncul kembali lewat musik dan seni.

Kembali pada Borobudur di negeri kita dan Bamiyan di Afghanistan. Dapatkah kita melihat kesamaan pada pola di balik kedua kejadian tersebut? Para pelaku dan aktor intelektual di balik kedua kejadian tersebut – adalah orang-orang yang boleh disebut lokal. Mereka membom monumen milik mereka sendiri. Mereka berusaha untuk menghancurkan simbol-simbol peradaban mereka sendiri. Tanya kenapa?

Karena, mereka terpisahkan dari akar budaya mereka sendiri. Mereka lebih menghargai budaya asing, dalam hal ini, Budaya Arab, sebagaimana diintepretasikan oleh kelompok-kelompok radikal yang sudah ada sejak zaman Baginda Rasul. Sejak masa itu pula sesungguhnya mereka sudah ditolak sebagai Khawarij, Tak Berguna. Namun, penolakan itu tidak mematikan mereka. Tidak lama kemudian, mereka muncul lagi sebagai Mazhab atau Aliran Hambali. Itu pun ditolak ramai-ramai, dan mereka mulai bekerja di bawah tanah. Mereka mulai mempengaruhi para haji dari Asia yang datang ke Tanah Suci. Beberapa dari I ndonesia, beberapa dari India – dan mereka berhasil membuat jaringan di seluruh Asia.

Mereka juga banyak belajar dari sejarah mereka di masa lalu. Maka, mereka sudah tidak menggunakan satu identitas lagi. Kelompok Wahabi di Saudi pun menolak dirinya disebut Wahabi. Mereka, menurut pengakuan mereka sendiri, adalah Pewaris Ajaran Nabi yang paling murni. Dengan dalih itu, ternyata mereka dapat mepenetrasi dan melakukan inflitrasi dalam kelompok-kelompok lain.

Ini yang selama ini terjadi di negeri kita. Alhasil, banyak masjid yang diatas kertas masih berada di bawah naungan dua kekuatan besar di tanah air, yaitu NU dan Muhammadiyah, sesungguhnya sudah berpindah tangan dan menjadi lahan kelompok-kelompok radikal, yang tentunya tidak mau disebut radikal.

Pemboman Bali dua kali, juga di tempat-tempat lain, dan ancaman yang masih tetap ada – tidak dapat dipisahkan dari radikalisasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut. Mereka telah berhasil menciptakan manusia-manusia robot seperti Imam Samudera, Amrozi, Mukhlas dan lain-lain, yang sudah tidak dapat menggunakan akal sehat, apalagi berperasaan dan berempati terhadap sesama manusia.

Apa yang sedang kita alami saat ini, pernah dialami oleh Pakistan. Presiden Pakistan Pervez Musharraf mengakuinya sendiri secara blak-blakan. Cara kerja kelompok-kelompok ini memang sudah lebih canggih. Mereka melakukan inflitrasi ke dalam pola hidup masyarakat kita “piece by piece” – pelan-pelan – sebagaimana diakui sendiri oleh seorang simpatisan yang saat ini berada dalam kabinet. Lagi-lagi, tanya kenapa?

Kelompok-kelompok radikal ini, sebagaimana telah menjadi rahasia umum, dibesarkan, bahkan didukung oleh elemen-elemen dalam tubuh kita yang lebih mementingkan kedudukan dari pada rakyat. Mereka selalu membutuhkan bantuan dari kelompok-kelompok tersebut saat pemilihan umum. Untuk menggerakkan massa, untuk berkampanye, untuk seribu satu macam keperluan lainnya.

Sebagaimana diakui oleh Presiden Pervez Musharraf dalam otobiografinya: “….. kita lupa bahwa ketika kita membesarkan dan menggunakan orang dengan membakar semangat keagamaannya secara berlebihan demi tujuan tertentu – maka orang itu pun sesungguhnya berada di pihak kita untuk sementara waktu demi kepentingan taktisnya sendiri…… Kita – Amerika Serikat, Pakistan, Arab Saudi, dan mereka semua yang berpihak dengan kita dalam kegiatan Jihad di Afghanistan – telah menciptakan monster bagi diri kita sendiri.”

Demikian kira-kira terjemahan bebas dari otobiografi beliau yang baru terbit tahun lalu. Bantuan A.S. bagi kelompok-kelompok Mujahideen di Afghanistan, diteruskannya lewat Pakistan dan Saudi. Kepentingan Amerika hanyalah satu – mengusir Sovyet dari wilayah Afghnaistan dan memproklamasikan supremasinya. Demi kepentingan itu, Paman Sam menggunakan pundak Pakistan dan Saudi Arab untuk menggunakan senapannya dan membidik siapa saja yang dianggapnya sebagai musuh peradaban. Peradaban, sebagaimana paman mengartikannya, mendefinisikannya.

Salah satu kelompok Mujahideen ini, yang kemudian menjelma menjadi Taliban. Pakistan, sebagaimana diakui oleh Pervez, berharap bahwa Taliban dapat menyejahterahkan rakyat Afghanistan dan membawa kemakmuran di negeri itu. Ternyata tidak. Taliban hidup dalam awang-awang, dalam sebuah dunia mimpi, alam khayalan, yang jauh dari kenyataan. Bagi Pervez, sekarang, para ulama Taliban itu “setengah matang”. Semangat mereka bertolak belakang dari “Jiwa Islam yang Moderat, Toleran dan Progresif”.

Secara gamblang Pervez menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok radikal di negerinya memperoleh angin dari pihak “penguasa” dari waktu ke waktu, sehingga kian hari mereka membesar.

Pertama, di zaman Bhutto. Ia menuduh Bhutto sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas keterpurukan kondisi negerinya. “Antara lain,” tulis Musharraf dalam otobiografinya, “dia adalah orang pertama yang memenuhi tuntutan-tuntutan agama (yang dimaksud adalah kelompok-kelompok agama yang radikal – a.k.). Ia melarang minuman keras, judi dan menyatakan Hari Jumaat sebagai Hari Libur Nasional, bukan Hari Minggu lagi. Itu adalah kemunafikan pada puncaknya karena setiap orang juga tahu bila dia sendiri tidak yakin pada apa yang dilakukannya.”

Jelas, ia melakukannya demi kepentingan politik. Ia membutuhkan support dari kelompok-kelompok tersebut.

Kemudian Zia, “penguasa” yang menjatuhkan hukuman mati kepada Bhutto. Ia memberlakukan hukuman cambuk, yang menurut Musharraf adalah “sangat tidak manusiawi dan memalukan”.

Selanjutnya, “Presiden Zia, di tahun 1980, menyelesaikan apa yang dimulai oleh Bhutto menjelang masa-masa terakhir rezimnya – yaitu sepenuhnya memuaskan kelompok agama (lagi-lagi yang dimaksud aalah kelompok-kelompok radikal dalam agama – a.k.). Zia tidak memiliki landasan politik….. (Maka – a.k.) ia mulai menghadiri acara-acara keagamaan secara berlebihan untuk menununjukkan kemitraannya dengan kelompok tersebut. Secara resmi ia melarang musik dan hiburan, kendati sebagaiman saya diberitahu, dia sendiri tetap menikmati musik semi-klasik secara sembunyi-sembunyi.”

Tubuh Pakistan masih berdarah-darah. Keadaan kita pun tidak jauh lebih baik. Apakah kita masih tidak mau belajar dari pengalaman Paksitan? Betapa bodohnya kita.

Sebagaimana penguasa di Pakistan membesarkan kelompok-kelompo radikal disana, kita pun telah melakukan hal yang sama. Kelompok-kelompok tersebut di Pakistan telah menjelma menjadi monster dan siap melahap tubuh Pakistan sendiri. Disini pun sama.

Saatnya, rakyat yang sadar tidak berdiam diri. Saatnya rakyat Indonesia bersuara dan mengatakan secara tegas: “Wahai pemimpin-pemimpin bangsa, hentikanlah permainan maut kalian!”

Setiap warga Indonesia bertanggunjawab atas keterpurukan nasib negara dan bangsanya. Terlebih lagi kita yang tidak bersuara. Kita yang tidak peduli terhadap apa yang terjadi di negeri kita.

Barangkali, catatan sejarah yang singkat namun tertulis dengan darah ini, dapat menyadarkan kita:

Tanggal 29 September tahun 1994: Pemerintah India menangkap Omar Sheikh karena terlibat dalam pertikaian dan aksi teror di Kashmir. Ia diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan dijatujhi hukuman penjara selama 7 tahun.

Tahun 1995: India terpaksa membebaskan dia bersama rekannya, Maulana Masood Azhar. Terpaksa, karena pesawat komersil Indian Airlines bersama awak pesawat dan hampir 200-an penumpangnya disandera oleh para teroris yang kemudian mendarat di Afghanistan, jelas atas persetujuan Taliban. Setelah “tukar-menukar”, Taliban membiarkan para penjahat, baik yang baru dibebaskan Indi, maupun yang menyandera penumpang Indian Airlines – meninggalkan Afghanistan dengan aman.

Omar Sheikh dan maulana Masood, keduanya kemudian pergi ke Pakistan dan menetap di kota Lahore. Pemerintah Pakistan menutup mata sebelah.

Lebih-lebih lagi, seluruh dunia yang beradab, termasuk Paman Sam, tidak pernah menekan Pakistan dan menegurnya: “He, apa-apan kamu, memberi suaka kepada para penjahat dan teroris!”

Seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal para penyandera telah membunuh seorang penumpang selama aksi sandera itu berjalan. Luar biasa!

Tahun 2002: Omar Sheikh yang sama ini menyandera Jurnalis Pearl asal Amerika Serikat, yang kemudian dibunuhnya.

Paman Sam baru berteriak. Nyawa seorang warga India tidak berarti apa-apa. Nyawa seorang Amerika tentunya lebih berarti.

Tetapi, ya itu urusan Paman. Kita mengurusi diri sendiri.

Pelajaran apa, hikmah apa yang dapat kita petik dari pengalaman Pakistan? Keadaan kita, sebagaimana telah saya jelaskan, hampir mirip dengan kondisi Pakistan.

Hukuman cambuk yang oleh Pervez disebut “tidak manusiawi dan memalukan” dan ditinggalkannya, malah diadopsi di negeri ini dengan menggunakan dalih agama.

Untuk memastikan bahwa kelompok Wahabi tidak mengacaukan Saudi Arab, maka dicarikannya bagi mereka lahan untuk bereksperimen. Dan. Lahan itu adalah Indonesia. Di negeri kita ini, kelompok tersebut, dengan menggunakan berbagai atribut dan identitas yang berbeda dan membingungkan, telah beroperasi sejak lama.

Saat ini, partai-partai politik kita boleh diam dan secara diam-diam menggunakan jasa mereka – kelak suatu ketika mereka sendiri akan menjadi korban. Tinggal tunggu waktu saja.

Bersama aliran investasi dari beberapa negara Arab, bisa jadi radikalisme pun mendapatkan suntikan dana. Orang-orang kita sendiri, dari tokoh agama ternama dan pejabat tinggi negara – semuanya digunakan, dimanfaatkan untuk membesarkan kelompok-kelompok tertentu di tanah-air. Atau, setidaknya untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok tertentu, orang-orang tertentu, tidak diseret ke pengadilan, walau terbukti bersalah. Jika diseret pun, hanya untuk formalitas, dijatuhi hukuman, diberi remisi, dan dibebaskan.

Ini adalah Bom Waktu. Para radikal yang sedang berkeliaran bebas itu adalah monster-monster yang tidak berperikemanusiaan. Merek bukanlah orang-orang Islam. Mereka tidak mengerti arti Islam. Mereka bukanlah pembawa berkah bagi alam, mereka adalah pembawa bencana.

Adalah pertahanan kebudayaan yang dibutuhkan oleh bangsa kita. Hanyalah pertahanan itu yang dapat menyelematkan bangsa ini. “Ajeg Bali”, saya berharap akan menjelma menjadi “Ajeg Nusantara” – kembalilah pada akar budaya Nusantara. Kuatkan akar itu. Bersihkan pohon kesatuan dan persatuan ini dari ilalang yang merong-rongi pertumbuhannya. Dan, Insya Allah, Indonesia pasti Jaya! Aum Avighnam Astu – Sadhu, Amen…..