BOM BALI, RUU PORNO & KONSPIRASI ASING (Radar Bali, 12 Oktober 2008)

BOM BALI, RUU PORNO & KONSPIRASI ASING

Anand Krishna*
Radar Bali, Minggu 12 Oktober 2008

 

Peringatan Bom Bali tahun ini semestinya kita isi dengan kesadaran, dengan pencerahan akan apa yang berada di balik aksi pemboman itu.

Samudra, Amrozi dan Muchlas hanyalah para pelaku aksi kejahatan. Otak di balik mereka, dan mereka yang membiayai seluruh operasi – tidak hanya bebas, tetapi diperlakukan secara istimewa.

Perlakukan isrtimewa juga dinikmati oleh trio penjahat yang sudah dijatuhi hukuman mati. Mereka bisa muncul ke ruang pribadi kita lewat layar teve, berpakaian rapi, dan sambil mengutuk siapa pun yang menjatuhi hukuman mati kepada mereka. Pemerintah, Yang Mulia Bapak Presiden – semua di caci-maki secara bebas. Pun mereka tidak merasa bersalah atas tindakan keji mereka. Kenapa? Karena, yang terbunuh adalah “kafir”.

Para rohaniwan kita, lembaga-lembaga keagamaan, bahkan partai politik dengan landasan agama – semuanya membisu. Tidak ada yang memberi reaksi. Ini pertanda apa? Para ulama di India, termasuk dari kalangan garis keras Deobandi, juga para ulama di Pakistan – semuanya mengutuk tindakan terorisme dan menyatakan bahwa para teroris bukanlah orang beragama, mereka bukan Muslim. Di sini malah ada yang membela mereka atas nama Islam. Tak ada yang menegur mereka. Kenapa?

Beberapa hari terakhir ini saya sempat didatangi oleh beberapa orang asing, termasuk mereka yang anggota keluarga maupun kerabatnya menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh manusia-manusia tanpa moral dan telah menodai nama baik agama.

Pada umumnya, mereka tidak memiliki rasa dendam ataupun benci. Mereka hanya menyayangkan sikap pemerintah kita yang dianggapnya terlalu “lembek”. Dengan menunda hukuman mati terhadap para pembunuh berdarah dingin itu, pemerintah telah mengundang berbagai pertanyaan dari mereka yang sadar, cerah dan memahami duduk perkaranya. Termasuk tentang hukum di negeri ini.

Pertanyaan yang muncul dari warga asing baik pendatang maupun penduduk, antara lain adalah: Apakah hukum kita membenarkan “penyebaran kebencian” lewat media? Apakah media mesti memberitakan apa saja atas nama kebebasan, termasuk cacian dan makian para penjahat, tanpa memikirkan dampak emosional terhadap keluarga para korban? Bagaimana pula hukum kita tentang penolakan terhadap kesepakatan bersama bangsa ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila?

Mereka tahu sejarah, bila yang mempersatukan kita semua dalam kerangka NKRI adalah ketiga hal tersebut diatas. Mereka pun tahu tentang pengorbanan para raja-raja, termasuk yang paling menonjol adalah kesiap-sediaan Sultan Yogyakarta untuk bergabung dengan NKRI. Tanpa semuanya itu, Republik Indonesia tak akan pernah lahir. Kemudian, apakah ulah mereka yang “baru muncul” dan ingin menodai kesepakatan bersama itu mesti dibiarkan?

Ada apa di balik semua ini?

Para pelaku kejahatan tidak dihukum segera, walau hukumannya sudah jelas. Mereka diperbolehkan mencaci-maki di depan layar televise atas nama demokrasi dan kebebeasan bersuara. Padahal, apa yang mereka lakukan itu sudah melanggar tata susila. Demokrasi dan kebebasan tidak berarti saya bisa melakukan apa saja. Tidak.

Sementara itu, partai-partai politik yang selama ini mengaku sebagai pembela kebenaran, keadilan, reformasi, perjuangan rakyat, golongan kecil, dan sebagainya – semua membisu.

RUU Porno yang dapat mengancam persatuan negeri kita – dibiarkan bergulir terus. Ada politisi dan partai politik yang mendukungnya. Kenapa? Apakah urusannya pornografi semata? Tidak, untuk itu sudah ada peraturan yang jelas. Tidak perlu undang-undang yang akan memberi kekuasaan dan otoritas kepada sebagaian masyarakat untuk mementukan apa yang “bisa dianggap” porno, menggairahkan, dan sebagainya.

Di luar sana, ekonomi dalam keadaan amburadul. Mereka yang jatuh, mereka yang merugi – menguntungkan siapa? Karena, menurut ilmu ekomoni bila ada yang merugi sudah pasti ada yang mengambil keuntungan dari kerugian itu.

Bila kita cukup cerdas, pikiran kita cukup jernih dan hati kita cukup kuat untuk menerima kebenaran – maka dengan jelas sekali kita dapat melihat siapa yang akan ambil keuntungan dari semuanya itu.

Bom Bali adalah konspirasi dari kelompok yang sama untuk memunculkan konflik baru di tanah-air. Untung manusia Bali cukup sadar dan tidak bereaksi. Maka, para konspirator pun gagal. Kemudian, bom kedua – gagal juga. Bali tetap tenang.

Sekarang, para konspirator itu menggunakan antek-antek mereka – sayangnya mereka adalah saudara-saudara kita sendiri yang kebetulan berada dalam posisi yang menguntungkan tetapi hanya mementingkan keuntungan pribadi – untuk memecah-belah bangsa yang besar ini.

Bali dihadapkan dengan Lombok. Pariwisata Bali yang sering dikaitkan dengan kemaksiatan, dihadapkan dengan pariwisata agamis. Siapa yang menanam modal di Lombok? Apa pula hubungan para pemodal itu dengan beberapa pejabat dan partai politik di tanah air?

Partai-partai politik yang sering menampilkan diri sebagai partai yang paling bersih – perlu diaudit, dana kampanye mereka dari mana? Para konsultan dan event organizers yang mereka bayar mahal itu dibiayai oleh siapa? Adakah para kader mereka tahu tentang semuanya itu? Mereka yang disebut-sebut sebagai penyumbang memperoleh dana dari mana?

Dari Bom Bali hingga RUU Porno – semuanya adalah bagian dari konspirasi yang sudah dipikirkan dan direncanakan secara matang. Sayangnya, beberapa media kita, bahkan insan media yang selama ini saya kenal baik secara pribadi – sudah menjadi korban dari cerita-cerita yang ditampilkan di permukaan. SEMOGA RADAR BALI DAN KELOMPOK JAWA POS TIDAK IKUT TERACUNI. Sekian dulu, Salam Indonesia!

*Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.aumkar.org/, http://www.californiabali.org/)