Budaya Malas bukan Budaya Bali, 7 April 2008

Budaya Malas bukan Budaya Bali

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 7 April 2008

 

Salah satu sebab “kemiskinan” rakyat Indonesia adalah “budaya malas” yang telah mewabah dan menyebabkan “radang kemelaratan” pada sendi-sendi bangsa kita.

Seingat saya, ketika saya masih menjadi seorang pengusaha, budaya malas ini justu berawal dari para pejabat kita. Saat itu, banyak perusahaan asing yang membuka usaha di sini dan untuk mempermudah perijinan maka para “bapak” dan “ibu”, bahkan “anak” mereka yang masih di bawah umur pun ditawari “saham kosong”. Setelah ijin diperoleh dan usaha berjalan, para pemegang saham kosong tersebut mulai memetik bunga dari tanaman yang sesungguhnya bukanlah milik mereka.

Ada kalanya, para bapak, ibu dan anak mereka itu bahkan sudah mulai memetik bunga sebelum usaha berjalan. Sama-sama tahulah, untuk memperoleh ijin kan dibutuhkan biaya – uang kopi, uang transport dan sedikit receh untuk hiburan. Namanya juga manusia, hiburan kan penting!

Fase berikutnya adalah, ketika para bapak dan ibu menjadi sedikit lebih pintar. Sebelum ada permintaan, mereka sudah mengantongi ijin untuk industri-industri strategis. Kemudian, tinggal “promo” sedikit: “He, aku punya ini lho…” Dan, mereka yang butuh sudah pasti datang sendiri untuk mengadakan negosiasi dan transaksi.

Fase mutakhir, fase kita saat ini adalah fase para bapak dan ibu lulusan universitas-universitas di luar – maka mereka pun sedikit lebih pintar lagi. “Jual-Beli” bisa dikamuflase menjadi apa saja. “Transaksi” bisa berkedok apa saja. “Negosiasi” pun sudah tidak semudah dulu. Bapak dan ibu sekarang sudah ngerti harga.

Hasilnya apa?
Salah satu perusahaan provider jasa telekomunikasi dengan sangat mudah bisa menjual hampir seluruh sahamnya kepada perusahaan asing, dan kali ini perusahaan asing itu dari Saudi. Boleh dibilang pemain yang relatif baru. Karena, selama ini yang mengincar sektor telekomunikasi adalah BUMN Singapura dan Malaysia.

Pemerintah bisa berbuat apa?
Namanya juga perdagangan bebas.

Tak seorang pun peduli terhadap dampak “penjualan saham” seperti itu terhadap bangsa dan rakyat Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di sini, sudah jelas akan memilih tenaga-tenaga dari luar untuk key positions, walaupun key positions itu sering disulap sedemikian rupa sehingga bunyinya sedikit lebih sopan “konsultan asing”.

Para direktur lokal boleh menyimpan, memakai, menggelar, atau melakukan apa saja terhadap “posisi” yang masih tertera di atas kartu nama mereka. Padahal, posisi itu sebenarnya sudah “kosong”. Sudah dibuatkan posisi baru diatasnya yang tidak “nampak”, tidak terlihat, tidak nyata, gaib.

Para opsir tidak disuruh lengser. Ada kalanya mereka malah dipindahkan ke tempat yang lebih “terhormat”, dimana mereka tidak perlu bicara, apa lagi melakukan sesuatu. Pun, jika boleh berbicara maka “kata-kata” mereka dianggap hiasan saja.

Siasat ini, strategi ini sungguh luar biasa. Orang-orang kita dibuat terbiasa memakan gaji buta. Mereka dibuat menjadi pemalas. Jual ijin saja sudah untung, malah mendapatkan saham kosong – untuk apa bekerja? Shopping yuk ke Shanghai…..

Wah, sekarang saya diangkat jadi direktur…. Tidak banyak pekerjaan, staff saya dari Hongkong, dari India, dari mana-mana, pokoknya pintar-pintar deh. Tidak seperti orang kita, malas, bodoh….”

Sang Direktur tidak tahu bila dirinya sendiri pemalas dan bodoh. Itulah dua kualifikasi utama sehingga ia diangkat menjadi direktur. Di atasnya ada orang asing yang mengambil keputusan, di bawahnya orang asing untuk melaksanakannya. Di tengah adalah dirinya – duduk diatas kursi yang layaknya kosong, dan menjabati jabatan kosong pula.

Harapan saya, Bali tidak tertular budaya malas seperti ini. Doa saya, Bali tidak kena infeksi malas. Karena kondisi kesehatan Bali saat ini tidaklah prima. Daya tahan tubuhnya tidak terlalu baik.

Bali mesti “mau” bekerja.
“Kemauan” untuk bekerja ini yang belakang hari agak mengendur. Tanpa “kemauan” yang kuat, tanpa “niat” yang kuat – kita akan kehilangan segalanya.

Para turis asing adalah tamu kita. Bali mesti menjamu mereka dengan baik. Para pebisnis asing adalah klien kita. Bali mesti melayani mereka dengan baik. Orang asing yang hendak tinggal di Bali, mesti diterima sebagai warga Bali. Mereka diajarkan sopan-santun Bali dan budaya Bali. Apapun agama dan kepercayaan mereka, tetaplah mereka mesti tunduk, menghargai dan meapresiasi Budaya Bali. Patung-patung di Bali mesti diterima tidak sebagai berhala, tetapi sebagai simbol-simbol suci dan diperlakukan sebagaimana mereka memperlakukan simbol-simbol yang disucikan dalam agama serta kepercayaan mereka.

Bali tidak boleh menyediakan lahan untuk orang asing, kemudian mereka yang menyangkul, mereka yang memupuki, mereka yang mengairi, mereka yang menanam dan kita tinggal duduk diam, mengawasi tanaman mereka. Uang receh yang kita peroleh hanyalah untuk jasa sebagai penjaga.

Mari kita bekerja sama dengan orang asing. Menyangkul bersama – bahkan kalau bisa urusan cangkul itu biar dilakukan oleh saudara-saudara kita sendiri. Biar mereka yang tidak punya lahan bekerja sebagai tukang cangkul. Pun soal pengairan, mari kita sendiri yang melakukannya. Ya, kalau tidak punya uang untuk membeli pupuk – biarlah orang asing yang mendanai kita. Kemudian, kita menanam bersama dan berbagi hasil.

Anak-anak muda kita mesti dibebaskan dari perbudakan pada Botol Bir. Silakan menikmati arak Bali, tetapi janganlah diperbudak oleh arak. Demi sebotol bir, janganlah menjadi tukang jaga…. Janganlah melindungi klab-klab malam, entah milik orang kita sendiri atau orang asing – demi sedikit receh.

Tukang jaga malam, mesti tidur di siang hari.
Sekali tukang jaga, tetap tukang jaga – kita menjadi pemalas. Dan, ketika malas menjadi budaya – Bali akan kehilangan segalanya.

Bali adalah bumi para satria pemberani, para pedagang ulet dan para cendekiawan yang berperasaan. Bali adalah pulau para pekerja penuh semangat. Janganlah menggadaikan keberanianmu, keuletanmu, kecendekiaanmu dan semangatmu demi sedikit uang yang kau peroleh secara mudah.

Angkatlah cangkulmu…. Saatnya untuk bekerja, Bali.

* Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.aumkar.org/, http://www.californiabali.org/)