Global Warming, Siapa Takut?
Radar Bali, Senin 10 Desember 2007
Asal ada fulus, semuanya beres….. Kepercayaan kita terhadap Fulusuddin memang luar biasa, apa pun agama kita, apa pun latar belakang kita, apa pun aspirasi politik kita – dalam fulus dan oleh fulus kita dipersatukan.
Kepercayaan saya terhadap betapa pentingnya fulus bagi bangsa kita dan bagi anak bangsa – kiranya semakin bertambah sejak menghadiri Dagelan Kolosal yang sedang digelar di Bali dan difasilitasi oleh pemerintahan yang sah, pilihan kita. Pun, diamini oleh para wakil rakyat yang sah pula, sama-sama pilihan kita.
Sejak hari pertama tanggal 3 Desember, hingga malam hari kelima tanggal 7 Desember – kita sibuk berbicara tentang urusan fulus. Media pun mengangkat perkara fulus dan keuntungan ratusan milyar di sektor pariwisata selama dagelan itu berlanjut. Fulusuddin, berjayalah dikau yang kupertuanagungkan!
Negara-negara berkembang seperti kita membutuhkan fulus untuk tidak menebang pohon, untuk melestarikan alam. So pasti jo…. Bisa bikin apa tanpa uang? Negara-negara maju yang punya banyak uang harus memenuhi kebutuhan kita – lho ngaak seberapa koq….. Kebutuhan kita hanya 37.5 trilyun rupiah per tahun. Di negara-negara maju, uang segitu tidak cukup untuk belanja shampo dan kosmetika setiap tahun. Uang receh saja, masak ngaak rela? Tuhan Memberkati, terima kasih…
Kita telah menjadi pengemis.
Adalah sangat membanggakan bahwa kita tidak mengemis di lapangan terbuka. Kita tidak minta-minta di depan pintu mereka. Kita mengundang mereka untuk datang kesini untuk memberi sedekah. Ini kan luar biasa…. Mereka juga menghargai posisi kita sebagai pengemis bangsawan. Tepuk tangan, horreeee!
Dalam pidato pembukaannya, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Tuan Boer mengharapkan Kebijaksanaan, Kasih dan Visi bagi semua peserta konperensi. Kiranya, beliau tahu persis bila hanyalah dengan tiga hal itu kita dapat menyelesaikan persoalan iklim.
Pun, Orangtua kita, the Great Grand Old Man, Bapak Emil Salim…. Kiranya beliau pun tahu persis bila adalah kerelaan negara-negara maju untuk mengurangi emisi dan kesadaran negara-negara berkembang untuk tidak mencontohi gaya hidup negara-negara maju yang dibutuhkan. Barat dan Timur, Negara-negara maju dan berkembang dan miskin, Eropa dan Amerika dan Asia dan Afrika dan Australia – semuanya mesti bekerja sama untuk mengatasai persoalan yang sedang kita hadapi ini. Kita sudah tidak bisa jalan masing-masing. Mesti melangkah bersama.
Sebab itu, pembicaraan tentang “jual-beli karbon” adalah sebuah lelucon. Membiarkan seseorang mengencingi baju kita, kemudian menerima bantuan dari orang itu untuk mencuci baju – dimanakah harga diri kita?
Kau boleh merokok, asal membayar sejumlah uang kepada setiap orang yang tidak merokok dan berada dalam ruangan yang sama bersamamu – supaya mereka dapat memeriksakan kesehatan mereka ke dokter. Aneh, tidak masuk akal dan “maaf”, mohon ampun jangan disomasi ya…… Ooopppps, memang tidak bisa disomasi. Karena, saya tidak mengatakan Anda bodoh, saya mengatakan kita, bahkan saya bodoh, tolol, dungu…. Lho, saya pun menjadi bagian dari dagelan koq. Saya sedang memaki diri, so please don’t mind ya… plsssssss……
Profesor Emil Salim pernah mengingatkan saya akan pemikiran Gandhi, Sang Mahatma atau Jiwa Besar, “Bila India meniru gaya hidup orang barat, maka ia akan membutuhkan lebih banyak negara untuk dijajah daripada Inggeris.”
Gandhi juga pernah berkata bahwa sumber alam di dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan seorang pun.
Betul sekali….
Inilah persoalan yang sedang kita hadapi – Keserakahan, Kerakusan, Greed. Dan, Keserakahan ini yang telah mengantar kita pada suatu situasi yang membingungkan kita pula.
Anehnya, tak seorang pun memahami hal ini.
Mahatma Gandhi sudah mati, lagi pula dia kan orang asing, orang Bombay….. Lucunya, anehnya, suara Profesor Emil Salim yang sama-sama Melayu, dan suara Tuan Boer yang masih hidup, sehat dan segar-bugar, dan saat ini berada di negeri kita – tak terdengar pula. Sungguh menakjubkan…. Selain dungu, barangkali “saya” juga budeg, tuli.
Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara pernah berkata bahwa kita tidak akan pernah merdeka bila tetap meniru gaya hidup barat. Saya akan menambahkan, “untuk mempertahankan kemerdekaan” pun tidak bisa. Ah, tapi siapa yang masih kenal dan ingat sama Dewantara?
Saat ini, kita sedang meniru abis gaya hidup barat. Demi kegemerlapan yang tidak bermakna dan tidak bertahan untuk selamanya, kita telah menjual negeri kita. Dan, kalau ada yang mengingatkan, kita malah berang!
Kekuatan-kekuatan asing sedang bekerja keras untuk mempengaruhi cara berpikir kita. Untuk merampas kesantunan kita. Untuk merubah kita menjadi jiplakan barat. Di Kampung Negeri, seorang saudara kita belum selesai bicara, sudah diteriaki oleh seorang pemuda, “Kami adalah Yot…., blah, blah, blah,” Ah, yang dimasuk adalah Youth….
Yot kita, ooopps “Youth” kita, khususnya yang didanai oleh para funders dari luar, telah kehilangan ke-Indonesia-an mereka. Mereka telah menjadi foto kopi asing. Dengan gaya Amerika yang tidak pas banget pula, seorang pemuda menantang para pembicara di panel, “You guys…..” Maksudnya apa? Kalian? Tapi, “you guys” sungguh tak sopan. Apalagi pihak yang ditantang itu pun bukanlah pihak yang berseberangan. Pihak itu pun sama-sama mewakili NGO seperti dirinya. Asal bicara, asal memperoleh perhatian, asal bisa meniru gaya orang barat. Ah!
Inilah kualitas kita sehingga dapat dibiayai secara langsung maupun tidak langsung oleh kekuatan-kekuatan asing yang memang memiliki agenda untuk menguasai kita bersama seluruh sumber alam kita.
Para donatur tidak peduli bila orang-orang yang mereka gaji itu tidak tahu-menahu tentang perubahan iklim. Baru keluar dari ruang sidang, langsung merokok. Inilah sosok kita yang saat ini sedang bersidang.
Teman-teman kita di New York telah berhasil mendesak senat disana untuk meng-goalkan bill tentang Climate Security. Alhamdulillah, Puji Tuhan, Avighnam Astu, Rancangan Undang-Undang sudah diteruskan ke Congress. Dan, teman-teman disana beradvokasi terus-menerus, berjuang terus-menerus supaya rancangan itu dijadikan undang-undang. Sehingga, Amerika Serikat mesti menurunkan emisi diatas 4.3% setiap tahun, supaya pada tahun 2020 – emisi karbon yang dikeluarkan oleh Amerika sudah ideal. Berarti pemotongan emisi sebesar hampir 50% dalam 12 tahun mendatang. Itu luar biasa!
Semestinya, negara-negara berkembang justru mendukung para senator yang telah memperoleh keberhasilan awal itu untuk mendesak Congress AS sehingga Undang-Undang yang dimaksud segera disahkan dan dunia ini terselamatkan.
Begitu pula dengan negara-negara maju lainnya, seperti Australia dan Jepang, dan Uni Eropa; pun negara-negara berkembang dengan tingkat emisi yang sangat tinggi seperti Cina dan India – semestinya kita mendukung rakyat mereka yang sedang mendesak pemerintahan mereka untuk mengurangi emisi.
Eh, kita malah mencari keuntungan materi dari seluruh dagelan ini. Para sahabatku yang sudah berjuang lama bersamaku, tetapi karena masih bergaul dengan orang-orang yang percaya pada kekuatan fulus – juga tidak memahami maksudku. Tanya kenapa? Karena mereka sendiri hidup dan melanjutkan kuliahnya dengan aliran dana dari orang-orang yang sama. Aliran dana itulah yang kemudian menjadi aliran darah di dalam tubuh mereka…. Dan, walau sedekat apapun denganku, mereka tak dapat memahamiku. Sayang, bersamaku, mereka juga tak dapat memahami Bung Karno. Tak dapat pula memahami konspirasi besar yang sedang direncanakan oleh para penguasa baru dunia kita.
Namun, ada harapan. Masih ada harapan…. Mari kita berharap pada mereka yang tidak didanai oleh para funders yang diciptakan oleh para konspirator yang ingin merampas seluruh kekayaan alam kita. Mari kita bergaul dengan mereka. Mari kita berjuang bersama mereka. Mari kita bersuara bersama…. dan membulatkan tekad kita untuk tidak gugur dalam perjuangan ini, tetapi keluar sebagai pemenang.
Karena, kemenanganmu wahai satria, adalah kememangan bagi Ibu Pertiwi. Berilah kesadaran kepada saudara-saudara kita yang saat ini tengah mengkhianati air susu ibu. Recehan ribuan dollar yang kau terima sebagai gaji atau scholarship itu jauh lebih rendah nilainya dari pada air susu ibu yang telah memberi kehidupan kepadamu.
Dana itu, gaji itu, scholarship itu – semuanya akan tertinggal di sini. Adalah hati nurani kita yang akan selalu bersama kita. Dan, kelak hati itu pula yang akan meminta pertanggunganjawab dari setiap di antara kita atas pengkhianatan yang kita lakukan terhadap Ibu Pertiwi.
Tinggalkan Loe, Gue…..
Kembalilah pada Aku dan Kau, dan sadarilah bahwa sesungguhnya Aku dan Kau pun Satu dan Sama adanya. Dalam Kasih Ibu Pertiwi, kita semua saudara….. Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi!