KERAMAHAN ANAK CUCU PAMAN SAM – Kesan dan Pesan dari Negeri Paman Sam – 3

KERAMAHAN ANAK CUCU PAMAN SAM
Kesan dan Pesan dari Negeri Paman Sam – 3

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 15 Oktober 2007

 

Masih di kota New York….
Saya berada dalam taksi bersama dua orang rekan saya dari Indonesia. Ketika naik taksi, saya tidak memperhatikan wajah sang supir. Namun, beberapa saat setelah taksi itu meluncur dengan kecepatan khas New York menuju tujuannya – saya sempat mendengar komunikasi radio sang supir dengan rekannya. Ah, ternyata dia berasal dari Anak Benua Hindia. Kendati tidak jelas, ia berasal dari Daratan India, dari Paksitan, atau dari Bangladesh.

Ya, agamanya menjadi jelas karena namanya: Ali. Saya sempat mendengar rekannya memanggil dia dengan nama itu. So,”Ali Bhai,” Bhai berarti “saudara”, “bung”, dan bisa dipakai di mana saja di Anak Benua Hindia. Budaya Anak Benua Hindia memang tidak melarang seseorang untuk menganggap dan menyebut orang lain sebagai saudara, walau beda agama.

“Ali Bhai, sudah lama di sini?” saya bertanya.

“Bhai?” supir itu tidak dapat menyembunyikan ketakjubannya, “saya pikir Anda tidak memahami bahasa saya.” Dia menggunakan bahasa Urdu, salah satu bahasa populer di Anak Benua.

“Ya, saya sudah lebih dari 12 belas tahun disini. Asalnya dari Lahore.” Ali menyebut nama kota yang berada dalam wilayah Pakistan. Dan, ia pun bertanya, “Bhai, saudara sendiri dari mana? Tadi saya mendengar Bhai berkomunikasi dalam bahasa lain….”

Maka, saya pun memperkenalkan diri sebagai “Orang Indonesia”, kebetulan keturunan Anak Benua Hindia. Kedua orang tua saya memang berasal dari wilayah Sindh, yang saat ini menjadi bagian dari Pakistan.

Kita makin akrab….
Dan, saya pun berusaha untuk mengorek informasi yang cukup sensitif, “Bagaimana keadaanmu, Bhai, setelah 9/11?”

“Biasa, biasa saja, Bhai….
Media di Pakistan, dan barangkali di Timur Tengah banyak menampilkan orang-orang yang kebetulan disangka membantu kaum teroris. Namun, itu hanya beberapa kasus saja. Saya tidak merasa didiskriminasi atau apa. Saya tetap memperkenalkan diri sebagai orang Muslim. Tidak menjadi soal.”

Dia jujur.
Tidak ada alasan baginya untuk berbohong dengan saya. Dalam perjalanan dari daerah Queens, dimana saya menginap, menuju Manhattan, bahkan dari Queens menuju Airport JFK keesokan harinya, saya melihat sekian banyak papan toko dengan atribut dan nama Islami. No problemo.

Ali malah mengeluhkan rakyat Pakistan yang dianggapnya tidak cukup cerdas karena perlawanan mereka terhadap Presiden Musharraf, “Dalam sekian tahun, baru kali ini warga Pakistan dalam perantauan merasa bangga karena memiliki kepemimpinan yang tegas.”

Ketegasan Presiden Musharraf menghadapi kelompok-kelompok radikal di negerinya memang diprotes keras oleh sebagian warga di Pakistan.

“Orang-orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara itu adalah orang-orang yang tak beriman. Mereka justru merusak dan mencoreng nama Islam. Apa tahu mereka tentang Islam? Mereka telah merusak otak para pemuda kita di sana…..

“Mereka pikir di negeri orang Kristen kita tidak dihargai. Tidak benar. Saya sungguh merasa dihargai, dan dicintai,” lanjut Ali, “sesaat setelah televisi mengumumkan identitas orang-orang yang terlibat dalam peristiwa 9/11 – tetangga saya yang beragama Kristen mendatangi isteri saya yang kebetulan seorang diri di rumah. Ia mengajak isteri saya untuk mengungsi ke rumahnya…. Just in case,

“Tetapi, tidak terjadi apa-apa.
Istri saya aman-aman saja. Saya pun pulang dari kerja seperti biasa. Sepanjang jalan aman-aman saja. Semua orang tahu bahwa saya beragama Islam. Tidak ada yang mengganggu atau menuduh saya.

“Bung, inilah Amerika.
Sekali waktu pernah menjadi Negeri Impian bagiku. Sekarang, inilah rumahku. Pakistan adalah Negeri kelahiranku, dan saya mencintai Pakistan. Tetapi, Amerika, inilah rumahku.”

Ali bahagia di Amerika.
Bukan karena penghasilannya saja, tetapi karena penerimaan dan keramahan anak cucu Paman Sam terhadap dirinya, keluarganya, dan agamanya.

Keramahan dan kepedulian anak-cucu Paman Sam yang sama telah saya rasakan pula, baik saat menghadiri konperensi PBB di New York, maupun ketika menghadiri beberapa pertemuan khusus yang diselenggarakan oleh teman-teman di California untuk menyambut saya dan rekan-rekan saya dari Indonesia.

Justru…..
Pada suatu sore – dan kebetulan hari itu mayoritas supir taksi mogok, kami berada persis di depan Kantor PBB menunggu Taksi Limo berwarna Hitam yang memasang tarif hampir tiga kali lipat dari taksi biasa – tiba-tiba kami melihat kendaraan besar yang berhenti persis di depan kita.

Ternyata, supirnya orang Indonesia.
Dan, kendaraan itu jelas milik perwakilan kita, karena ada atribut Merah-Putih yang terlihat jelas.

Dari penampilannya, supir itu pun bukanlah supir biasa. Ia mengantar sepasang orang yang dari logatnya jelas bukanlah Orang Indonesia. Barangkali warga Malaysia atau Brunei.

Rekan saya, Mba’ Maya Safira Muchtar, Ketua Gerakan Integrasi Nasional (National Integration Movement) mendekati sang supir dengan penuh semangat, “Asal Indonesia, Bung?”

“Ya,” jawabnya singkat…

“Kami dari Indonesia juga, kebetulan sedang mengikuti konperensi di PBB….”

“Hmm…… Baik…..” dan, tanpa basa-basi, dia menaiki kembali kendaraannya yang besar yang sudah pasti memboroskan banyak uang negara itu, dan meluncur menuju tujuannya.

Orang Indonesia adalah orang-orang yang sangat ramah…….
Ah, keramahan itu tinggal sebu
ah mitos saja.

Professor Jeffery Winters, ahli Indonesia asal Amerika mengatakan, “Ya, warga Indonesia sangat ramah terhadap warga asing, tetapi tidak cukup ramah terhadap sesama warga Indonesia.”

Kau betul Bung Jeffery.
Bila dalam perantauan saja, seorang pegawai negeri yang digaji antara lain dari uang pajak yang dibayar oleh warga Indonesia pembayar pajak, tidak ramah terhadap sesama warga Indonesia – maka terbuktilah sudah kebenaran setiap kata yang terucap oleh Jeffery Winters.

Di mata kita, Amerika barangkali Kafir….
Kenyataannya orang-orang kafir itu lebih ramah dari kita yang merasa sudah cukup beriman. Sebuah renungan bagi kita semua……