Mengetuk Nurani Bali Terhadap Aksi FPI
Anand Krishna*
Radar Bali, Rabu 4 Juni 2008
Pada tanggal 1 Juni yang lalu, beberapa putra-putri Bali, antara lain yang saya kenal secara pribadi adalah Oming, Sukmawati, Yudanegara dan beberapa lainnya – ikut mendukung Aksi damai yang digelar oleh Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan berkeyakinan (AKKBB) di Lapangan Monas, Jakarta.
Apa yang terjadi di Lapangan Nasional itu, telah menjadi berita nasional. Berita Hitam dalam sejarah era reformasi saat ini.
Ratusan massa dari FPI dan Laskar-Laskar, yang sebagaimana diakui oleh ahli hukum Munarman berada di bawah komandonya – menghajar mereka dan 70-an lainnya, karena dituduh mendukung Ahmadiyah.
Mereka bukanlah warga Ahmadiyah. Bahkan mereka bukanlah pemeluk agama Islam. Tetapi bagi FPI dan rekan-rekannya yang selalu mengafirkan semua orang yang berada di luar Islam “versi” mereka – itu tidak menjadi soal. Asal pukul, asal menghantam, asal menciderai.
Keberadaan mereka pun bukanlah untuk mendukung Ahmadiyah, tetapi untuk mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Namun, barangkali itu pun tidak menjadi pertimbangan bagi Munarman dan rekan-rekannya, karena mereka mendukung ideologi khilafat dan tengah memperjuangkannya untuk menjadi dasar negara.
Oming mengalami geger otak, dan mesti dirawat di rumah sakit. Yudanegara mengalami perdarahan dan pembengkakan internal, yang mesti dirawat juga. Sukmawati robek bibirnya. Masih ada Katolik Bernard dan Protestan Joehannes yang kepalanya mesti dijahit hingga 9 jahitan. Dan, ada Buddhis Rudi Hartono, serta tentunya Muslim Haji Marhaento, Didit, Nino dan lain-lain, yang semuanya luka2 serius. Banyak diantaranya mesti dirawat dan menjalani CT Scan. Saya hanya menyebut nama-nama mereka yang saya kenal secara pribadi dan telah melihat keadaan mereka.
Para jurbir pelaku masih bisa berteriak-teriak, “Aliansi membawa senjata api.” Bila itu benar, maka sudah mampuslah mereka semua, karena saat ini emosi teman-teman aliansi sudah memuncak. Dan, dalam keadaan itu, dengan senjata api di tangan, orang bisa menjadi kalap. TIDAK ADA YANG MEMBAWA SENJATA API.
Ya, ada justru gambar-gambar yang menunjukkan pentolan mereka mencekik sesama warga Indonesia, sambil berteriak histeris sebagaimana terungkap dari kesaksian mereka yang menjadi korban.
Putra-Putri Bali yang terbaik telah menumpahkan darah mereka bagi Ibu pertiwi, bagi Nusa dan Bangsa. Sekarang, bagaimana sikap Bunda Bali, sikap anggota DPRD, Masyarakat Bali (entah mereka Hindu, Muslim, Katolik, Protestan, Sikh, Buddhis, Konghucu – apa saja), dan Pemda Bali.
Putra-Putri Bali yang berada di baris terdepan saat itu hendak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Tetapi, oleh gerombolan penjahat yang tidak suka kelembutan musik itu, alat-alat mereka dirusak, termasuk sound-system sewaan. Kerugian materi hingga lebih dari 100 juta. Kerugian non-materi, tak terhitung. Belum lagi biaya pengobatan. Namun, dengan gagah-berani, putra-putri Bali dan warga Indonesia yang masih waras itu menanggung sendiri seluruh biaya dan kerugian tersebut.
Saya ingin mengetuk Nurani Warga Bali.
Peran apa yang dapat dimainkan oleh kita sebagai warga Bali.
Hingga saat saya menulis ini, partai-partai berbasis agama belum mengutuk kejadian tersebut. Banyak lembaga keagamaan pun masih membisu. Ada apa di balik semuanya itu?
Kenapa anggota DPR tidak minta kepada pemerintah untuk segera menyeret para pelaku, pentolan organisasi dan komandan mereka ke pengadilan. Kenapa mereka tidak minta supaya organisasi-organisasi yang menjunjung tinggi nilai kekerasan itu dibubarkan?
Bahkan, para pentolan, komando dan petinggi organisasi-organisasi itu masih mampu berteriak-teriak, melecehkan hukum negara dan institusi kepresidenan.
Lagi-lagi, hati yang gundah ini bertanya, ada apa di balik semuanya itu? Apakah mereka yang masih membisu ini punya hubungan khusus dengan mereka? Apakah mereka menggunakan preman-preman itu untuk kampanye politik mereka? Apakah ada orang kuat di belakang para penjahat tersebut?
Bali, demi darah Bali yang telah tertumpah, demi Ibu Pertiwi yang tengah merintih, demi keutuhan negara dan Bangsa – bertanyalah kepada mereka yang saat ini masih membisu – ada apa dengan kalian?
Salah satu partai politik berbasis agama telah menyembunyikan visi dan misi mereka di balik penampilan baru situs web mereka – barangkali malu. Saya mengapresiasi rasa malu mereka. Memang mesti malu. Karena, mereka tidak berhasil mendakwahi FPI, Munarman, dan laskar-laskar lain yang berada di bawah kepemimpinannya supaya berakhlak Islami, tidak ber-KTP Islam saja.
Kekerasan inikah Islam?
Tidak…. Gus Dur, Syafei Maarif, Syafei Anwar, Musdah Mulia, Komaruddin Hidayat, Nasaruddin Umar, Cak Nun, Zainun Kamal, Goenawan Muhammad, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, dan lain-lain – merekalah wakil Islam yang sejati.
Muhammadiyah dan NU yang sopan – inilah Islam. Wahai para ketua kedua organisasi Islam terbesar – segeralah mengutuk para perusak nama Islam. Bila tidak, mereka akan merusak Muhammadiyah dan NU.
Bali, sekali lagi – janganlah membiarkan darah Bali tertumpah sia-sia. Bangkitlah untuk mendukung putra-putri Bali yang telah menjadi korban demi Landasan Negara, demi Konstitusi Negara, demi Keutuhan Bangsa, demi Ibu Pertiwi….. Mereka menderita, terluka dan dipukuli – tetapi tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Bersuaralah, “Kami percaya pada Ahimsa. Kami telah membuktikan hal itu dengan bersikap sopan saat di bom oleh gerombolan pengecut dan penjahat seperti Amrozi, Samudra, dan lain-lain. Namun, kami juga tidak akan membiarkan sesama warga Indonesia dipukuli oleh gerombolan orang yang biadab dan tidak percaya pada nilai-nilai kemanusiaan.”
Nusantara, belajarlah kewarasan dari Bali…..
Jangan menjawab kejahatan dan kekerasan dengan kekerasan. Namun demikian, dengan cara damai dan tanpa kekerasan, bangsa ini sudah saatnya memastikan bahwa Tubuh Nusantara segera dan secepatnya bebas dari elemen-elemen radikal yang telah menjadi virus itu. Bebas dari orang-orang yang merongrong dasar negara. Bebas dari partai-partai politik yang hanya ingin berkuasa dengan cara apa-pun jua, dan belum cukup bersemangat untuk melindungi hak-hak sipil warga negara.
* Aktivis Spiritual