NILAI-NILAI BUDAYA
Sebagai Perekat Bangsa
Anand Krishna*
(Radar Bali, Kamis 10 September 2009)
Nilai-Nilai Budaya adalah Perekat yang sangat kuat untuk mempersatukan suatu Bangsa. Hal ini disadari betul oleh para founding fathers bangsa kita, maka mereka membangun negara diatas landasan kebudayaan.
Sayangnya, hingga hari ini pun banyak ilmuwan kita yang tidak memahami hal ini. Mereka masih beranggapan bahwasanya Budaya Nusantara hanyalah sebuah Mitos. Mereka masih menganggap Budaya Jawa lain dari Budaya Sunda, dan Budaya Sunda beda dengan Budaya Minang. Anggapan keliru itu terjadi, karena umumnya kita masih menyalahartikan adat sebagai budaya.
Adat Jawa barangkali beda dengan Adat Minang, pun demikian dengan adat-adat lain – namun Unggulan-Unggulan dari setiap adat atau kebiasaan itu Satu dan Sama.
Dan, para founding fathers kita mengumpulkan Unggulan-Unggulan itu – maka terkumpulah Lima Unggulan yang bersifat Universal dan ada dalam setiap adat di setiap daerah dan setiap pulau. Lima Unggulan ini yang kemudian dikenal sebagai Lima Butir Pancasila, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan serta Kesejahteraan Sosial.
Dalam Lima Butir Pancasila tersebut, kita semua bertemu. Maka, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, sesungguhnya Pancasila adalah Intisari atau Saripati Budaya. Inilah Budaya Nasional kita, Budaya Nusantara, Budaya Indonesia.
Tidak berarti bahwa diluar kelima unggulan tersebut, tidak ada unggulan-unggulan lain. Setiap daerah memiliki unggulan-unggulan lain. Dalam setiap adat, kita menemukan unggulan-unggulan lain. Namun, unggulan-unggulan itu tidak selalu bersifat universal. Ada di satu daerah, tak ada di daerah lain. Sementara itu, kelima unggulan yang tertuang dalam butir-butir Pancasila – bersifat universal. Ada dimana-mana. Ada di Jawa, ada di Sunda, pun ada di Minang, di Kalimantan, di Sulawesi dan di Nusa Tenggara.
Pancasila memang digali oleh Bung Karno, kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh para pemikir seperti Dewantara, Sanoesi Pane dan lain-lain – tetapi, sebagaimana diakui oleh sang penggali sendiri, sila-sila itu sudah ada sejak zaman dahulu. Bung Karno tidak menciptakan Pancasila, beliau hanyalah menggalinya dari budaya kita sendiri.
Kemudian, berlandaskan pada Budaya Lokal tersebut, dibangunlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila adalah Landasan yang digunakan untuk membangun NKRI. Landasan ini, jelas sudah ada sebelum adanya bangunan.
Sebab itu, setiap upaya untuk merongrongi landasan ini – hanyalah melemahkan bangunan bangsa dan negara kita. Upaya-upaya seperti itu mesti dicegah. Tidak boleh dan tidak bisa menunggu hingga bangunan sudah runtuh, baru beraduh-aduh.
Sayang sekali, saat ini anak bangsa yang tidak mengerti perkara budaya, justru meremehkan peran budaya sebagai perekat – dan mencari perekat-perekat lain. Ada yang berusaha untuk mengganti landasan budaya dengan syariah atau peraturan-peraturan agama, ada pula yang menganggap pembangunan dan ekonomi sebagai perekat.
Syariah agama “tertentu” jelas tidak bisa menjadi perekat bagi bangsa besar seperti Indonesia, karena kita tidak beragama satu dan sama. Jumlah agama “resmi” sebagaimana terwakili dalam Departmen Agama pun sesungguhnya tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar kita, dimana setiap anak bangsa memiliki hak untuk beragama sesuai dengan keyakinannya. Jadi, jumlah agama dan kepercayaan itu sesungguhnya tidak dapat dibatasi. Istilah agama resmi dan tidak resmi pun hanyalah sebuah lelucon. Bagaimana pemerintah atau siapa pun juga dapat menghakimi kepercayaan seseorang?
Pun ekonomi dan pembangunan tidak bisa menjadi perekat yang kuat. Saat ini, Amerika Serikat kembali menggalakkan pendalaman sejarah bagi setiap warganya. Bagi imigran yang hendak menetap, penguasaan terhadap sejarah menjadi wajib. Kenapa? Karena mereka baru sadar bila pembangunan dan ekonomi terbukti tidak cukup kuat sebagai perekat bangsa.
Timur Tengah pernah menjadikan peraturan-peraturan agama sebagai perekat. Ternyata gagal jua. Walau mayoritas beragama satu dan sama – akhirnya tetap juga terpecah-belah menjadi sekian banyak negara.
Pun negara Pakistan yang lahir berlandaskan syariat agama tertentu tidak mampu mempertahankan persatuan bangsanya lebih dari 25 tahun. Maka, lahirlah Bangladesh dari rahim Pakistan.
Jauh sebelumnya, Eropa pernah bersatu dibawah satu gereja. Tidak lama juga. Negara-negara yang awalnya bersatu itu tidak hanya terpecah-belah menjadi sekian banyak negara – gerejanya pun terpecah-belah.
Sementara itu, Nusantara dengan jumlah pulaunya yang tak terhitung secara persis, dengan latar belakang yang sangat beragam pula – pernah bersatu selama 1 milenia di masa Sriwijaya. Kemudian selama 4 abad lebih di masa Singasari dan Majapahit. Saat ini pun, lebih dari enam puluh tahun sejak kita memproklamasikan kemerdekaan kita dari penjajah asing – kita masih bersatu. Kenapa? Karena “Kekuatan Budaya”.
Ketika Majapahi melemah dan Perekat Budaya diganti dengan Akidah Agama oleh Raden Patah dan mereka yang mendukungnya – maka kita tidak mampu bertahan lebih dari 1 abad. Dalam 1 abad saja, terjadilah perang saudara, yang kemudian dimanfaatkan oleh para sudagar asing untuk menguasai kepulauan kita.
Maka, jelas sudah bahwasanya Budaya sebagai perekat Bangsa memang tak tertandingi oleh perekat-perekat lain. Kita sudah memiliki bukti sejarah, sehingga tidak membutuhkan trial and error lagi, tidak perlu uji-coba lagi.
Aktivis Spiritual, penulis hampir 130 buku, belasan diantaranya dalam bahasa Inggeris (www.aumkar.org, www.anandkrishna.org).