Pelayanan Pasca Kematian bagi Mereka yang Kita Cintai

DIAMBIL DARI
MAJALAH HINDU RADITYA, HALAMAN 24-25, Edisi 245, DESEMBER 2017

Wacana


Anand Krishna *

Brahma Satyam; Jagat Mithya; Jivo Brahmaiva naparah

Brahman saja yang Langgeng Abadi, Ialah Kebenaran Sejati; Alam semesta dengan segala isinya adalah untuk sesaat saja; Sesungguhnya Jiva dan Brahman adalah sama, tiada berbeda.

Intisari Vedanta sebagaimana disimpulkan oleh Adi Shankara

Seorang anak yang merasa menyia-nyiakan orangtuanya, tidak melayani mereka ketika masih hidup, sekarang menyesal. Pada hari kematian sang ayah ia membeli makanan kesukaannya untuk dipersembahkan di atas altar. Demikian, seorang pembaca Raditya edisi bulan lalu bercerita dan minta pendapat saya.

Niat yang baik, tapi tidak tepat waktu. Membeli makanan kesukaan ayah, ibu, atau siapa saja, saat mereka masih hidup – adalah tepat waktu. Tapi, sekarang? Jelas sudah tidak tepat waktu. Kendati – dan semoga tidak terjadi demikian – katakan sukshma sharira, soul, atau badan halus sang ayah masih dalam keadaan limbo, gelisah, belum bisa melanjutkan perjalanan – maka apakah menghaturkan makanan seperti itu membantu? Tidak, sebab, sukshma sharira, badan, atau roh tidak memiliki badan kasar yang butuh makanan. Mereka sudah tidak memiliki badan kasar yang butuh makanan. Mereka sudah tidak memiliki sistem yang butuh bahan bakar berupa makanan.

Prana atau Energi Kehidupan yang masih melekat sedikit juga tidak membutuhkan oksigen sebagaimana dibutuhkannya saat masih melekat secara sempurna dengan badan kasar atau sthula sharira. Sukshma sharira atau badan halus terdiri dari gugusan pikiran dan perasaan atau mind dengan segala isinya. Adapun isi utama berupa vasana atau obsesi-obsesi, keinginan-keinginan yang belum terpenuhi semasa hidupnya; dan samskar, segala macam impresi, pengalaman, informasi atau catatan ibarat pasangan yang tak terpisahkan dengan kemungkinan masih banyak lagi anak-pinaknya. Misal, khayalan, harapan, halusinasi, imajinasi, impian, dan sebagainya, dan seterusnya.

Untuk membantu dan menenangkan sukshma sharira yang masih dalam keadaan limbo, gelisah, belum dapat meneruskan perjalannya, adalah makanan bagi gugusan pikiran dan perasaan atau mind yang dibutuhkan. Dan, bukan pula sembarangan makanan yang dibutuhkan. Bukan sembarangan pikiran dan perasaan yang dapat dihaturkan untuk membantunya. Badan halus atau sukshma sharira yang sudah terbebani oleh berbagai pikiran dan perasaan yang tak berguna, sehingga perjalannya terganggu, mesti diberikan makanan berupa pikiran dan perasaan yang berguna.

Semestinya, pemberian makan seperti itu sudah dilakukan sejak diketahui bahwa badan halus atau sukshma sharira mulai meninggalkan badan kasar atau sthula sharira. Kita memiliki tradisi membacakan percakapan kedelapanbelas dari Bhagavad Gita saat seorang sudah diketahui akan meninggalkan badan kasarnya. Dalam tradisi Tibet juga ada yang disebut Buku Kematian (yang pernah saya ulas dan terbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama), yang mulai dibacakan saat itu hingga beberapa hari setelah kematian.

Tradisi yang berasal dari budaya dan peradaban Sindhu – Shintuh, Hindu, Indus, Indo, Hindia, atau apa pun sebutannya – juga ditemukan dalam peradaban Mesir kuno dan tradisi-tradisi lain di kemudian hari yang terpengaruh oleh budaya Mesir. Shrimad Bhagavatam bercerita tentang Raja Parkshit atau Parikesit sebagaimana dikenalnya dalam dunia pewayangan di Nusantara.

Cucu Arjuna, ia adalah seorang raja yag bijak, tetapi tetap saja terjadi kesalahan olehnya. Dalam keadaan tak sadar diri ia menghina seorang resi yang sedang bermeditasi. Lalu kemudian putra sang resi yang mengetahui hal itu mengingatkannya: “Wahai Raja, sadarkah kau bahwa dalam tujuh hari mendatang kau akan meniggalkan dunia fana ini. Segala apa yang kau miliki, kerajaanmu, harta kekayaanmu – semuanya akan kau tinggalkan disini. Sadarkah kau akan kesia-siaanmu?”

Konon, saat terjadi perang Bharatayudha di medan perang Kurukshetra, Parikshit masih belum lahir, masih dalam kandungan ibunya, dan terkena dampak radisasi dari perang nuklir tunggal yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia selama 5.000an tahun terakhir.

Saat itu ia terselamatkan oleh intervensi Krishna yang melakukan rekayasa genetika padanya dalam kandungan. Namun, rekayasa tersebut tidak bisa menegasikan dampak radiasi yang terjadi secara kolektif pada setiap warga bumi, setiap orang yang ada di planet bumi. Secara kolektif usia rata-rata manusia menurun dari 125 tahun menjadi 60 tahun. Demikian dahsyatnya dampak perang nuklir satu-satunya yang tercatat dalam sejarah umat manusia.

Ya, perang nuklir tunggal, sebab apa yang terjadi di tahun 1945 adalah pemboman secara sepihak oleh tentara sekutu. Tidak terjadi perang nuklir saat itu. Kendati demikian, warga Hiroshima dan Nagasaki masih juga belum pulih dari dampaknya.

Ada sebuah Catatan Sejarah dari kehidupan dan karya J.R. Oppenheimer (1904-1967) – Bapak Bom Atom di masa modern. Saat memberi ceramah di Rochester University, seorang mahasiswa pernah bertanya padanya: “Was the bomb exploded at Alamogordo during the Manhattan Project the first one to be detonated?” – Apakah bom yang meledak di Alamogordo dalam Proyek Manhattan (yang dipimpin oleh Oppenheimer) merupakan yang untuk pertama kalinya? Oppenheimer tercatat menjawab: “Well – yes. In modern times, of course.” – Ya, di masa modern ini, tentunya. [Sumber: Doomsday, 1999 A.D. (1982) oleh Charles Berlitz, Hal. 129]

Oppenheimer diketahui sebagai pengagum ajaran Krishna dalam Bhagavad Gita. Tidak hanya saat ledakan bom yang dimaksud, ia juga mengutip Gita dalam obituarinya untuk Presiden Roosevelt. Tercatat pula bahwa ia sering menghadiahi teman-temannya dengan Bhagavad Gita, pun ia sendiri mendalami bahasa Sanskrit sejak belasan tahun sebelum kutipan-kutipannya dari Gita. Ia menyebut Gita sebagai salah satu diantara beberpa buku penting yang memengaruhi hidupnya.

Dari seluruh catatan-catatan itu, tidaklah mengherankan bila ia mengetahui sejarah dan latar belakang Gita, ia tahu tentang Brahmastra, sebagaimana bom atom disebut dalam Mahabrata, epos yang merupkan induk bagi Gita. Maka, jawabannya bahwa ledakan bom yang diprakarsainya merupkan yang pertama di masa modern” – bukan yang pertama dalam sejarah umat manusia.

Saatnya kita mesti kembali pada Parikshit yang sedang menghadapi suatu keniscayaan hidup, yakni kematian. Jika kita berada dalam posisi yang sama dengan Parikshit, apa yang akan kita lakukan? Mengurung diri dalam kamar, menangisi nasib, dan menghabiskan sisa hidup dengan beraduh-aduh? Mencari dokter, tabib, sinshe – mereka yang menganggap dirinya sebagai penyembuh, tak peduli dari aliran mana pun dia? Mencari notaris untuk membuat surat warisan? Apa yang akan kita lakukan?

Ketika saya bertanya demikian dalam suatu pertemuan, seorang peserta menjawab, “Saya akan menghabiskan seluruh uang saya untuk keliling dunia?” Seberapa dunia yang dapat dikelilinginya dalam waktu seminggu, ya satu minggu saja?

Ada yang Mengaku, “Selama ini saya menahan-nahan diri untuk tidak mengonsumsi alkohol, pergi ke tempat-tempat yang gituan…..” Dia beretorika bahwa sisa hidupnya akan ia habiskan dengan bedugem-ria di tempat-tempat gituan.

Boleh saja berwacana seperti itu. Pertanyaannya, apa bisa? Dalam keadaan sakit sedikit saja, kadang kita tidak lagi memiki selera makan dan minum. Disuguhi apa saja, kita menolak. Apalagi kalau sudah tahu akan mati dalam waktu tujuh hari!

Tidak demikian dengan Parikshit. Ia tidak menutup diri. Ia tidak beraduh-aduh. Ia tidak menghibur diri, pun tidak tenggelam dalam duka. Ia melakukan introspeksi diri, “ Apa yang menyebabkan keangkuhan? Bagaimana kesia-siaan diri dapat menyelimuti dan menutupi kesadaran diri? Bagaimana jalan keluarnya? Bagimana memastikan supaya seseorang tidak terbawa oleh kesia-siaan diri, dan senantiasa hidup dalam kesadaran diri?”

Banyak pertanyaan yang muncul, dan ia sangat beruntung. Datanglah Resi Shuka, putra Begawan Vyasa, penulis Mahabharata, Shrimad Bhagavatam, sekaligus yang mengumpulkan Veda, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Ia Tersadarkan, Ia Tercerahkan! Satu – satunya cara untuk mengatasi keangkuhan, keserakahan, amarah, iri, dan sebagainya – adalah dengan senantiasa mengenang Nama-Nya – dalam pengertian, senantiasa mengingat bila segala sesuatu dalam alam ini hanyalah semar-semar, bayang-bayang – mithya.

Hanyalah Dia,  Sang Brahman yang merupakan kebenaran sejati, Satyam. Dua kesimpulan awal ini – Brahma Satyam, Jagat Mithya – umumnya dapat diterima oleh siapa saja. Adapun kesimpulan ketiga dari Shankara; Jivo Brahmaiva naparah – sesungguhnya, Jivatma, sejatinya diri kita, tiadalah beda dari Sang Brahman, Kebenaran Sejati itu – yang tidak bisa diterima oleh semua tradisi. Bahkan oleh mereka yang sama-sama merasa bersumber dari Vedanta – intisari ajaran Veda – pun kesimpulan ini kadang tidak bisa diterima. Dalam sekian banyak tradisi Brahman adalah Brahman dan Jivatma adalah Jivatma – gelombang adalah gelombang, laut adalah laut. Bulan adalah bulan, rembulan adalah rembulan. Baik, kita tidak membahas hal itu.

Kembali pada apa yang dilakukan oleh Parikshit…menjelang kematiannya yang merupakan suatu keniscayaan, ia menggunakan seluruh waktu untuk mengembangkan bhakti dalam diri, untuk berbakti pada ishta-nya, pada pujaan hatinya, pada Ia yang pernah menyelamatkan dirinya dari radiasi, ketika ia masih dalam kandungan, dalam keadaan tidak berdaya. Dia tidak ber-bhakti untuk mendapatkan perpanjangan hidup. Dia ber-bhakti untuk mengatasi kelahiran dan kematian yang tidak berkesudahan. Bahkan, barangkali itu pun tak terpikiran olehnya. Tiada permohonan untuk moksha atau nirvana. Ia ber-bhakti karena bhakti itu sendiri, karena cinta. Demikian, ia terbebaskan dari segala duka-derita. Ia mencapai kelanggengan abadi yang semestinya menajadi akhir dari setiap kehidupan dari setiap makhluk.

Kembali pada bagian awal tulisan ini: Seorang anak yang merasa menyia-nyiakan orangtuanya, tidak melayani mereka ketika masih hidup, sekarang menyesal. Pada hari kematian sang ayah ia membeli makanan kesukaanya untuk dipersembahkan di atas altar….

Boleh saja, tetapi tidak membantu. Lebih baik membagikan makanan kepada mereka yang tidak mampu, melakukan seva, mengayah. Dan, yang tidak kalah penting adalah membacakan Bhagavad Gita, Shrimad Bhagavatam atau kitab suci lainnya dengan niat untuk membantu sang Ayah dalam perjalanannya. Path, atau membaca secara berulang-ulang – jadikan hal ini sebagai suatu kebiasaan – sesuatu yang dilakukan setiap hari. Lakukan bagi mereka yang sudah berpulang, lakukan bagi mereka yang sedang gelisah dan belum bisa melanjutkan perjalanannya , dan di atas segalanya, lakukan bagi diri sendiri, bagi diri sendiri, sebab, bangkali hari ini, atau hari esok, hari lusa adalah hari ketujuh Parikshit…

Hari bol! *Humanis/ Spiritual, Penulis lebih dari 170  buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org)