DIAMBIL DARI MEDIA HINDU, HALAMAN 36-37, EDISI 169, MARET 2018
DARI ANAND ASHRAM
Shraddha, Bhakti, dan Ekagrataa
Anand Krishna *
“Each of you knows the love of a single mother only. But my Affection, My love towards each one of you is that of a thousand Mothers!”
Setiap diantara kalian hanya mengenal cinta seorang ibu saja. Tapi Kasih-Ku, Cinta-Ku terhadap setiap diantara kalian adalah Kasih seribu ibu!
Satya Sai Baba (1926-2011)
Sudah Berguru, setidanya sudah Mengaku demikian, tapi, tetap saja window-shopping. “Oh tidak, aku tidak mencari guru, aku hanya mau belajar sesuatu dari mereka,” kata seorang yang menggap dirinya sudah menjadi bhakta, devotee, tapi masih lirik sana, lirik sini, main mata di segala penjuru, dan dengan siapa saja.
Sungguhnya, lirikan kita yang tak terarah dan sembarang itu tidak merugikan Sang Sadguru, Guru Sejati, Pemandu Rohani. Seorang Sadguru tidak sekedar beretorika, tetapi menyadari betul bila atma, jiwa, yang menerangi dirinya juga menerangi setiap wujud kehidupan. Ia, sang atma berada dimana-mana, bahkan sesungguhnya atma tak terpisahkan dari Paramatma – Sang Aku Agung, Sang Jiwa Agung.
Adalah Diri Kita Sendiri yang Merugi, sebab kita tidak bisa mempraktekkan ekagrata – fokus – dan ekagrata dibutuhkan untuk meraih keberhasilan dalam pekerjaan apa saja, baik yang bersifat sekuler, duniawi, sakala; maupun yang bersifat spiritual, rohani, nishkala.
Ekagrata pada Sadguru juga berarti tidak memisahkan sosok Sadguru dari dharma atau ajarannya, dan sangha atau paguyuban yang dibentuknya untuk menyebarluaskan dharma.
Kita sedang bicara dalam konteks Dharma, Hindu Dharma, Nilai-Nilai Luhur Samskriti Sindhu. Dengan latar belakang tradisi lain, barangkali seorang tidak dapat memahami implikasi, kedalaman dari apa yang sedang kita bicarakan. Atau, barangkali lebih memahaminya, entah!
Dalam Budaya Hindu, seorang Sadguru atau Acharya, begitu juga kedua orangtua kita, bahkan para tamu yang datang tanpa undangan, tanpa janji – semuanya adalah wujud dari Hyang Maha Mulia. Setiap wujud, setiap bentuk kehidupan merupakan manifestasi, ekspresi dari kemuliaan-Nya.
Keberadaan seorang Sadguru yang masih berbadan, semata untuk memicu shraddha atau keyakinan, dan bhakti atau kasih sejati di dalam diri kita. Ketika kedua itu sudah terpicu, maka tercapailah tujuan Sang Sadguru.
Sayangnya, Hal ini Tidak Dipahami. Ketika Sadguru masih bersama kita secara fisik, banyak di antara kita yang sudah mulai “jajan” di luar. Tidak menggali ke dalam diri, sehingga shraddha dan bhakti pun tidak muncul ke permukaan.
Seorang bhakta atau devotee tidak perlu jajan. Ia sudah puas dengan apa yang disajikan oleh Maa, Sai Maa, Bunda Sejati, Bunda Mulia, Bunda Ilahi, atau apapun sebutannya.
Mereka yang terbiasa jajan diluar rumah adalah anak-anak yang tidak menghargai home-cooking, masakan rumah yang dimasak oleh ibu. Adakah tetap jika mereka masih disebut devotee atau bhakta?
Ada yang mengaku dirinya mendapatkan pesan-pesan dari Sadguru – mereka meninggalkan pekarangan Sadguru yang masih “hidup” – Living Master – untuk mendapatkan pesanNya lewat orang lain!
Setelah Sadguru Meninggalkan Badan Kasat, maka anak-anak yang sudah terbiasa jajan di luar itu, bahkan tidak pernah pulang rumah lagi. Padahal, keberadaan rumah, sangha, yang dibangun oleh Sang Sadguru adalah kepentingan mereka.
Organisasi seorang Sadguru bukan sekedar organisasi biasa, bukan LSM atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Sangha yang dibangun, didirikan oleh Sadguru adalah Alma Mater bagi para devotee, para bhakta sejati. Para pengunjung musimam dan mereka yang masih suka jajan diluar, tentunya tidak dapat memahami hal ini.
Alma Mater berarti “Ibu yang Senantiasa Memberi”. Ketika Sang Sadguru masih berbadan, maka alma mater adalah perpanjangan keberadaanNya. Ketika beliau sudah tidak bersama kita secara fisik, maka alma mater adalah wujudNya.
Dari sudut pandang spritual, pengertian alma mater, sangha, ashram, atau pasraman bukanlah sebatas tempat pelatihan dimana kita “pernah” meraih ilmu, tetapi wujud nyata dari “sumber ilmu” itu sendiri – dari Bunda Mulia, Hyang KhazanahNya tidak pernah habis.
Sangha berarti Kebersamaan. Keberadaan alma mater, ashram, pasraman, dan sebagainya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kebersamaan yang tercipta saat Sadguru masih bersama kita secara fisik.
Sayang, beribu-ribu kali sayang…. kita sudah sering mendapatkan anugerah kehadiran para Sadguru – tetapi belum juga menghasilkan sangha. Kita belum memahami arti kata shishya – ia yang telah memenggal kepala egonya, ia yang sudah menundukkan, menafikan egonya.
Kita ingin cepat-cepat mendirikan pasraman sendiri, menjadi guru sendiri. Kita hanya pandai bicara tentang parampara, lineage, atau tradisi turun-temurun yang tak terputuskan. Tidak pandai mewujudkannya.
Sangha ibarat Taman Bunga dengan berbagai jenis bunga yang beda warna, beda aroma. Diantaranya, ketika ada yang layu dan gugur, maka diganti oleh bunga lain yang sejenis. Bayangkan, apa jadinya ketika bunga-bunga itu menjadi angkuh, dan ingin memamerkan keindahan meraka masing-masing!
Mereka membiarkan diri mereka dicabut, dipetik, dijadikan hiasan dalam vas. Boleh saja mereka bernarsis-ria – tetapi untuk berapa lama?!
Tidak adanya Sangha yang Kuat, mau diakui atau tidak, telah melemahkan kita. Dalam beberapa tahun terakhir, satu demi satu, kita sudah kehilangan beberapa guru besar kita di pulau Bali – apa yang telah kita lakukan untuk melestarikan wejangan-wejangan mereka, untuk mempertahankan sangha yang mereka bangun semasa hidup mereka? Sesuatu yang perlu direnungkan.
Tidak adanya sangha yang kuat membuktikan kelemahan kita sebagai murid, sebagai pengunjung musiman yang bisa ditarik ke kanan dan ke kiri. Kita belum menjadi sadhaka, penggali kebenaran, apalagi shishya, yang telah menafikan egonya.
Sebab, adalah tugas para sadhaka dan shishya untuk mempertahankan sangha, untuk melestarikan ajaran para guru, untuk mengukuhkan dharma.
Sayang, sekali lagi Beribu-ribu kali sayang…. sangha atau pasraman-pasraman kita saat ini masih bersifat musiman. Ketika Sadguru masih ada, sangha, ashram, pasraman masih ada. Setelah Sadguru mingat, tinggal kerangka merana yang tersisa.
Hal itu terjadi, karena saat Sadguru masih ada pun, fokus para murid tidak sepenuhnya pada Sadguru atau Dharma, apalagi pada Sangha. Sudah ada clique-clique berdasarkan suka-tak-suka. Bahkan ada yang datang sekedar untuk bersosialisasi. Paling parah ketika so-called murid palsu menjalin “hubungan-hubungan” duniawi antara mereka, dan melupakan tujuan berguru.
Defokus yang parah seperti ini terjadi karena tidak adanya disiplin. Banyak yang terpengaruh oleh pendapat para newagers dari barat yang selalu berdalih bahwa spiritualitas tidak membutuhkan keketatan disiplin. Mereka mengatakan bahwa spiritualitas adalah untuk membebaskan, tidak untuk membelenggu. Maka untuk apa disiplin?
Ya, Spiritualitas memang Membebaskan, tidak untuk membelenggu. Namun, untuk meraih kebebasan sejati pun dibutuhkan upaya, dan setiap upaya mesti teratur – ada disiplin, ada intensitas.
Saya teringat sebuah kisah….
Kendati dalam Keadaan Sakit, Anand tidak pernah beristirahat. Ia selalu sibuk melayani Sang Sadguru, Sang Bhagavan. Suatu ketika ia sakit parah, namun masih juga memaksa diri….
Sementara itu, para shishya lain tidak pernah tahu tentang kondisi Anand. Banyak diantara mereka malah menaruh rasa cemburu. Merak berpikir, “Anand mana mau bergaul sama kita. Maunya dekat-dekat Guru saja. Dimanjakan juga sama Guru sih?”
Padahal, bukannya tidak mau, bukannya sombong…. Anand sudah tidak punya waktu lagi untuk bergaul dengan siapa-siapa. Jika mereka memahami arti ekagrata, one-pointedness, fokus – kesadaran yang terpusatkan pada Hyang Tunggal – maka tidak akan gosip seperti itu.
Dan, bagaimana pula seorang Sadguru memanjakan salah seorang muridnya!? Ia tidak pilih kasih, namun mesti ada beberapa orang untuk tugas-tugas tertentu. Celakanya, yang bertugas “dekat” Guru akan selalu dicerca dan dijadikan bahan gosip. Apa boleh buat?
Melihat Keadaan Anand yang cukup parah, Sang Bhagavan memaksanya untuk beristirahat. Tak ada pilihan bagi Anand, terpaksa…. Selama berhari-hari ia tidak keluar gubuknya, takut akan menularkan penyakitnya kepada Sang Bhagavan dan murid lain.
Seorang murid yang super-cemburu mulai menyebarkan gosip dengan nada mengejek dan supermiring, sesuper rasa cemburunya… “He, ada lowongan di sangha. Hayu, siapa yang mau menggantikan kedudukan Anand?”
Sebelumnya, murid itu sudah berkali-kali diberi peringatan bahwa ia harus memperhatikan pikirannya yang tak terkendali. Dulu, ketika masih berkeluarga pun – isterinya sudah kehabisan akal untuk menghadapi keliaran pikiran dan kekerasan hatinya. Ternyata, selama bertahun-tahun dalam sangha – ia masih sama, tidak berubah juga.
Ketika Suara-suara Miring itu sampai ke Telinga Sadguru….. maka, “turunlah” sutra-sutra disiplin, yang disebut kumpulan vinaya. Para murid mesti mengindahkannya. Diantaranya, “Jika berbuat salah, minta maaf di hadapan seluruh sangha”. Jika seorang murid melakukan hal itu, minta maaf di hadapan sangha dan berjanji untuk tidak pernah mengulanginya lagi, maka diberi hukuman disciplinary yang ringan, dan dibiarkan tetap menjadi bagian dari sangha.
Namun, jika ia tidak sadar juga, tidak mau mengaku bersalah, apalagi minta maaf, maka Sang Bhagavan menegurnya “hanya sekali saja”, di depan umum, kemudian dipersilakan untuk keluar dari sangha.
Adanya disiplin yang ketat seperti itulah yang membuat sangha Sadguru, Sang Bhagavan kuat, solid. Sudah lebih dari 2500 tahun – masih bertahan dan berkembang!
Jangan Pikir “senyuman Bhagavan” yang Anda lihat di pratima dan poster itu menunjukkan bila beliau tidak pernah tegas. Senyuman beliau adalah senyuman tegas.
Beliau tidak terbawa oleh rasa kasihan, tetapi oleh rasa kasih. Apa yang Beliau lakukan, walau tampak sangat tegas, adalah demi kebaikan kita sendiri.
Jai Gurudeva!
*Penulis lebih dari 170 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org)