Tenggelamnya Kapal Kepemimpinan Bangsa
Anand Krishna
Radar Bali. Senin 16 April 2007
Tanggal 7, bulan Maret, tahun 2007. Musibah yang terjadi di Bandara Adisucipto Yogyakarta masih segar dalam ingatan kita. Pesawat Garuda dengan nomer penerbangan sekian – walau baru dua hari yang lalu, tapi barangkali nomer penerbangannya sudah tidak ingat lagi – melakukan hard landing, kemudian meledak!
Kotak Hitam telah ditemukan, entah berapa hari atau berapa minggu kemudian kita baru tahu apa yang sesungguhnya menjadi sebab kecelakaan tersebut. Barangkali kesalahan teknis, bisa juga kesalahan manusia. Atau, karena cuaca. Menteri pun mengharapkan kita menahan diri – jangan menyimpulkan sesuatu. Tunggu dulu, sampai tim yang ditunjuk menyampaikan hasil penelitiannya.
Seribu hari kemudian, barangkali seratus hari kemudian, banyak diantara kita yang akan lupa bila pada tanggal7 Maret 2007, tempo hari, terjadi kecelakaan yang menyebabkan sekian banyak nyawa melayang sia-sia.
Adalah keluarga para korban yang masih akan mengingat tangga dan hari tersebut. Adalah mereka yang kehilangan pasangannya, anak dan saudaranya – yang masih akan mengingat tanggal dan hari tersebut. Kita yang hanya membaca tentang berita tersebut, mendengarnya lewat pesawat radio atau melihatnya lewat siaran teve – sudah pasti melupakan tanggal itu.
Adalah satu orang, yang sudah pasti tidak akan pernah tidur nyenyak lagi sepanjang hidupnya. Musibah ini akan selalu menghantui dirinya. Dia adalah pilot pesawat tersebut. Saya tidak banyak tahu tentang sumpah jabatan seorang pilot. Bahkan, tentang adanya sumpah semacam itu. Namun, jika ia memiliki jiwa seorang nakhoda maka sulit baginya untuk melupakan apa yang terjadi pada pesawat-“nya”.
Ya, pesawat-“nya”, kapal-“nya”. Seorang nakhoda mencintai kapal-“nya”. Samudera yang seolah tanpa batas adalah rumahnya. Dan, para penumpang adalah anak-anaknya. Jika terjadi sesuatu pada “cinta”-nya, maka ia tidak akan langsung meninggalkannya begitu saja. Terlebih dahulu ia akan menyelamatkan anak-anaknya. Hingga detik terakhir, hingga kapal itu tenggelam – ia tidak akan meninggalkan kapalnya. Ia akan tetap berusaha, berupaya….. Ia tak akan pernah memaafkan dirinya yang selamat jika penumpangnya tidak selamat. Inilah jiwa seorang nakhoda.
Inilah Semangat Kepemimpinan seorang nakhoda. Ya, seorang nakhoda adalah Pemimpin Kapal selama dalam pelayaran. Ia memahami betul tugas serta tanggungjawabnya. Hingga titik darah terakhir, ia akan berusaha untuk menyelamatkan kapalnya, atau setidaknya para penumpang.
Ia tidak akan meninggalkan kapalnya hingga penumpang terakhir telah berhasil dievakuasinya bersama awak kapal lainnya.
Masih adakah jiwa kepemimpinan seperti itu dalam diri kita? Jika masih ada, maka saya tidak dapat membayangkan sisa hidup pilot Garuda tersebut. Barangkali ia memiliki alasan yang cukup kuat untuk meninggalkan pesawat dan membiarkan sekian banyak penumpang terbakar hangus hingga jasadnya pun sulit diidentifikasi. Pun barangkali awak pesawat yang lain memiliki alasan yang cukup kuat pula. Alasan itu apa, entah!
Kita diberitahu lewat penyiar teve yang barangkali mengetahui alasannya, bahwa: “Rasa syukur tampak jelas pada wajah keluarga pilot dan awak pesawat.” Ya, ya, rasa syukur pada wajah mereka semua yang keluarganya selamat. Dan, rasa pedih dan sedih pada wajah mereka yang kehilangan anggota keluarganya.
Tapi, bagaimana dengan Sang Nakhoda pesawat yang sial itu? Apa yang dirasakannya? Shock, maka tidak dapat diwawancara? Masih dirawat di rumah sakit, sehingga tidak dapat ditemui?
Ah, tapi Saudara Menteri kita telah bertemu dengannya. Ya sudah, salah seorang wakil republik telah menemuinya. Apa yang dirasakan oleh saudara menteri kita – ikut pedih, sedih? Sudah pastilah. Kan beliau pegawai republik, dan republik ini milik publik. Kesedihan publik sudah patut dirasakan oleh seorang pelayan publik.
Tapi, apa selalu demikian? Bagaimana dengan bapak-bapak pendiri perusahaan yang juga duduk sebagai wakil rakyat dan pelayan republik – apa yang mereka rasakan ketika perusahaan yang mereka dirikan itu menjadi sebab penderitaan rakyat, publik?
Beberapa kapal telah tenggelam; pesawat berjatuhan, tergelincir atau mengalami kecalakaan seperti yang telah kita saksikan baru-baru ini; kecelakaan juga terjadi di darat – ditambah lagi dengan berbagai bencana yang kita kaitkan dengan alam atau kehendak Allah – akibatnya, sekian banyak nyawa yang telah melayang.
Bagaimana kita menyikapi semuanya itu? Bagaimana sikap kita sebagi publik? Dan, bagaimana pula sikap para pelayan publik?
Terlepas dari siapa yang bersalah atas semua kejadian itu; terlepas dari human atau technical error – adalah penting bagi kita untuk mencari tahu, “rasa empati” seperti apa yang kita rasakan. Ataukah kita hanya bersimpati?
Kita memasang iklan di teve atau di media lain: Turut Berduka Cita. Kita membayar uang asuransi kepada keluarga korban yang meninggal atau kepada korban yang cidera dan harus dirawat…. Baik, tetapi apakah kita melakukannya terdorong oleh rasa simpati atau empati?
Simpat berarti aku menaruh rasa kasihan terhadapmu. Empati berari aku merasakan penderitaanmu. Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing dan menjawab sendiri pertanyaan itu.
Jangan lupa, kita semua, pada suatu ketika, harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan kita. Amal-ibadah, dana-punia, apa pun yang kita lakukan, hanya mengantar kita hingga satu maqam tertentu. Perjalanan selanjutnya kita lakukan sendiri, dimana setiap anggota badan kita, jiwa, pikiran, serta perasaan kita akan dimintai pertanggunganjawab.
Tenggelamanya Kapal Kepemimpinan Bangsa – semoga judul yang kupilih untuk artikel ini terbukti salah, keliru. Semoga. Aku berdoa. Karena, tanda-tanda yang kulihat sekitarku, semuanya, tanpa kecuali, menunjukkan bahwa Kapal Kepemimpinan Bangsa memang sudah hampir tenggelam.
Rekening negara atas nama seorang menteri, seorang pelayan republik, digunakan, dimanfaatkan untuk keperluan yang tidak ada urusannya dengan negara. Pengacara pembela mencari pembenaran. Sah-sah saja, hukum memberinya peluang seperti itu. Namun jangan lupa, Pembenaran bukanlah Kebenaran. Kapal mereka yang sedang mencari pembenaran sudah tenggelam.
Mereka yang menjunjung tinggi kebenaran malah disomasi. Boleh-boleh saja, itu adalah hakmu. Tetapi, jangan lupa bahwa arogansimu itu telah menenggalamkan kapalmu.
Kau seorang pelayan republik, kau seorang wakil rakyat – apa “kontribusi”-mu sehingga kau diajak untuk ikut mendirikan sebuah perusahaan? Bukankah itu karena kedudukanmu, jika memang benar bahwa kau tidak menamkan modal dalam perusahaan tersebut. Jangan lupa, kedudukanmu itu pun bisa menjadi goodwill dan menjadi saham, modal yang disetor, dalam perusahaan tersebut. Kau lolols dari jeratan hukum di dunia ini, tetapi jangan lupa kapalmu juga sudah tenggelam.
Keserakahan mendorongmu untuk bekerja sama dengan para pengkhianat bangsa, dengan mereka yang akan menggadaikan republik ini demi keuntungan pribadi – bung, kapalmu juga sudah tenggelam.
Tenggelam sudah kapal-kapal yang ditinggal oleh nakhodanya. Semoga para nakhoda masih cukup sadar dan berhasil menyelamatkan para penumpang sebelum meninggalkan kemudi kapalnya. Karena, bila tidak – bila ia mencari aman sendiri – maka aib seumur hidup dan azhab sepanjang zaman menungguinya.
Barangkali kita harus merubah sebuah paradigma yang sudah sejak lama meracuni pikiran kita dan merusak akhlak kita. Mereka yang disebut pemimpin, sudah saatnya merubah pola pikir mereka. Mereka harus berpikir sebagai pelayan masyarakat. Mereka adalah Pegawai Republik, dan Republik ini milik Publik, milik Rakyat, milik kita semua, tentunya milik para pegawai dan pelayannnya juga.
“…….. Ya……. Ya……. mengerti……..” ekspresi-ekspresi seperti itu yang sering terdengar dari para pelayan publik, sepertinya sudah harus ditinggalkan. Pemikiran bahwa apa yang mereka lakukan mesti selalu dipahami oleh publik – adalah pemikiran feodal. Kau bukanlah raja atau sultan – kau seorang pelayan publik.
Dan, publik pun harus memahmi hak serta kewajibannya terhadap republik. Kewajibannya dulu, baru haknya. Apa yang telah menjadi kontribusinya terhadap keutuhan negara serta persatuan bangsa ini? Apa yang telah dilakukannya demi kesejahteraan, kemakmuran dan kesehatan sesama anak bangsa? Adakah dia memperjuangkan keadilan bagi semua, penghapusan diskriminasi bagi sesama anak bangsa? Apa yang menjadi sumbangannya selama ini?
Keluarga menteri boleh memiliki helipad. Dari ruman ke kantor pun pakai helikopter. Jangan pikir saya asal bunyi saja. Nama dan alamatnya masih ada dalam catatanku. Silakan, boleh-boleh saja. Rakyat ikut bergembira dan bersukacita melihat kemakmuranmu, tetapi apa yang telah kau lakukan bagi mereka?
Pesawat Garuda terbakar. Beberapa kapal telah tenggelam. Badai, topan, banjir, bahkan Tsunami telah menyusahkan banyak orang. Gunung Merapi meletus, para penjahat menggunakan dalih agama untuk membunuh……. Berisik, bising, ramai, gaduh – di tengah semuanya itu, wahai sosok pemimpin, dapatkah kau memastikan bahwa Kapal Kepemimpinanmu tidak ikut tenggelam?
Bangsa ini masih berharap pada Kapal Kepemimpinanmu, wahai Satria. Buktikan kesatrianmu dengan mengusir tikus-tikus diatas kapal yang sama sekali tidak berguna.Yang telah menyusahkan banyak penumpang. Bersihkan kapalmu, antarlah kami pada tujuan kami dengan selamat.
Ingat, tujuan kami adalah tujuan kita. Tujuanku adalah tujuanmu jua – Indonesia Baru, Indonesia Damai, Indonesia Satu. Indonesia Jaya!