Yuk Beresin Diri!, 5 November 2007

Yuk Beresin Diri!

Anand Krishna
Radar Bali, Senin
5 November 2007

Pada acara Simposium yang digelar oleh “Forum Pengajar, Dokter dan Psikolog bagi Ibu Pertiwi” tanggal 25 Oktober yang lalu di Lemhanas Jakarta,– kiranya pesan inilah yang kuterima…. Yuk, Beresin Diri Biar Bisa Urusin Negeri!

Dalam konteks yang lebih kecil, lebih terbatas, kita di Bali juga boleh bernyanyi bersama muda-mudi “Pembawa Obor” – kelompok yang menyanyikan lagu itu saat simposium: Yuk Beresin Diri, Biar Bisa Urusin Bali…..

“Ah, Bali sudah terurus…. Urusi Jakarta, Papua, Aceh….. Bali sudah Beautiful koq!” kata seorang teman yang memang Asli Bali.

“Betul Bli, Bali is Beautiful, karena itu Beauty-nya mesti dijaga!” Bali memiliki sesuatu yang sangat berharga, oleh karena itu Bali juga sangat Precious. Dan, sesuatu yang berharga itu adalah Budaya Bali. Budaya Bali adalah bagian dari Budaya Nusantara yang masih hidup. Jantungnya masih berdebar. Urat nadinya masih berdenyut. Otaknya masih bekerja. Budaya di Bali masih merupakan organisme yang hidup.

Di pulau-pulau lain dalam Kepulauan Nusantara, budaya asal ini sudah sekarat. Memang ada beberapa pulau dimana putra-putri Ibu Pertiwi yang masih peduli terhadap warisan nenek-moyang sedang berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya, kultur dan kearifan lokal. Namun, perjuangan mereka itu rasanya tidak mendapatkan dukungan baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Demi kepentingan politik sesaat dan hanya untuk memperoleh simpati dari kelompok-kelompok tertentu, para politisi kita sering mengabaikan nilai-nilai luhur budaya demi takhta dan mahkota.

‘Eh, tunggu dulu….” seorang teman dari Jawa berkeberatan, “di tempat kami, tarian dan gamelan Jawa malah menjadi atraksi turis!”

Hmmmmm, keduanya itu Seni.
Dan, Seni adalah bagian dari Budaya, bukan Budaya itu sendiri.

Apakah Aksara Jawa masih populer? Apakah karya-karya klasik yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal seperti Wedhatama, Nitisastra dan lain sebagainya masih dicetak, diterbitkan dan dibaca oleh umum? Dalam setahun terakhir berapa banyak karya sastra seperti itu yang terbit dan didistribusikan? Bandingkan dengan “Sastra Teen” dan “Chicklit”!

Seni sebagai Atraksi Turis boleh-boleh saja, tetapi itu sepenuhnya, 100% Murni Urusan Materi. Itu Urusan Kantong Sejati. Besok-besok, demi atraksi dan keuntungan materi pula, kisah Ramayana dan Mahabharata pun bisa diselewengkan. Bukankah hal itu sudah terjadi sejak beberapa abad yang lalu, ketika Kisah Dewaruci pun dijadikan sarana untuk mempromosikan kepercayaan asing?

Menerima Kearifan Lokal, berarti menerimanya dengan hati yang tulus. Tidak memanipulasinya demi kepentingan lain, baik untuk meraih ataupun untuk mempertahankan kekuasaan.

Kalimasada tidak perlu dikaitkan dengan Kalimat Syahadat. Keduanya adalah indah, sama-sama indah. Dan, biarlah keduanya berdiri sendiri-sendiri dengan kemegahan masing-masing. Kebudayaan kita tidak menuntut penyeragaman ala barat dan arab. Disana, kebudayaan dan kepercayaan lama lenyap tanpa bekas, tergusur oleh kebiasaan dan kepercayaan baru. Disini, kita selalu merayakan Kebhinekaan dan Keberagaman. “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” bukanlah sekedar semboyan tetapi inti dari kepercayaan kita.

Pun Pancasila bukanlah sekedar ideologi negara yang sewaktu-waktu bisa diganti dengan ideologi lain – Pancasila adalah Saripati Budaya kita.

Saripati inilah, Esensi inilah yang saat ini sedang dicemari oleh pandangan-pandangan sempit…. Sila Pertama: Ketuhanan, bukan “agama” tetapi “Ketuhanan”. Agama adalah jalan, dan setiap jalan berbeda, tetapi Tuhan yang menjadi tujuan adalah Satu dan Sama. Orientasi bangsa ini bukanlah pada jalan yang berbeda, tetapi Tujuan yang sama. Kendati demikian, perbedaan jalan itu diterima sepenuhnya, dan tidak diperdebatkan. Tidak dipersoalkan.

Bali, O Bali, Baliku…… banyak pula putra-putri Pertiwi yang datang ke pulau ini untuk mencari rejeki, dan akhirnya memilih untuk menetap. Kau menerimanya dengan tangan terbuka….. Kau tidak mempersoalkan apakah mata mereka sipit atau belo, warna kulit mereka kuning atau merah, agama mereka X atau Y…. Sayang, saat ini banyak di antara mereka yang maah mengkhianati Air Susu Kasihmu…… Air Susu Kasih yang kau berikan kepada mereka tanpa pilih kasih!

Seorang wanita setengah tua, sudah sakit-sakitan – taruhlah namanya Aren, atau Rean, apa saja – hendak menjual tanahnya di kawasan Matahari Terbenam. Adalah sesama warga Bali – Asli, bila atribut itu perlu kusebut – yang hendak membeli tanahnya. Seorang pengembang yang kadang juga berperan sebagai calo tanah, mengaku warga Bali, dan pengakuannya tidak pernah dipersoalkan walau matanya tinggal segaris ketika ia tertawa – dengan penuh, entah percaya diri atau arogansi, berkata: “Jika lewat saya, harganya 120 juta per are, kalau mau beli sendiri silakan ini nomer telepon pemilik tanahnya. Dia tidak akan jual dibawah harga 135 juta per are!”

“Koq?” Sungguh mengherankan bagi warga Bali yang memiliki nama pertama Wayan, Gede, Made, Nyoman, Kadek, Ketut atau apa saja, “Kenapa bisa begitu?”

“Ya, harga itu hanya bagi sesama umat…..” Dan, 2-in-1 pengembang yang merangkap sebagai calo itu menyebut salah satu agama yang kebetulan termasuk minoritas baik di Bali, maupun di Indonesia.

Arogansi Minoritas!
Lalu, bagaimana pula menyalahkan mereka yang mayoritas?

Tetapi, urusannya bukanlah minoritas dan mayoritas. Urusannya adalah Sila Pertama dalam Pancasila yang telah kita sepakati bersama sebagai Dasar Negara dan Dasar bagi kita semua untuk Berbangsa.

Acungan jempol bagi Warga Bali yang menerima arogansi pengembang itu – pengembang yang belum hafal Sila Pertama dari Pancasila. Pahlawan kita dari Bali tidak merasa perlu untuk mengingatkan dia bila dirinya adalah warga minoritas di Bali. Bravo, kau memang Warga Bali Sejati! Lantai Kotor memang tidak bisa dibersihkan dengan air kotor, harus dengan air bersih.

Pertanyaan bagimu, wahai Pengembang, Calo, Pemilik dan Penjual Tanah, apapun profesimu dan siapapun dirimu: “Apakah kau masih ingat dua perintah utama dari Sang Nabi: Cintailah Tuhanmu….. dan, Cintailah Tetanggamu…..?”

Barangkali, kau telah meralat perintah Nabi itu, kau telah melakukan amendmen, perbaikan dengan menambahkan beberapa kata: Cintailah Tetanggamu, “asal ia seiman denganmu”!

Ajakan bagimu sobatku, wahai pengembang yang mencari rejeki di Bali, dan wahai tuan tanah yang sudah bermukim lama di Bali: Yuk, Beresin Diri, Biar Bisa Urusin Negeri!

Kembali ke Sila Pertama, di hafal dulu yah Bang, Ayu, Mas, Jeng, Kang, Neng: Ketuhanan yang Maha Esa…….