Hindu-“isme” sedang Diserang

DIAMBIL DARI MEDIA HINDU, HALAMAN 42-44, EDISI 185, JULI 2019
DARI ANAND ASHRAM

`OLEH: ANAND KRISHNA

Pembahasan Besar yang Sedang Terjadi saat ini adalah tentang apakah Hindu dan Hinduisme sedang diserang, sedang dikepung, apakah keberadaan Hindu dan Hinduisme berada dalam ancaman, atau apakah ketakutan seperti itu tidak berdasar.

Ketakutan tersebut tentu bukannya tanpa dasar, saya ulangi “bukannya tanpa dasar”, jika kita merujuk pada pandangan Hindu terhadap kehidupan yang berlandaskan Dharma – berlandaskan pada hukum-hukum alam yang abadi dan nilai-nilai kemanusiaan – sebagai sebuah isme, dan menyamakannya dengan isme-isme yang lain.

Statistik demografis di beberapa negara menunjukkan penurunan jumlah penganut Hindu. Apa yang tidak terlihat dalam statistik tersebut adalah pengaruh dan dampak Falsafah Hindu di seluruh dunia. Apa yang belum menjadi subjek penelitian demografi adalah senantiasa bertambahnya jumlah masyarakat dunia yang mengadopsi Jalan Hidup Hindu.

Orang-orang Tersebut mungkin tidak Mendeklarasikan diri mereka sebagai orang Hindu, baik secara legal ataupun formal… tetapi memang legalitas dan formalitas tersebut bukanlah urusan penting di banyak negara, khususnya di Belahan Barat.

Hanyalah di beberapa negara, dan terutama di Asia, dimana agama seseorang masih disebutkan dalam kartu identitas. Lagi pula berapa banyak negara yang seperti itu ?!

Bagaimanapun juga, dapatkah kita mendefinisikan Hindu sebagai sebuah agama semata, sebagai sebuah isme, atau sebuah sistem kepercayaan? Kita telah membahas hal ini sejak beberapa tulisan sebelumnya, sehingga kita tidak akan mengulanginya di sini.

Kembali ke topik kita: Apakah Hindu-“isme” benar-benar diserang? Jika demikian, maka kita sebagai Hindu –ini adalah pendapat subjektif saya, Anda mungkin tidak setuju dengan saya– harus menyambut baik serangan tersebut!

“Isme” dalam Hindu-“isme” seharusnya Memang Diserang. Akhiran “isme” di belakang Hindu harus dilepaskan. Sudah saatnya kita melepaskan identitas pseudo, identitas palsu yang dipaksakan oleh para penjajah yang memperbudak kita selama berabad-abad.

Sanatana Dharma Hindu didasarkan pada Rtam, Hukum Alam. Hukum-hukum ini, seperti Hukum Konsekuensi atau yang populer disebut sebagai Hukum Karma, bukanlah ciptaan manusia.

Kita tidak dapat menunjuk seseorang sebagai pencipta hukum ini. Hukum ini juga bukanlah aagama (bahasa Sansekerta), yang berarti “sesuatu yang secara turun-temurun diterima, diakui” entah yang menurunkannya manusia yang tinggal di bumi, atau kekuatan di langit, di angkasa, di kahyangan, dimana pun juga.

Sebaliknya, Sistem Kepercayaan Isme berpusat pada kehidupan dan ajaran tokoh-tokoh tertentu. Tokoh-tokoh tersebut mungkin telah mengembangkan ajaran mereka sendiri atau menerimanya dari sumber ilahi atau melalui beberapa pengalaman esoteris metafisik.

Oleh karena itu, konflik yang kita lihat terjadi antara para pengikut sistem kepercayaan memang wajar terjadi karena pengalaman kita berbeda-beda. Pengalaman dari para tokoh yang mengembangkan sistem-sistem kepercayaan pun beragam adanya. Ya, kita mungkin menemukan nilai-nilai universal dalam beragam sistem kepercayaan, tetapi perbedaan-perbedaannya juga tidak dapat diabaikan.

Namun, dalam Sanatana Dharma, konflik-konflik tersebut tidak akan pernah muncul, karena hukum-hukum alam adalah sama untuk semua orang. Kita boleh saja memilih untuk menolak Hukum Konsekuensi, tetapi kita tidak dapat menghindarinya.

Kita mungkin menyangkal sifat energi yang tidak bisa musnah, tetapi energi tersebut tidak terpengaruh oleh penyangkalan semacam itu. Ia tetaplah tak termusnahkan.

Sanatana Dharma, entah ia disebut Shinto oleh orang Jepang, Tao oleh orang Cina, Wiwitan oleh orang Sunda atau direndahkan sebagai Paganisme dan Animisime, tetap abadi. la tidak terpengaruh sama sekali. la masih mengatur semua kehidupan, seluruh keberadaan.

Istilah Hindu, seperti kita ketahui, dipopulerkan oleh orang Yunani dan Persia. Istilah ini menyiratkan sebuah “identitas geografis, etnis atau budaya untuk orang-orang yang tinggal di seberang sungai Sindhu atau Indus” di anak benua India dan sebagian besar negara-negara Asia Tenggara modern.

Barulah pada sekitar pertengahan abad ke-19, para pedagang dan penjajah Eropa mulai menyebut Hindu sebagai sebuah isme, sebuah sistem kepercayaan. Kemudian, mereka melangkah lebih jauh untuk membedakan umat Hindu dari umat Buddha, Sikh, dan Jain – yang semuanya, sebenarnya adalah bagian dari keluarga Sanatana Dharma yang sama. Pembagian semacam ini jelas-jelas merupakan bagian dari politik pecah belah.

Suku-suku tertentu juga diracuni dengan gagasan bahwa mereka adalah ras tertindas atau dalit. Dengan demikian, mereka berhasil memecah-belah masyarakat Hindu.

Sayangnya, Politik Pecah Belah yang Sama sekarang diadopsi oleh para tokoh dan lembaga-lembaga haus kekuasaan, yang didukung oleh pengikut mereka yang bebal. Dan, ingatlah, mereka bukanlah penganut kepercayaan lain. Mereka adalah orang Hindu.

Slogan “Hindu dan Hinduisme Diserang” yang mereka gunakan tidak ada bedanya dari slogan serupa yang sering digunakan oleh para penganut sistem kepercayaan lain: “Keyakinan Kita Berada dalam Bahaya”.

Pertama-tama, mereka menciptakan fanatisme, dan, kemudian menciptakan ketakutan untuk menguasai pikiran dan perasaan para pengikut mereka. Mereka bukanlah pemimpin. Mereka adalah para oportunis dan merupakan ancaman bagi masyarakat kita.

Beberapa dari kita mungkin menganggapnya enteng, atau bahkan langsung menolak gagasan tersebut. Tapi, tidak akan memakan waktu lama untuk melihat kerusakan dilakukan oleh mereka dan para pengikut mereka yang membabi buta.

Kita sebagai Hindu Menghadapi Begitu Banyak Masalah. Janganlah kita menggampangkan masalah-masalah tersebut dengan menyebutnya sebagai tantangan. Masalah adalah masalah. Kita harus memahami sifat dari masalah-masalah tersebut, mengidentifikasi mereka, dan mengupayakan solusinya. Dan kita harus mengerjakan sendiri solusinya. Kita tidak bisa mengandalkan para oportunis haus kekuasaan.

Kita bertahan walaupun kita diserang dan dijajah selama berabad-abad. Kita telah berjuang dengan penuh semangat dan berani bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi untuk berkembang.

Sumber inspirasi kita adalah Rama, yang mengubah Vana Nara, para penghuni hutan, menjadi pasukan tak terkalahkan untuk menghancurkan kekuatan adharma, ketidakbajikan, yang dipimpin oleh Ravana.

Inspirasi kita adalah Krishna, Sang Pemandu Mulia, Sang Maha Guru, yang menuntun Pandava menuju kemenangan.

Keduanya, Rama dan Krishna, bukanlah sosok haus kuasa, atau narsis dengan agenda pribadi. Mereka memimpin dengan teladan. Mereka tidak berada di medan perang demi mendapatkan pujian bagi diri mereka sendiri. Mereka memberikan semua kredit kepada orang lain.

Marilah Kita Tetap Seperti Itu. Mari kita tetap menjadikan Rama dan Krishna sebagai Inspirasi kita. Janganlah kita mencari dewa-dewa lain yang lebih rendah dengan agenda-agenda picik dan menjadi pengikut yang membabi buta. Mereka sendiri buta, dan tidak bisa menuntun kita ke mana pun.

Kita bisa berpakaian seperti Rama atau Krishna, tetapi pakaian tidak mengubah kita menjadi Rama atau Krishna. Marilah kita hentikan sirkus ini dan kembali pada kenyataan. Komitmen kita adalah untuk Dharma, ideal kita, sekali lagi, adalah Rama dan Krishna. Marilah kita singkirkan semua gangguan yang diciptakan oleh mereka yang telah menyimpang dari jalan yang benar. Marilah kita ikuti Dharma.

Dan, Dharma tidak diserang, la tidak bisa diserang. Kitalah yang telah meninggalkan Dharma. Kita adalah penyebab dari keadaan saat ini. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun selain diri kita sendiri. Begitu kita menyadari hal ini, kita menjadi Ksatria Dharma sejati, senantiasa siap untuk menegakkan dan melayani tujuan Dharma, Sanatana Dharma – Kebajikan…. Bulan depan kita masih akan melanjutkan pembahasan ini.

*Penulis lebih dari 180 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org) | Periksa YouTube Channel dan Subscribe untuk upload baru setiap minggu: AnandAshramIndonesia dan AnandKrishnalndo