Celebrating Peace Toward Interfaith Harmony –
International Day of Peace (21 September 2009)
Catatan Joehanes Budiman
Pada 21 September 2009 bertempat di Anand Krishna Center (AKC), Jl Pura Mertasari No. 27, Sunset Road Area, Kuta-Bali, Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) menyelenggarakan Peringatan Hari International Day of Peace, dengan tema : “CELEBRATING PEACE TOWARD INTERFAITH HARMONY.”
Pada kesempatan kali ini, tokoh perdamaian dunia, Bapak Anand Krishna mengutip Lao Tze, yang pernah berkata
“If there is right in the Soul, there will be beauty in the person. If there is beauty in the person, there will be harmony in the home. If there is harmony in the home, there will be order in the nation. If there is order in the nation, there will be peace in the world.”
Dalam wejangannya beliau mengatakan bahwa upaya Jeremy Gilley, penggagas Peace One Day, yang mendorong keluarnya resolusi PBB yang menetapkan setiap tanggal 21 September sebagai International Day of Peace (dimana tiap peperangan dan tindak kekerasan pada satu hari ini dihentikan) belumlah cukup karena upaya ini masih dilakukan secara top down. Persis seperti yang dilakukan oleh Mahapatih Gajah Mada pada masa kerajaan Majapahit dengan menggunakan kekuatan militer dan tindak kekerasan untuk menggapai perdamaian dan persatuan di Nusantara.
Tapi yang terjadi adalah pada hari ini (Peace Day) tetap saja terjadi kekerasan pada masyarakat syi’ah oleh pemerintahan Yaman yang mayoritas adalah Islam sunni. Demikian pula ketika pada hari lebaran lalu, kekerasan dan pemboman masih saja terjadi di Afganistan dan Irak.
Organisasi sebenarnya dibentuk hanyalah untuk menjadi sarana atau alat untuk melayani dan sharing bagi kita, bukan semata-mata untuk berorganisasi ataupun berpolitik. Maka bisa diamati bahwa banyak organisasi yang tidak berjalan ketika dana tidak ada. Tapi komunitas kecil Anand Ashram bisa bergerak walaupun tidak didanai oleh siapapun.
Untuk menjadi seorang peacemaker atau penyebar perdamaian, ada upaya 4S dalam hati yang harus kita dimiliki, yakni :
1. Sensitivity.
Apakah kita cukup sensitif untuk merasakan penderitaan orang lain? Merasakan penderitaan orang lain bukan berarti Sin Laundry atau Cuci Dosa; bukan berarti rasa bersalah yang berupaya dikompensasikan dengan sumbangan. Semakin korup seseorang, maka semakin banyak orang itu menyumbang. Ini bukanlah sensitifitas. Inilah adalah proses cuci dosa.
Sensitivity adalah ketika terjadi penderitaan oleh orang-orang lain yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan diri kita, maka tanpa pilih kasih, apakah diri kita dapat merasakan juga penderitaan mereka? Bila kita muslim dan kita dapat merasakan penderitaan warga muslim di Kashmir, maka diri kita belum (tentu sudah)sensitif. Kalau kita beragama kristen, hindu, buddha atau zoroaster tapi dapat merasakan penderitaan warga muslim di Kashmir, maka barulah kita sedikit sensitif. Atau, bila kita muslim, tapi bisa merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang beragama zoroaster di Iran, barulah kita sensitif.
2. Sincerity.
Ini berarti kita harus jujur dengan diri kita sendiri, apakah yang kita mau? Apakah ketika kita ikut Pilkada, kita hanya ingin jabatan atau ingin fasilitas khusus yang menyertai jabatan tersebut? Banyak politisi berkilah bahwa mereka ingin membangun negeri. Maka dia, misalnya, harus menyetorkan 15 Milyar kepada Partai Politik tertentu untuk biaya kampanye supaya dipilih bagi posisi tertentu dalam Pilkada. Bila memang niatnya mau berkontribusi bagi Negeri, kenapa tidak langsung saja menyumbangkan dana yang dialokasikan untuk kampanye itu bagi masyarakat, tanpa perlu harus menduduki jabatan/kedudukan politik atau publik tertentu.
3. Solution.
Di sini kita harus kembali pada Lao Tze bahwa tidak hanya teori, tapi harus memberikan solusi yang pernah dicoba. Komunitas kecil Anand Ashram yang berasal dari berbagai latar belakang agama, suku bangsa, dan sosial sudah melakukan eksperimen ini dan berhasil hidup bersama berdampingan dan bekerja sama untuk berkarya tanpa harus bertengkar karena masalah perbedaan-perbedaan tersebut . Solusi inilah yang dapat ditularkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia. UU Perkawinan di Indonesia, misalnya, jelas bertentangan dengan semangat yang dikandung dalam Pancasila, dasar negara kita.
Hidup bersama berdampingan antar umat beragama tidak berarti pindah agama atau mencampur-adukan agama, tapi saling mengapresiasi agama-agama lain yang dianut oleh pemeluk agama lain. Bahwa kita menyembah dan memuliakan satu Tuhan yang sama. Karena itu mampukah dan beranikah kita berkata bahwa agamaku tidak lebih baik dari agama orang lain? Bila kemampuan dan keberanian akan hal ini tidak ada, maka belum lah kita dapat menjadi seorang peacemaker.
4. Skill.
Seorang Peacemaker pun harus mempunyai keahlian dan cara yang tepat dalam mengatasi konflik dan akar dari permasalahan. Dia harus mampu mengaplikasikan solusi yang sudah teruji dalam kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Ketika Turki terbebaskan dari penjajahan Kekaisaran Otoman, Mustafa Kemal Ataturk punya keahlian dan kesadaran tentang pentingnya membangun negara Turki di atas platform kebudayaan negeri-nya sendiri, agar Turki bisa terbebaskan dari penjajahan bangsa asing karena mengenal jati diri bangsanya sendiri. Maka dia mengundang segelintir ahli bahasa, tradisi kesenian dan budaya Turki untuk membahas kebudayaan Turki yang sudah hampir punah. Waktu itu, Turki begitu terpengaruh oleh kebudayaan luar Turki karena penjajahan dan perdagangan sehingga kebudayaannya sendiri hampir terlupakan warga Turki sendiri. Saat-saat seperti inilah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, seperti yang sering dikumandangkan Vivekananda bahwa Negara yang melupakan sejarah akan kehilangan jati dirinya.
Rumusan 4S ini bila terdapat dalam seorang peacemaker, maka seluruh karyanya untuk menciptakan perdamaian dunia akan selalu berhasil.
Masyarakat dunia saat ini sangat membutuhkan Perdamaian karena sedang menuju sebuah peradaban dunia yang sama. Ini bisa terjadi karena peran Internet dimana informasi dan data dapat diperoleh secara tak terbatas. Tapi harus ada perekatnya, dan perekat terbaiknya adalah Love, Peace dan Harmony.
Hal sama sebenarnya telah disampaikan dalam arti yang terkandung dalam semboyan NKRI, yakni Bhinneka Tunggal Ika (BTI). Dan, BTI bisa juga menjadi solusi bagi konflik-konflik yang terjadi di dunia saat ini. Karena itulah, BTI sebagai solusi bagi terciptanya Perdamaian di dunia, akan dipaparkan oleh Bapak Anand Krishna, sebagai salah seorang ambassador (duta besar) dalam forum Parliament of World’s Religion di kota Melbourne-Australia, pada tanggal 3 – 9 Desember 2009. Semoga terjadi Perdamaian Dunia di atas platform Love, Peace and Harmony.