Renungan Bhagavad Gita 11 – Kenalilah Dirimu!

DIAMBIL DARI MAJALAH HINDU RADITYA, 
HALAMAN 56-57, Edisi 273, APRIL 2020

Renungan

Anand Krishna *

Saya ingat pernah membaca tentang seorang murid miskin yang melayani Gurunya dengan sepenuh hati selama bertahun-tahun tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Tersentuh oleh pelayanan tanpa pamrih seperti itu, sang Guru bertanya kepadanya, “Katakan apa yang kamu inginkan dari saya? Mintalah apa saja. Murid itu bingung: “Apa yang harus kuminta, Guru? Kasih karunia Guru, berkah Guru sudah cukup. Dan, aku sudah mendapatkan berkah Guru yang berlimpah, bahkan lebih dari yang layak kudapatkan.”

“Tidak, tidak, kamu harus meminta sesuatu. Pulanglah dan tanyakan pada keluargamu, mereka mungkin memiliki beberapa kebutuhan. “Didesak oleh Sang Guru, murid itu pulang ke rumah, dengan agak enggan, dan bertanya kepada ibunya yang sudah tua, “Ibu, tolong beri tahu jika Ibu menginginkan sesuatu dari Guru… Beliau mendesakku untuk meminta sesuatu.”

Sang Ibu menjawab: “Mintalah sebidang tanah, anakku. Kita tidak punya rumah. Kau telah melayani Gurumu selama bertahun-tahun, beliau pasti akan memenuhi keinginanmu.”

Sang murid berpikir bahwa itu tidak tepat, sementara itu istrinya yang mendengarkan percakapan itu urun pendapat, “Suamiku tersayang, aku bisa membaca ekspresi wajahmu. Mungkin kau berpikir terlalu berlebihan bila meminta rumah. Bila demikian, mintalah uang. Guru tahu kondisi kita. Beliau pasti akan memberimu cukup uang untuk memastikan kita hidup dengan layak.”

Murid itu tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Ide untuk meminta sesuatu dari Guru yang telah dia layani tanpa pamrih pribadi sangat tidak masuk akal. Sementara itu, putrinya yang baru berusia 7-8 tahun datang untuk membantu ayahnya: “Ayah, ayah…. Guru tahu segalanya. Dia penuh cinta, penuh kasih. Janganlah kita meminta sesuatu yang menodai pelayanan ayah dan kasih Guru.”

Sang Murid, Sang Ayah terkagum-kagum oleh apa yang dikatakan gadis kecil itu, dengan bangga ia berkata: “Kamu benar putriku, ayo, mari kita pergi ke ashram. Dan, ya, apa pun yang kita minta tidak boleh menodai kasih serta keagungan Guru.”

Tiba di ashram Guru gadis kecil itu membungkuk dan menghormati Sang Guru. Ketika ditanya apa kebutuhannya, maka gadis kecil itu menjawab: “Atas anugerah Guru, tidak pernah ada  satu hari pun ketika kami tidur dengan perut kosong. Guru telah memberkati kami dengan setidaknya satu kali makan sehari – setiap hari. Berkahi kami Guru, agar kelak bila karena karma kami, konsekuensi dari tindakan kami di masa lalu, kami harus tidur dengan perut kosong – kami masih akan bersyukur atas anugerah, kasih sayang, dan cinta Guru yang selalu berlimpah.”

Sang Guru memeluk anak kecil itu dan memberkati muridnya yang tercinta: “Tidak akan ada kekurangan makanan di rumahmu, tidak akan pernah. Engkau diberkahi dengan kekayaan kebijaksanaan sejati. Semoga kebijaksanaan itu menaungi dan melindungi keluargamu.”

Bab Ketujuh Bhagavad Gita dimulai dengan penjelasan Krishna kepada Arjuna: “Pengetahuan sejati tentang diri adalah cahaya kebijaksanaan yang melenyapkan kegelapan ketidaktahuan dan menghilangkan semua keraguan. Melalui penyembahan dan tekad yang kuat, engkau bisa mendapatkan pengetahuan itu, Arjuna.

Seorang Guru, seperti dalam kisah di atas hanyalah sarana untuk mengembangkan penyembahan. Seorang Guru tidak membutuhkan pelayanan apa pun. Adalah murid yang membutuhkan seorang Guru dalam wujud seorang manusia untuk membantunya mengembangkan persembahan.

Bisakah seseorang sepenuhnya, tanpa syarat, dan tanpa pamrih menyembah diri pada sesuatu yang abstrak? Tanpa motivasi, tanpa embel-embel pamrih, entah dalam bentuk surga ataupun segala kenikmatan selama berada di dunia?

Penyembahan pada Sosok Seorang Guru, demikian dalam tradisi kuno, tidak berhenti pada Guru. la berkembang terus, kemudian muncul tekad. Hal ini penting untuk dipahami. Sebab, Anda tidak dapat mengejar sesuatu dengan seluruh mind (gugusan pikiran dan perasaan) Anda, tanpa kehendak yang kuat, tanpa tekad yang kukuh.

Krishna tidak berfilsafat tentang kehidupan Dia menunjukkan cara untuk hidup sepenuhnya. Selama ini, kita belum hidup sepenuhnya. Kita hidup dalam ketakutan, dalam keraguan bahkan tidak tahu apa artinya hidup. Selama bertahun-tahun, selama berkali-kali masa kehidupan, kita hanya hidup di tepian samudra kehidupan. Tidak pernah menyelaminya.

Krishna menjelaskan arti kehidupan kepada Arujna, “Semua yang engkau lihat diliputi oleh diri, oleh kesadaran yang sama yang meliputi engkau dan aku. Manifestasi diri sungguh beragam tak terbatas, tetapi diri tetap sama.

“Unsur-unsur alami – tanah, air, api, udara, dan eter – bahkan mind, ego, dan intelijensia manusia – semuanya adalah manifestasi kasar atau rendahan dari diri. Sedangkan Jiva, Jiwa yang merupakan sumber dari semua kehidupan, prinsip hidup yang menopang semua, adalah yang lebih tinggi, lebih lembut.

Apakah kita memahami maksud Krishna? Manifestasi yang lebih kasar atau lebih rendah dari kehidupan mengikuti seperangkat hukum alam yang berlaku untuk mereka. Mereka berkembang berdasarkan prinsip dualitas. Segala macam perbedaan, konflik, dan sebagainya muncul dari prinsip dualitas ini.

Sesungguhnya, dunia ini, tata surya, alam semesta, dan seluruh keberadaan harus selalu mematuhi prinsip dualitas agar tetap eksis. Tidak ada cara untuk menghindari dualitas pada tataran itu. Oleh karena itu adanya kebutuham akan harmoni. Harmoni tidak mengakhiri perbedaan; namun, harmori dapat mengakhiri konflik yang timbul dari perbedaan tersebut.

Begitu kita memahami bahwa dualitas adalah sesuatu yang sangat alami pada tataran manifestasi yang lebih kasar atau yang lebih rendah dari diri, tidak akan ada konflik. Akan ada penerimaan dan apresiasi atas perbedaan tersebut.

Di tataran yang lebih halus, lebih tinggi, tidak ada perbedaan. Energi adalah satu. Kesadaran adalah tunggal. Pada tataran itu, hukum keesaanlah yang berlaku. Namun, selama tubuh ini ada, selama mind, ego. intelijensia ada – tidak mungkin untuk tetap berada di tingkat kesadaran yang lebih tinggi setiap saat.

Ya, kesatuan pada tingkat kesadaran tinggi ini adalah sesuatu yang harus kita sadari, sesuatu yang harus merjadi kesadaran kita; namun, kita tetap berkarya dan hidup pada tingkat kesadaran yang lebih rendah atau kasar. Nah, inilah kunci untuk hidup harmonis, hidup bahagia! Menerima segala perbedaan, berkarya di dunia penuh warna-warni dan keberagaman – namun tetap fokus pada Hyang Tunggal. Lebih lanjut tentang ini dalam renungan berikutnya, kita masih dalam bab ketujuh.

(Artikel ini pernah terbit di The Bali Times dalam bahasa Inggris dengan judul “Musings on the Bhagavad Gita: Know Yourself!”, dan bisa diakses di www.bhagavadgita.or.id)

*Penulis lebih dari 180 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org | Periksa YouTube Channel dan Subscribe untuk upload baru setiap minggu: AnandAshramlndonesia dan AnandKrishnalndo