Sepuluh Butir Kebijakan Mahatma Gandhi (Bag. 3)

Sepuluh Butir Kebijakan Mahatma Gandhi (Bagian 3)

Anand Krishna*
Radar Bali, Jumat 4 Juli 2008

3. Forgive and Let it Go.

“The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong…. An eye for eye only ends up making the whole world blind.” – Seorang lemah tidak dapat memaafkan. Kemampuan untuk memaafkan hanyalah ada pada mereka yang kuat…… Bila pencungkilan mata dibalas dengan mencungkil mata, maka seluruh dunia akan menjadi buta.

Apakah kita masih hidup dalam kegelapan “mata untuk mata”? Apakah kita masih juga membenarkan “aksi balas dendam” dan “kekerasan”? Bila jawabannya “ya”, maka semestinya kita bertanya pada diri sendiri, “kenapa”?

Kenapa kita selemah itu, sehingga tidak dapat memaafkan, tidak dapat membiarkan masa lalu berlalu? Kenapa kita masih hidup dalam masa lalu?

Coba pikirkan, bila kita tidak memaafkan, tidak membiarkan masa lalu berlalu – maka apa yang terjadi? Kita hidup dalam kegelapan lorong masa lalu itu sendiri. Dan, dalam kegelapan itu kita menciptakan kegaduhan di antara sesama umat yang hidup dalam kegelapan pula.

Kita lupa bahwa lorong gelap tempat kita berada bukanlah “harga mati”. Sewaktu-waktu kita bisa meninggalkan lorong itu, bisa keluar dari lorong itu. Bila kita memilih hidup di dalam lorong gelap, maka kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa atas pilihan kita.

Hidup di dalam lorong berarti hidup dalam kemandegan. Mereka yang hidup di dalam lorong gelap itu sesungguhnya sudah berhenti hidup. Mereka tidak berkembang. Mereka tidak maju. Mereka berjalan di tempat.

Sebaliknya, mereka yang dapat memaafkan, mereka yang siap untuk keluar dari lorong gelap – sudah pasti dapat pula merayakan hidup. Mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka menuju kejayaan, meraih kebahagian, menemukan kedamaian dalam diri.

Dengan memaafkan, kita memperoleh energi yang luar biasa. Energi itu pula yang kemudian menjadi kekuatan kita, menambah semangat kita untuk berjuang demi kebajikan dengan cara yang bajik pula.

Memaafkan berarti tidak membenci para pelaku kejahatan. Bujuklah mereka, berilah mereka kesempatan untuk mengubah diri. Namun, bila mereka tidak memanfaatkan kesempatan itu, tidak mau mengubah diri, tetap menggunakan kekerasan – maka adalah kewajiban kita untuk memastikan mereka di karantina beberapa waktu. Mereka diberi kesempatan ulang untuk mengubah diri. Selama 5, 7, 10, atau 20 tahun, bahkan bila perlu seumur hidup – mereka diajak untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Pun, kita mesti memastikan bahwa mereka tidak dikeluarkan dari karantina semacam itu, tidak dibiarkan berkeliaran bebas bila belum sembuh dari penyakitnya.

Sebab itu, penjara, bui, atau lembaga pemasyarakatan kita – mesti berubah menjadi Lembaga Pengembangan Diri, Lembaga Pembenahan Diri, Lembaga Pencerahan Diri. Janganlah memenjarakan jiwa mereka dalam kotak-kotak baru “penafsiran agama yang sempit”, yang selama ini sudah menjadi sumber dari sekian banyak konflik dan persoalan. Bebaskan nilai-nilai luhur keagamaan dari pemahaman kita yang masih sangat jauh dari keluhuran.

Banyak penafsir agama di antara kita justru membenarkan aksi “balas-dendam”. Mereka tidak menginginkan kita melupakan kejadian-kejadian penuh kekerasan yang terjadi pada masa lalu. Mereka tidak menginginkan kita melupakan sejarah suram yang sudah tidak relevan dan tidak kontekstual lagi dengan zaman kita. Sungguh ajaib!

Mereka adalah promotor paham kekerasan – paham yang sama sekali tidak memberikan tempat bagi pemaafan dan paham tanpa-kekerasan. Ini pula yang diakui oleh beberapa agamawan kita yang dianggap terpandang oleh masyarakat, yang bahkan pendapatnya dipertimbangkan oleh pemerintah dan aparat.

Bila kita tidak dapat memaafkan, maka kekerasan yang terjadi sebagai akibatnya dapat dimaklumi. Osama bin Ladin dan gerombolannya; Imam Samudra, Amrozi, Muchlas dan sejenisnya; dan para pelaku kekerasan lainnya, termasuk para pembela mereka – patut dikasihani. Karena, mereka tidak pernah tahu bila di atas kekerasan masih ada kekuatan lain. Mereka tidak mengerti bahwa di atas urusan balas dendam dan “antum jual, ana beli” – masih ada urusan lain, yaitu urusan Sabar, Shabur. Bukankah Hyang Maha Sabar adalah salah satu di antara sekian banyak nama-Nya?

Mereka yang tinggal di Timur Tengah pada masa lampau menjadi keras, kaku, dan alot karena iklim gurun di sana. Keadaan ini sudah mulai berubah. Para pemimpin di Timur Tengah pun mulai sadar bila kekerasan bukanlah solusi. Di negeri kita sendiri, Presiden Bambang Susilo Yudhoyono sudah berkata sejak awal bahwa kekerasan bukanlah jawaban.

Timur Tengah sudah membelok ke arah tanpa-kekerasan. Mereka sadar bahwa kekerasan tidak menghasilkan apa-apa. Sebab itu, mereka bersedia melupakan pertikaian masa lalu. Mereka sedang mengupayakan “tutup buku” bagi sejarah masa lalu, dan memulai dengan lembaran baru.

Bagaimana dengan kita? Kita tidak memiliki sejarah sesuram itu…. Lantas apa yang terjadi, sehingga saat ini kita justru menjadi keras, kaku, kasar,dan alot?

Jangan-jangan penyakit dari seberang sana justru dipindahkan ke sini? Paham kekerasan yang sudah tidak laku di sana, diekspor ke sini? Betapa bodohnya kita bila mengimpor paham seperti itu? Betapa tidak bijaknya kita bila mau membeli paham seperti itu?

4. Without Action You aren’t Going Anywhere.

“An ounce of practice is worth more than tons of preaching” – Satu ons tindakan lebih baik dari pada berton-ton dakwah.

Lip Service atau NATONo Action Talk Only – telah mencelakakan kita semua. Bila kita tidak segera memperbaiki keadaan ini, maka binasalah kita semua.

Bicara saja memang mudah. Melakoni sesuatu tidak mudah. Tetapi, apa arti sesuatu yang hanya dibicarakan, dan tidak dikerjakan, tidak dilakoni? Kita boleh bicara tentang keamanan bagi semua, keadilan dan kesejahteraan bagi semua, kedamaian dan kebahagian bagi semua – kenyataannya apa?

Kita masih saja memikirkan kepentingan diri, kepentingan kelompok, dan kepentingan partai di atas kepentingan umum.

Kita mengisi otak kita dengan segala macam pengetahuan. Otak kita sudah menjadi perpustakaan, seperti yang dikatakan oleh Svami Vivekananda. Namun, seluruh pengetahuan itu tidak berguna, karena kita tidak menerjemahkannya dalam bahasa kebajikan bagi sesama. Kita tidak melakoninya.

“Buntelan buku di atas seekor kedelai”, kata Imam Ghazali, “tak mampu mengubah keledai itu menjadi seorang cendekiawan”.

Saat ini masyarakat boleh terbuai oleh janji surga dan senyuman plastik yang kita tebarkan; kita boleh menipu mereka – namun, sejarah tidak dapat ditipu. Hari ini, ketakwarasan kita boleh dibela oleh mereka yang sama-sama tidak waras – besok ketika kita sudah tidak ada, siapa yang akan membela kita? Anak-cucu kita akan malu menyebut nama kita.

Kelak kita sudah tidak ada lagi di dunia ini, tetapi perbuatan kita akan terkenang sepanjang masa. Maka, berbuatlah sesuatu yang dapat dibanggakan oleh anak-cucumu. Berbuatlah sesuatu bagi sesama anak bangsa, bagi Ibu Pertiwi, bagi sesama manusia, bagi kemanusiaan, bagi dunia……

*Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.aumkar.org/, http://www.californiabali.org/)