Yoga sebagai Komoditas

DIAMBIL DARI MAJALAH CRADDHA HALAMAN 47-48, 
EDISI KE 89, TAHUN XXI, JULI - AGUSTUS 2019

Artikel

oleh : Anand Krishna*

Beberapa Bulan yang Lalu, isteri seorang politisi beken dari India datang ke Ubud untuk belajar Yoga. Wow, wow, wow – bukan hebat lagi, tetapi huebaattt. Dia juga bertemu dengan beberapa tokoh di Pulau Bali, yang semuanya merasa bahagia. Harapan bahwa “Bali akan segera menjadi Ibukota Sedunia” terasa akan segera terwujud. Tentunya membahagiakan dan membanggakan orang Bali.

Barulah setelah bertemu dengan saya, dia mau blak-blakan bilang : ”Susah kalau sertifikasinya dari Ashram di India, tidak ada khasnya. Kalau dari Ashram besar di India mahal sekali… Kalau di sini,” maksudnya di Ubud, “cuma setengahnya biaya di India, bisa jalan-jalan lagi dan yang penting, tanda tangan instrukturnya… “Singkatnya, yang dimaksud adalah tanda tangan seorang bule. Sekali lagi huebaattt! Sudah merdeka, tapi belum bebas dari mentalitas seorang budak yang dijajah.

Di tempat lain, ceritanya lain… dalam suatu event resmi Yoga yang diadakan oleh institusi yang bergengsi – disajikan makanan non-vegetarian, “hanya ayam saja…” Lalu bagaimana dengan Ahimsa, salah satu prinsip dasar dalam Yoga adalah mengajak kita untuk menjauhi kekerasan?

Memang, biarlah “kesadaran menjadi vegetarian datang sendiri” – tapi adakah keharusan bagi institusi yang selama mempopulerkan Yoga untuk menyajikan masakan non vegetarian? Urusannya apa? Kalau masih mau mengkonsumsi daging silakan! Memang kesadaran diri yang semestinya menuntun kita untuk mulai mempraktekkan Ahimsa. Silakan mengkonsumsinya daging di rumah, di kantor, di warung, di restoran, di hotel, di mana saja… Tapi, dalam suatu event resmi!!! Bukankah tanggung jawab institusi yang mempopulerkan Yoga untuk ikut mempopulerkan Gaya Hidup Yoga yaitu Gaya Hidup Vegetarian ?

Jangan Kerdilkan Yoga. Yoga telah dikerdilkan, dikebiri, menjadi seperangkat latihan fisik dan pernafasan. Olah badan dan olah nafas saja. Padahal, Bhagavan Patanjali, “Bapaknya” Yoga, menyajikan Yoga sebagai Gaya Hidup, jelas sekali dalam sutra-sutranya, bahwa ada dasar-dasar yang tidak bisa diubah karena waktu, keadaan, atau apapun. Celakanya, pengebirian dan pengerdilan ini dilakukan sendiri oleh mereka yang mempromosikan Yoga. Kesimpulannya apa?

Pertama : Barangkali para Fasilitator Yoga tidak memahami apa itu Yoga yang sebenarnya; Kedua: Memang sengaja tidak mau menerapkan disiplin Yoga dan mengajarkannya sebagai Gaya Hidup, karena mereka sendiri belum mempraktikan Yoga sebagai Gaya Hidup; Ketiga: Sudah mengerti semuanya, tetapi demi “pasar” – tidak mau menawarkan sesuatu yang menurut mereka bisa mempengaruhi minat mereka yang mau belajar. Apa pun alasannya, yang terjadi adalah pengaburan prinsip-prinsip Yoga, pembodohan masyarakat demi uang, fulus, penghasilan. Sayang, sayang sekali. Beribu-ribu kali sayang.

Banyak orang saat ini belajarYoga dengan tujuan jelas “mau mengajar Yoga”. Bukan lagi untuk menjadi Yogi, atau seorang Praktisi Yoga, seorang Acharya yang melakoni apa yang hendak diajarkannya, atau lebih tepat, dibagikannya.

Yoga telah menjadi komoditas, suatu produk yang banyak diminati untuk menjadi sumber penghasilan, karena untuk mendapatkan sertifikat cukup menghadiri program 100 jam selama beberapa hari. Kalau mau lebih kren lagi, 200 jam, 500 jam – bahkan kadang jam untuk membaca buku pun dihitung, padahal waktu itu digunakan para peserta untuk jalan-jalan.

Walau ada yang disebut Protokol Yoga, isinya juga sebatas latihan-latihan saja. Tentang Yoga sebagai Gaya Hidup hanya disebut saja, tidak ada penjelasan yang gamblang, apalagi kewajiban untuk melakoninya. Suatu keadaan yang amat sangat menyedihkan Yoga telah menjadi barang dagangan saja. Dan, saat ini pulau kita tercinta (Bali) digunakan oleh oknum- oknum, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk menjajakan dagangannya (Yoga). Ada dagangan Yoga Panas, Yoga Dingin, Yoga Panas-Dingin, Yoga Tari, Yoga Beer dan Wine – banyak jenis…. Institusi- institusi yang semestinya bertanggung jawab meluruskan apa yang telah menjadi bengkok, malah memperparah kondisi dengan merekrut selebriti populer untuk mempopulerkan Yoga. Apa perlu? Ya, tentunya perlu, kalau memang mau  “berjualan” Yoga. Jadi, seperti pabrik suatu produk murah yang menggunakan jasa bintang film “mahal” supaya konsumen bisa di bully. Apakah Yoga membutuhkan iklan-iklan murahan seperti itu? Tidak, setidaknya menurut saya, TIDAK!

Kita, Warga Bumi yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Yoga, nilai-nilai budaya dan peradaban yang sudah cukup tinggi ketika banyak warga di belahan benua lain masih berburu untuk keberlangsungan hidupnya – mesti menghargai warisan ini. Beranikah bersuara dan menolak kondisi ini….?

*Penulis lebih dari 180 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org) | Periksa YouTube Channel dan Subscribe untuk upload baru setiap minggu: AnandAshramIndonesia dan AnandKrishnalndo