MOKSHA (Radar Bali, Kamis 5 November 2009)

MOKSHA

Anand Krishna*
(Radar Bali, Kamis 5 November 2009)

Moksha – Kebebasan Paripurna, Keselamatan atau Pembebasan – ialah purushaartha keempat sekaligus terakhir, empat pilar yang menyangga struktur kehidupan kita. Tiga yang pertama telah dibahas sebelumnya, Dharma atau Kebajikan, Artha atau Kekayaan dan Kama atau Keinginan.

Lazimnya, moksha diartikan sebagai “kebebasan dari siklus kehidupan dan kelahiran.” Banyak pembicaraan, diskusi dan penelitian ilmiah pada subjek kehidupan setelah kematian, kehidupan setelah kehidupan, pengalaman dekat kematian, reinkarnasi dan seterusnya. Kendati demikian, moksha tetaplah sebuah misteri, karena ini bersinggungan dengan sebuah situasi di balik kehidupan dan di balik kematian. Dan yang paling penting, siapa dapat menjamin bahwa anda tak akan terlahir kembali setelah anda mati “kali ini”?

Moksha setelah atau melampaui kematian ialah sebuah pikiran yang menghibur. Buddha menyebutnya Nirwana, satu dan hal yang sama. Teolog Buddhis, kendati demikian, membela diri, “Tidak, mereka tidak sama.” Baiklah kalau anda ingin mendirikan agama baru, maka Anda harus menciptakan seperangkat doktrin dan dogma yang baru pula. Oleh sebab itu, saya bisa memahami keberatan mereka atas kesamaan nirwana dengan moksha.

Sebuah cawan terisi air terkosongkan di tengah lautan. Buddha memperhatikan cawan yang kosong dan berkata, “Lihatlah, airnya hilang. Nirwana, ini berakhir, selesai, terlaksana.”

Orang lain yang memperhatikan lautan mengatakan,” Air di dalam cawan telah bersatu dengan lautan. Persatuan Agung. Inilah saatnya merayakan Pertemuan Paripurna – wow, moksha!”

Kejadiannya sama; penjelasan kitalah yang berbeda. Tapi, sekali lagi, itu sekedar penjelasan, pikiran, hipotesis, wacana. Sebagai salah satu  purusahartha, moksha – nirwana, pembebasan, keselamatan, surga, atau dengan istilah apapun Anda menyebutnya – mesti berada di dalam hidup kita. Ia mesti terkait dengan kehidupan, dan tak hanya dengan kehidupan setelah kematian saja.

Dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam apa yang disebut “waktu sesungguhnya,” moksha dapat diterjemahkan sebagai kebebasan. Saya teringat sebuah puisi yang indah, ditulis oleh Rabindranath Tagore (1861-1941).

“ Di mana pikiran tak terikat rasa takut dan kepala berdiri tegak
Di mana pengetahuan begitu bebas
Di mana dunia tak lagi terpecah-pecah ke dalam kepingan-kepingan
oleh sekat-sekat sempit buatan sendiri
Di mana kata-kata keluar dari kedalaman kebenaran
Di mana upaya tak kenal lelah membentangkan lengannya menuju kesempurnaan
Di mana aliran jernih penalaran tak tersesat di jalannya
Memasuki gurun pasir yang menjemukan dan kebiasaan yang mematikan
Di mana pikiran dibimbing maju oleh-Nya
Memasuki pikiran dan tindakan yang terus meluas
Ke dalam surga kebebasan semacam itu, oh Bapa, biarkan negaraku terus terjaga…”

Tiada pemahaman yang lebih baik tentang moksha dalam kehidupan kita sehari-hari selain seperti yang diuraikan oleh puisi hebat di atas.

Moksha dalam hidup ialah kebebasan berpikir, berekspresi, berkreasi, bergerak dan mengikuti apa yang dikatakan hatimu.

“Dimana pikiran tak terikat rasa takut dan kepala berdiri tegak” – mokhsa pertama dan utama ialah bebas dari rasa takut. Ketakutan melemahkan jiwa kita. Ketakutan membunuh jiwa kita. Ketakutan ialah penghalang bagi mekarnya potensi manusia. Ketakutan itu anti-jiwa.

“Kepala berdiri tegak” dalam bait ini mengacu pada situasi tanpa rasa takut. Ini bukan karena arogan dan egois. Ini merupakan ekspresi jiwa lewat badan kita – jiwa yang selalu bergerak membumbung ke atas, mencoba meraih kemungkinan lapisan kesadaran yang tertinggi.

“Di mana pengetahuan bebas,” tak dimanipulasi oleh pemerintah, oleh masyarakat, oleh institusi agama atau lembaga buatan manusia lainnya. Segera setelah seorang anak lahir, kita diberi identitas, bahkan faktanya seperangkat identitas, sosial dan juga agama.

Pangeran Charles lahir sebagai manusia, sama seperti anda dan saya. Kendati demikian, kita berbeda lokasi kelahirannya. Dia lahir di istana; kita lahir di luar istana. Karena alasan itu, ia disebut “pangeran” sejak lahirnya. Bayi Charles tak paham arti gelar yang diberikan padanya, atau implikasinya. Karena gelar itu dipaksakan atasnya tanpa kemauannya.

Lalu mulailah latihannya sebagai seorang pangeran. Pengetahuan, ilmu dan seni dikemas baik secara khusus untuknya. Pihak kerajaan memutuskan apa yang sesuai dan yang tidak bagi seorang pangeran.

Tapi tidakkah anda berpikir situasi kita lebih baik? Charles ialah korban pihak kerajaan dan masyarakat kerajaan. Kita ialah para korban dari para miskin dan masyarakat miskin. Kita semua ialah korban dari sistem-sistem buatan manusia.

“Di mana dunia belum terpecah-belah ke dalam kepingan-kepingan oleh sekat-sekat sempit buatan sendiri” – semua sistem buatan manusia, dogma, doktrin, dan kredo menciptakan batasan-batasan. Tagore menyebutnya “sekat sempit buatan sendiri.” Itu tak konkret, tapi sekat mental dan emosional.

“Di mana kata-kata keluar dari kedalaman kebenaran” – kata-kata dan perbuatan kita diatur oleh pikiran, benak kita. Jika pikiran kita tak bebas, kata-kata kita tak bisa menjadi benar. Karena butuh jiwa yang berani dan bebas untuk menjadi benar. Menjadi benar ialah mengambil resiko. Juga, jika pikiran kita tak bebas, kita tak bisa bertindak dengan bebas. Kita tak bisa bergerak dengan bebas.

“Di mana upaya tanpa lelah membentangkan lengannya menuju kesempurnaan” – orang bebas ialah orang yang berupaya mencapai kesempurnaan. Karena alasan inilah para sultan, emir, raja dan pejabat yang berkuasa tak tertarik pada kesempurnaan kita.

“Di mana aliran bening nalar tak tersesat dalam jalannya memasuki gurun pasir yang menjemukan dan kebiasaan yang mematikan – penalaran bersebrangan dengan perbudakan.” Nalar itu anti manipulasi. Nalar ialah untuk berkembang, untuk membuka diri, untuk belajar lebih dan mengetahui lebih. Nalar tak membiarkan status quo. Penalaran sangat sangatlah dinamis, senantiasa berubah, bertransformasi dan menyempurnakan.

Inilah sebabnya kenapa pejabat, lembaga, politisi tanpa prinsip dan korporasi tanpa kesadaran selalu mencoba untuk memburu lembaga penalaran di dalam diri kita. Inilah sebabnya dogma dan doktrin dibuat. Inilah kenapa ritual dipaksakan. Kita dipaksa untuk membentuk kebiasaan yang menguntungkan sistem.

Kurang atau lebih, setiap dari kita telah menjadi korban sistem dan kemapanan. Lebih cepat kita menyadari ini, lebih baik.

”Di mana pikiran dibimbing maju oleh nya memasuki pikiran dan tindakan yang meluas terus” – Tagore dilahirkan sebagai “subjek” atau “warga jajahan” Inggris. Negaranya tidak merdeka; masih dijajah oleh Inggris. Tapi dalam jiwanya ia manusia bebas. Dalam ruh, ia membumbung tinggi, terbang melintasi lapisan tertinggi di atas langit.

“Di dalam surga kebebasan itu, oh Bapa, biarkan negaraku terjaga” – bangsa-bangsa menjadi merdeka dan sekali lagi diperbudak oleh korporasi rakus dan politisi korup. Oleh sebab itu, adalah penting, dan mendesak bila terlebih dahulu manusia menjadi bebas – bebas dalam pikiran, dalam hati, dalam jiwa, dalam roh.

Manusia mesti menjadi bebas terlebih dahulu. Ia harus belajar mengapresiasi kebebasan. Hanya dengan demikian, dan hanya setelahnya, ia  dapat menghargai, menjaga dan merawat kemerdekaan bangsanya.

Ada istilah yang indah dalam bahasa Sansekerta, Jeewan Mukta – Seseorang Yang Bebas dalam Hidup. Ini, yang kemudian, menjadi benih bagi moksha, atau kebebasan sampurna setelah kehidupan.

Demikianlah purushartha – empat pilar yang menopang struktur kehidupan kita.

* Penulis adalah aktivis spiritual, dan telah menulis lebih dari 130 buku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatannya di Bali, silahkan menghubungi Padma +62 818-0530-8808, atau kunjungi www.aumkar.org, www.anandkrishna.org (Tulisan ini pertama kali dimuat di The Bali Times, diterjemahkan oleh Nugroho Angkasa).