Arti Sebuah Penghargaan
Radar Bali, Senin 20 Agustus 2007
Saya pernah berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa di Jakarta.
Tujuannya mulia, setidaknya demikian di mata masyarakat hingga hari ini, dan di mataku saat itu – Melayani mereka yang berada dalam keadaan susah, sakit.
Kemuliaan Melayani atau Nilai Pelayanan sering terkalahkan oleh pujian dan penghargaan. Kemudian, pujian dan penghargaan itu yang menjadi penting. Kita lupa bahwa pelayanan bukanlah pelayanan bila yang dituju adalah pujian dan penghargaan.
Jiwa Pelayanan tercemar oleh pujian dan penghargaan. Pujian dan penghargaan merubah pelayanan menjadi jasa. Dan, jasa adalah dagang, usaha, bisnis.
Hari itu, saya bersama rombongan disambut oleh seorang wanita cantik, dalam keadaan ceria…. Sulit untuk menerka apakah dia seorang pasien atau seseorang yang datang untuk menjenguk pasien. Ketika diperkenalkan oleh petugas rumah sakit, kita baru tahu bila dia memang pasien dan sudah dianggap “aman”.
Sambutan wanita itu penuh dengan kegembiraan dan keceriaan… Ia menyanyikan lagu-lagu gereja. Kemudian, tiba-tiba ia mendekati seorang teman yang berjanggut seperti saya juga, dan menyapanya: “Tuhan Yesus telah datang, Tuhan Yesus telah datang……” Untuk sesaat, temanku barangkali lupa bahwa yang menyapanya adalah seorang penderita kelainan jiwa….. Karena kemiripan janggut, saya pun lupa…. kemudian, tiba-tiba wanita itu menampar teman saya: “Dari dulu saya panggil-panggil, baru datang sekarang…. Kenapa?”
Adakah kebahagiaan dari pujian dan penghargaan yang kita peroleh dari seseorang yang tidak waras? Pujian dan penghargaan dari orang-orang yang tidak waras hanya membuktikan bahwa kita dianggap sebagai bagian dari komunitas orang-orang yang tidak waras. Dan, dengan mempercayai pujian mereka, menerima penghargaan dari mereka – kita mengamini kepercayaan mereka.
“Come, join the club!”
Kita menerima undangan itu, dan menjadi bagian dari komunitas yang tidak waras.
Bagaimana pula dengan penghargaan dan pujian yang diberikan oleh seseorang yang telah menyebabkan banyak penderitaan bagi banyak orang? Sama saja, setiap penerima pujian dan penghargaan itu menjadi bagian dari Komunitas Orang-Orang yang Menyebabkan Penderitaan.
Rabindranath Tagore ditawari gelar kehormatan oleh pihak penjajah. Ia menolak gelar tersebut. Dengan sopan, secara santun, ia berterima kasih kepada pihak pemberi, tetapi secara tegas menyampaikan penolakannya karena ia merasa dirinya sebagai bagian dari ratusan juta penduduk India saat itu yang masih hidup dalam penindasan dan penderitaan.
Kiranya sikap ini pula yang ditunjukkan oleh Romo Magnis dengan menolak penghargaan yang diberikan, disponsori, atau ada hubungannya secara langsung maupun tidak langsung dengan Keluarga Bakrie.
Keluarga Bakrie, secara langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam perusahaan yang, sekali lagi, secara langsung maupun tidak langsung, telah menyebabkan penderitaan bagi sekian banyak warga Sidoarjo dan sekitarnya. Dengan menerima pujian dan penghargaan dari mereka, untuk urusan apa pun, bukanlah sebuah kehormatan.
Romo Magnis yang saya cintai, saya banggakan – telah melihat hal ini. Dan, ia telah bertindak sesuai dengan penglihatannya. Seorang pejabat, yang kerap membela keluarga Bakrie, lagi-lagi secara langsung maupun tidak langsung, menganggap penolakan Sang Romo sebagai sesuatu yang sangat emosional, tendesius, tidak pada tempatnya, kurang objektif.
Saya tidak terkejut, tidak kaget, karena pejabat itu memang memiliki hubungan yang cukup erat, cukup mesra dengan keluarga Bakrie. Dan, hubungan mereka itu sah-sah saja, tidak menjadi soal. Hanya saja, sebagai Pejabat Negara, semestinya ia menempatkan Jabatannya diatas hubungan-hubungan pribadi itu.
Bagaimana dengan mereka yang menerima penghargaan itu? Termasuk diantaranya, seorang Putra Bali, seorang Nasionalis Tulen, yang saya selalu banggakan. Saudara saya, Putu Wijaya.
Beliau, menurut pengakuannya, yang kemudian dipublikasikan oleh media, sempat berpikir-pikir. Tapi, kemudian memutuskan untuk menerima penghargaan tersebut.
Saya tidak tahu apa yang beliau pikirkan. Dan, saya pun tidak tahu atas dasar maupun kesimpulan apa, kemudian beliau memutuskan untuk menerima penghargaan tersebut. Saya juga tidak ingin menasihati seseorang yang saya anggap sebagai Guru, sebagai Inspirator, sebagai Anak Bangsa yang Kontribusinya akan selalu saya banggakan.
Apa yang mesti saya katakan kepada Bli Putu?
Kata-kata apa yang mesti saya sampaikan kepada beliau? I am speechless.
Putu Wijaya adalah Warga Indonesia, tetapi beliau juga adalah Putra Bali. Bali adalah Ibu beliau. Saat ini, Bali, sebagaimana juga Indonesia, membutuhkan sosok-sosok pemimpin yang dapat dijadikan sebagai panutan.
Bli Putu memenuhi seluruh syarat.
Baik untuk menjadi panutan bagi warga Bali, maupun sebagai panutan bagi warga Indonesia, khususnya bagi seniman dan budayawan muda.
Apa pun keputusan Bli Putu, hal tersebut tidak akan pernah mengurangi rasa hormat saya terhadap beliau. Apapun keputusan beliau, saya akan tetap mencintai beliau. Beliau tetaplah seorang Guru bagi saya.
Bukan nasihat, bukan tuntutan, apalagi kritikan – tidak, bukanlah semuanya itu. Hanya satu permohonan: Bli, kembalikan penghargaan itu. Penghargaan itu tidak menambahkan sesuatu pada Kepribadian Bli Putu. Bli Putu jauh lebih berharga, sudah cukup berharga, sekalipun tanpa penghargaan itu.
Bli telah menerima penghargaan itu.
Bli telah menghormati pihak pemberi….. Sekarang, saatnya, Bli membiarkan penghargaan itu terkalahkan oleh kepedulian Bli, yang saya yakini ada, terhadap bangsa dan negara. Terhadap ribuan warga Sidoarjo yang telah kehilangan akar mereka. Terhadap penderitaan mereka. Terhadap kesengsaraan mereka.
Saudara-saudaraku yang lain, yang ikut menerima penghargaan tersebut, silakan menaruhnya bila menganggap penghargaan itu menambahkan sesuatu pada identitas diri Anda. Saya akan tetap menghormati keputusan, kesimpulan, bahkan anggapan Anda. Karena, saya pun mencintai Anda…..
Tetapi, sekali lagi kepada Bli Putu, cintaku terhadapmu tak tertandingi oleh cintaku terhadap siapa-siapa – karena kau, kuanggap saudaraku yang sekandung. Bunda Besakih adalah ibu kita bersama. Langit Bali adalah Ayah yang mengayomi kita bersama. Demi Ibu dan Ayah, demi saudara-saudara kita, demi tanah dan air kita, demi Cinta…. please Bli!