Renungan Kebangsaan, 27 Agustus 2007

Renungan Kebangsaan

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 27 Agustus 2007

 

Setiap tahun kita merayakan HUT Kemerdekaan, segudang pertanyaan pun selalu muncul: “Sebagai Bangsa apakah kita sudah sungguh-sungguh merdeka?”, “Apakah Kedaulatan sudah berada di tangan rakyat?”, “Apakah Hasil Pembangunan sudah dinikmati oleh seluruh anak bangsa? “Apakah Keadilan Sosial dan Kesejahteraan bagi Semua sudah terwujud?

Kita bertanya, pun kita menjawab sendiri. Dan, jawaban-jawaban itu tidak menggairahkan. Jawaban-jawaban itu cenderung mematahkan semangat kita. Kita mengeluh, sejak “tempo doeloe” hingga “hari gini”.. Sejak Masa Pemerintahan Bung Karno yang kerap disebut “Orde Lama”, hingga Masa Pemerintahan Pak Harto yang disebut “Orde Baru” padahal berkuasa lebih lama. Saat ini dalam Era Reformasi pun kita masih mengeluh.

Ada yang mengeluhkan pembangunan yang tidak merata, ada yang mengeluhkan anggaran pendidikan, ada pula yang mengeluhkan peradilan yang konon masih dikuasai oleh gerombolan mafia di balik layar.

Di tengah keluhan-keluhan itu, kita pun sering mendengar kesimpulan yang cukup bijak bahwasanya seluruh masalah itu disebabkan oleh melenturnya semangat kebangsaan kita.

Ya, Semangat Kebangsaan kita memang telah melentur.
Di Masa Pemerintahan Soekarno – kita miskin, tetapi kita masih bangga akan ke-Indonesia-an kita. Di Masa Pemerintahan Soeharto – kita korup, tapi masih menjunjung tinggi nilai kebangsaan….. Sekarang, di Era Reformasi ini, otak serta pikiran kita malah mengalami deformasi, Ya Allah, Ya Rabb, Wahai Gusti, Widhi, Tao, Buddha, Bapa di Surga – aku sakit, kita sakit!

Semangat Kebangsaan kita melentur, karena kita tidak pernah menyuntiki jiwa kita dengan energi baru. Semangat Kebangsaan, atau semangat apa saja, membutuhkan energi. Saat ini, Semangat Kebangsaan kita memang sudah kehausan energi.

Semangat Kebangsaan tidak sama dengan kepercayaan, agama, doktrin, maupun dogma. Kepercayaan, agama, doktrin maupun dogma adalah urusan “titik”. Pokoknya begitu. Dari sono-nya begitu. He, jangan main-main ya – tidak takut neraka?

Kepercayaan, agama, doktrin dan dogma – dapat dipaksakan pada seorang anak yang baru lahir. Tergantung lahir dalam keluarga dengan latar belakang agama mana – maka anak itu pun langsung diberi cap agama yang sama – lengkap dengan sistem kepercayaan, doktrin, dogma, bahkan akidah dan ritual. Titik.

Tidak demikian dengan Semangat Kebangsaan.
Semangat Kebangsaan bukanlah “Status Kewarganegaraan”. Perkara Status Kewarganegaraan hampir sama dengan Identitas Agama. Cap itu pun dapat diberikan kepada seorang anak yang baru lahir. Tergantung, tentunya, pada peraturan pemerintah dimana anak itu dilahirkan dan status kewarganegaraan kedua orangtuanya.

Agama, akidah agama, kepercayaan, status kewarnegaraan, dogma dan doktrin – semuanya dapat dipaksakan. Tetapi, “keagamaan” tidak dapat dipaksakan. Orang boleh beragama secara formal. Boleh rajin sembahyang secara formal pula. Boleh menjalani akidah agama serta kepercayaannya secara formal. Boleh bersandar pada seperangkat dogma dan doktrin yang sudah baku.

Namun, belum tentu ia ber-“keagamaan”. Belum tentu nilai-nilai keagamaan itu sedemikian rupa meresap di dalam jiwanya, sehingga seluruh hidupnya menjadi sebuah interpretasi yang menyejukkan dari nilai-nilai tersebut.

Persis seperti itu juga dengan Semangat Kebangsaan. Status kewarganegaraan seseorang tidak menjamin bila yang bersangkutan memiliki Semangat Kebangsaan. Sebagaimana apa yang tercantum pada kolom agama KTP seseorang tidak menjami akhlak keagamaannya.

Semangat Kebangsaan tidak pernah lahir bersama seseorang. Semangat Kebangsaan muncul dari “kecerdasan” seseorang berpikir, dari “kemampuan” seseorang berperasaan, dari otak yang jernih dan hati yang lembut.

Semangat Kebangsaan lahir dari pengetahuan tentang sejarah dan pemahaman tentang budaya. Semangat Kebangsaan muncul ketika kita bangga akan nilai-nilai Kearifan Lokal.

Pertanyaan berikutnya adalah: Apa saja yang telah kita lakukan selama ini untuk memunculkan rasa bangga seperti itu?

Sekelompok orang diantara kita malah masih tetap membanggakan kearifan-kearifan asing, bahkan tradisi-tradisi asing. Mereka yang disebut fundamentalis dan agamais, berkiblat pada Arab, atau Cina, atau India, atau Israel. Sebaliknya mereka yang disebut modernis berkiblat pada Barat.

Sejarah dan Budaya Lokal tidak dipelajari. Tradisi-Tradisi Lokal tidak dipahami. Kearifan Lokal tidak dihargai. Segala sesuatu yang asing malah dijunjung tinggi. Bila keadaan ini tidak segera berubah, maka kita akan hancur sebagai negara dan bangsa. Wacana tentang Piagam Jakarta sudah berkembang menjadi tuntutan, upaya, atau apa pun sebutannya tentang negara berbasis Khilafah.

Tidak ada yang salah dengan Piagam Jakarta maupun Sistem Khilafah – hanya saja keduanya itu tidak cocok dengan Iklim Indonesia. Wacana yang baru muncul bila Khilafah akan tetap menghargai hak-hak minoritas dan menerima pluralitas – adalah sesuatu yang baru. Karena, belum lama beberapa diantara kita yang sekarang menerima pluralitas pernah terlibat dalam upaya mengharamkan pluralitas karena dianggap bertentangan dengan agama. Itu baru setahun dua tahun yang lalu. Masih ingat? Sekarang, pluralitas sudah tidak menjadi soal!

Baik, kemudian kenapa mesti mewacanakan sesuatu yang mengarah pada keseragaman? Istilah Khilafah itu sendiri, karena berdasarkan akidah agama Islam, sudah pasti mendapatkan resistensi dari kelompok-kelompok lain. Kenapa Papua dan Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen mesti menerimanya? Kenapa pula Bali yang mayoritas Hindu mesti menerimanya?

Khilafah, sebatas wacana saja sudah cukup untuk mengantar bangsa ini menuju disintegrasi. Saya menyangsikan kearifan kita yang ikut memberi energi pada wacana tersebut, dengan menghadiri rapat-rapat akbar, yang menurut Gus Dur dibiayai oleh kekuatan asing (beliau menyebut pula namanya dalam wawancara dengan saya). Di manakah kesadaran kita?

Pemerintah tidak bisa diam, tidak boleh diam.
Jangankan upaya, wacana untuk merubah dasar negara, dan sistem kenegaraan pun sudah cukup untuk memulai proses disintegrasi bangsa.

Akhir kata….. betapa saya mendambakan seorang pemimpin yang menjelang hari ulang tahun kemerdekaan akan memerdekakan jiwanya dan mendatangi setiap tempat ibadah, setiap tempat suci – tidak hanya salah satu saja….. Karena inilah budaya kita, nilai apresiatif inilah yang melahirkan semboyan bangsa: Bhinneka Tunggal Ika…..

Jangan sekedar wacana, tidak hanya berbicara saja – buktikan Warna Kebangsaanmu Bung, Saudaraku, Sobatku, Pemimpinku….. Aku selalu memperhatikan setiap gerak-gerikmu, karena aku sangat mencintaimu. Aku ingin namamu tercatat dengan tinta emas sebagai Pemimpin Rakyat dan Bangsa Indonesia…… Bukan sebagai kepala suku……..