Bangsaku Malang – Bangsaku Sayang
Radar Bali, Senin 3 September 2007
Penderitaan demi penderitaan….
Banjir, Gempa Bumi, Tsunami, Meletusnya Gunung, Kebakaran Hutan, Wabah Penyakit…. Seolah semuanya itu tidak cukup, belum cukup – maka ditambah dengan penderitaan saudara-saudara kita dalam perantauan. Dulu, penganiyaan dan pelecehan seksual dialami oleh tenaga kerja kita yang berada di luar. Oleh saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri. Sekarang, para atlet kita, duta bangsa, pun dianiaya.
Beberapa waktu yang lalu, seorang atlet kita, seorang wasit, ditangkap dan dianiaya oleh petugas kepolisian Negeri Jiran. Saat ini, kita masih berapi-api. Dari aktivis LSM hingga pejabat pemerintah – kita semua marah. Entah, api ini akan bertahan berapa lama! Atau, kasus ini pun akan terlupakan seperti halnya dengan kasus-kasus lain selama ini?
Kita memang merupakan bangsa dengan ingatan yang sangat pendek. Amnesia adalah penyakit genetik yang di derita oleh hampir semua anak bangsa. Kendati demikian, adalah beberapa hal esensial yang bahkan tak terlupakan oleh penderita amnesia seberat apa pun.
Seorang penderita amnesia tidak lupa makan dan minum. Ia bisa lupa kapan terakhir kalinya ia makan atau minum, namun kebutuhan akan makan dan minum tak terlupakan olehnya.
Dan, yang paling utama, paling penting adalah perkara “Identitas Diri”. Ia bisa lupa segala sesuatu tentang dirinya, termasuk nama dan asal-usulnya, namun ia tidak pernah lupa bila dirinya “pernah” memiliki identitas, asal usul, dan nama.
Sehalus apa pun, kesadaran tentang identitas diri itu selalu ada, walau tak terungkap dengan jelas dalam diri seorang penderita amnesia atau “lupa ingatan”.
Pertanyaan saya: Masih adakah kesadaran halus seperti itu dalam diri saya? Masih adakah secuil kesadaran seperti itu dalam diri kita?
Seorang bijak pernah menasihati saya: “Hargailah dirimu, jika kau ingin dihargai!” Seseorang yang meremehkan dirinya, akan diremehkan pula oleh orang lain. Seseorang yang tidak menghargai dirinya, sudah pasti tidak dihargai oleh orang lain.
Tenaga kerja kita tidak dihargai di luar negeri, maka dianiaya, dilecehkan – tapi itu cerita lama. Cerita terbaru adalah, seorang Duta Bangsa, seorang atlet pun diperlakukan dengan cara yang sama.
Tapi, antara cerita lama dan cerita baru itu – masih segudang cerita-cerita lain. Cerita-cerita yang terlupakan dengan begitu mudahnya, berkat penyakit genetik kita – Amnesia!
Adakah para pejabat dan wakil rakyat kita dihargai di luar negeri? Adakah kecerdasan, keahlian dan kemampuan mereka dihormati?
Bisa-bisanya paman kita yang punya tembok raksasa menjual bis kepada kita dengan pintu terbuka pada bagian yang salah. Kemudian, pintu itu ditutup, dengan mengabaikan unsur estetika. Dan, dibuka pintu di bagian lain sesuai dengan kebutuhan kita.
Kenapa kita mesti membeli bis itu?
Apakah produsen di negeri kita saat itu tidak mampu menyaingi mereka? Atau, ada alasan lain sehingga kita mengimpor bis dari luar? Siapa yang terlibat dalam transaksi itu? Adakah seorang pejabat, teman atau saudara pejabat yang terlibat? Adakah seorang konglomerat yang tidak peduli terhadap negara yang terlibat? Adakah urusan komisi sehingga bis yang semestinya bisa dibuat di negeri sendiri diimpor dari luar?
Kita sendiri tidak membela produksi dalam negeri, maka tidak heran bila seluruh infrakstruktur industri kita dirusak, dihancurkan oleh perusahaan-perusahaan asing. Tanpa industri dalam negeri, kita menjadi negara pengimpor terbesar di Asia Tenggara. Dan, keadaan itu sudah pasti menguntungkan banyak pihak.
Kita tidak menghargai diri.
Maka, orang lain pun tidak menghargai kita.
Di mata kepolisian Negeri Jiran, setidaknya dimata petugas yang menangkap dan menganiaya atlet kita, barangkali setiap warga Indonesia adalah pendatang haram, imigran gelap. Mereka lupa bahwa banyak profesor di universitas-universitas mereka yang pernah meraih pendidikan di Indonesia. Kenapa? Apa yang menyebabkan hal itu?
Karena “image” tentang Indonesia yang mereka peroleh….. Dan, supaya kita tidak menyalahkan orang lain, image itu adalah pemberian kita sendiri, buatan kita sendiri. Image itu adalah Image TKW, Image TKI, Image Pendatang Haram, Image Imigran Gelap.
Saya menghubungi seorang teman asal Indonesia yang saat ini mengajar di salah satu universitas di sana, “Bagaimana sikapmu, sobat? Bagaimana sikap warga Indonesia disana? Bukankah banyak warga Indonesia yang bekerja di sana secara legal. Mereka adalah Imigran Putih, Bersih, tidak gelap. Bagaimana dengan sikap mereka?”
Dia membisu.
Dia tidak bisa menjawab saya. Karena, dia berada dalam kelompok Imigran Putih, Bersih, Pekerja Legal. Dia merasa tidak perlu mencampuri kelompok yang gelap. Barangkali di matanya, mereka adalah kotor, najis.
Kita tidak menghargai diri.
Maka, orang lain pun tidak menghargai kita.
Hendaknya kedua kalimat ini menjadi mantra bagi kita, bukan saja untuk diucapkan, tetapi untuk ditindaklanjuti.
Kita gagal dalam bidang diplomasi.
Kita kalah dalam negosiasi. Kegagalan demi kegagalan, kekalahan demi kekalahan – sehingga satu lagi kegagalan atau kekalahan sudah tidak menjadi soal lagi. Kita sudah terbiasa dengan kagagalan dan kekalahan.
Keadaan ini mesti dirubah.
Kesadaran kita yang selama ini mengalir ke luar – sudah saatnya diarahkan ke dalam diri. Supaya kita sadar bila kesalahan terletak di dalam diri kita. Sehingga, perbaikan pun mesti di lakukan di dalam diri.
Saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apa yang membuat kita tidak dihargai oleh dunia luar? Seorang diplomat menegur saya: “Itu hanyalah khayalanmu, padahal tidak demikian juga. Saya baru pulang dari Cina, dan tidak ada soal. Para pejabat disana sangat menghargai kita.”
Ya, ya, ya, bila ada maunya maka kesan itu pula yang diberikan kepada kita. Adakah penghargaan itu berarti bila impor makanan laut dari negeri kita dilarang hanya karena kita mengikuti jejak sekian banyak negara-negara barat dan mulai menarik dari perederan sebagian dari ratusan jenis produk Cina yang terbukti mengandung kimia yang membahayakan kesehatan manusia?
Seorang penganggur mengaku tidak keberatan jika isterinya bekerja kembali di negeri orang, walau dia baru saja pulang dalam keadaan hamil: “Ya, itulah resikonya…”
Resiko?
Sungguh memilukan, menjijikkan… lebih-lebih lagi ketika ia bersyukur bahwa isterinya “masih” bisa pulang, dan anak yang akan dilahirkannya pun dianggap sebagai hadiah dari tanah …….. Saya sudah tidak tahan lagi, dan segera meninggalkan rumah si penggangur yang tidak punya malu itu!
Inilah citra kita…. Seperti inilah harga diri kita…. Tetapi, it is never too late. Sekarang pun jika kita belajar untuk menghargai diri, menghargai asal usul, sejarah dan budaya kita – maka citra yang sudah terlanjur rusak itu masih bisa diperbaiki. Harga diri yang sudah hilang pun masih bisa kembali…..