Say “No” to Golf!, 10 September 2007

Say “No” to Golf!

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 10 September 2007

 

Say “No” to Golf – bukan saja karena Lapangan Golf yang hendak di bangun itu berdekatan dengan kawasan Besakih yang disucikan – tetapi juga karena Lapangan Golf merusak Taman Sari kita. Dan, Taman sari adalah simbol dari budaya kita, peradaban kita.

Say “No” to Golf karena Lapangan Golf yang dibangun dengan merusak Taman Sari kita, sudah jelas tidak bersahabat dengan Alam, dengan Lingkungan Hidup, dengan Flora dan Fauna.

Say “No” to Golf karena saat Anda sedang bermain Golf, sesunguhnya yang berolahraga adalah caddie Anda….. Ia yang mengangkat perlengkapan Anda. Golf adalah olahraga yang tidak mengolah raga. Olahraga siluman, just a namesake – hanya menggunakan istilah olahraga, tidak lebih dari itu.

Dan, bila Anda juga menggunakan Golf-Cart, Kereta-Golf, maka lupakanlah pembakaran kalori. Berjalan kaki biasa saja sudah dapat membakar lebih banyak kalori. Apalagi berjalan kaki sedikit lebih cepat!

Khususnya bagi Bali – Golf adalah Racun, Slow Poison yang dapat merusak seluruh Bali tanpa kita menyadarinya….

Konsep Taman Sari adalah Khas Bali…. Kita tidak membosai pohon-pohon kita, tanaman kita. Kita membiarkannya tumbuh besar, lebat, sesuai dengan kodratnya. Pertanyaannya: Dari manakah kita memperoleh konsep itu? Adakah seorang Cheng Ho dari Cina yang mengajarkannya kepada kita? Adakah seorang Aji Saka dari India yang mengajarkannya kepada kita? Adakah seorang anggota keluarga Paman Sam yang mengajarkannya kepada kita?

Tidak, tidak ada yang mengajarkan konsep Taman Sari kepada kita. Konsep ini merupakan bagian dari Kearifan Lokal kita. Setelah trial and error selama berabad-abad, mereka mencapai kearifan ini berdasarkan kebutuhan lokal. Sesuai dengan apa yang diperlukan di pulau ini, oleh penduduk pulau ini.

Humiditas di Bali sangat tinggi.
Itulah sebab banyaknya keluhan dari para turis asing yang membeli patung atau sesuatu yang terbuat dari kayu selama berkunjung di Bali. Ketika dibawa pulang ke negeri mereka dengan tingkat humiditas jauh dibawah Bali, maka retaklah patung-patung itu.

Itu baru efek humiditas yang tinggi terhadap patung dari kayu. Bagaimana dengan kita, dengan manusia?

Humiditas yang tinggi menciptakan kemalasan.
Kita membutuhkan sesuatu yang dinamis. Golf tidak memenuhi kebutuhan itu.

Golf cocok bagi Manusia Barat.
Bahkan bagi Manusia Jepang, atau siapa saja yang hiperaktif. Golf akan membuat mereka sedikit lebih meditatif. Sebagaimana digambarkan dengan baik sekali oleh Paul Newman dalam filmnya yang luar biasa: “The Legend of Baggervance”. Dalam film itu Golf dikaitkan dengan Olah Mental, bukan dengan Olah Raga. Pas sekali. Kemudian, oleh penulis ceritanya, Olah Mental pun dikaitkan dengan salah satu kebijakan dari wilayah peradaban kita, yakni Bhagavad Gita. Dengan cara itu, Manusia Barat diajak melakukan perenungan tentang dirinya.

Bhagavad Gita sendiri, sebagaimana telah saya jelaskan dalam “The Gita of Management” adalah Kebijakan Universal bagi semua. Ia memiliki banyak sisi. Mereka yang hipoaktif, kurang aktif, bahkan cenderung malas, seperti “saya” – hendaknya memperoleh Semangat untuk Berkarya dari Gita. Semangat untuk Bermain Golf biarlah diambil oleh para hiperaktif.

Kembali pada Taman Sari dan Humiditas…..
Humiditas yang tinggi menyebabkan pernapasan kita terganggu, dan karbon dioksida yang berlebihan di dalam tubuh. Bila kita hidup di tengah Taman Sari, atau setidaknya di bagian depan dan/atau belakang rumah ada taman, sekecil apa pun – maka tanaman-tanaman yang dibiarkan tumbuh liar itu akan “menarik” karbon dioksida dari tumbuh kita, dari otak kita. Sehingga terjadilah detoks secara alami, tanpa food supplement, tanpa pill, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Karbon dioksida yang berlebihan di dalam tubuh adalah racun. Racun ini tidak hanya merusak sel-sel di dalam tubuh kita. Tetapi, juga merusak sel-sel otak. Bahkan, sebelum terjadinya kerusakan, pikiran kita sudah terganggu. Kemampuan kita untuk berpikir secara jernih dan bertindak secara rasional sangat terpengaruh.

Dan, selama ini, berkat para investor yang kurang cerdas dan pemberi izin, siapa pun dia, yang juga kurang cerdas – tubuh kita sudah teracuni oleh lapangan-lapangan golf di sekitar kita. Kemampuan kita untuk berpikir secara jernih pun sudah terpengaruh.

Hasilnya:
Menjelang dan setelah hari raya, kita malah menjadi beringas. Menjelang dan setelah Pilkada, kita malah turun ke jalan untuk bakar-membakar, dan bunuh-membunuh. Kita sudah menjadi manusia tanpa Viveka, tanpa Sense of Discrimination. Hilang sudah kemampuan kita untuk berpikir secara jernih, untuk membedakan tindakan yang tepat dari yang tidak tepat. Kemudian, tanpa Viveka, janganlah kita mengharapkan Aananda – Kebahagiaan Sejati.

Kebahagiaan adalah hasil dari tindakan yang tepat. Dan, tindakan yang tepat lahir dari pikiran yang jernih. Selama ini tindakan kita tidak tepat, karena pikiran kita memang tidak jernih.

Golf adalah simbol dari Materi.
Ketika seorang pejabat tidak memikirkan dampak yang lebih luas dan membela golf demi pariwisata – maka ia telah bersuara tanpa Viveka. Tiada pula Aananda baginya. Ia akan ditinggalkan oleh Putra Putri Bali yang sudah bangkit. Mereka yang berhasil membatalkan rencana pembangunan golf sekitar Besakih.

Saya menyampaikan salut kepada mereka yang dengan gigih menolak pembangunan lapangan golf tersebut. Dan, saya berharap bahwa aspirasi mereka, aspirasi rakyat Bali yang sadar didengar dan diindahkan oleh para pejabat dan wakil rakyat.

Janganlah menghentikan perjuanganmu.
Lanjutkan perjuanganmu untuk memastikan, Pertama: Tidak ada lagi penambahan satu pun lapangan golf di pulau Bali, Kedua: Lapangan-lapangan yang ada saat ini ditinjau kembali dan segera, apakah melanggar Amdal dan/atau Ketentuan daerah lainnya. Jika ya, maka lapangan-lapangan tersebut mesti dikembalikan kepada fungsi asalnya. Pun Izin Hak Pakai maupun Hak Guna Bangunan bagi Lapangan Golf tidak lagi diperpanjang.

Jungle Tourism adalah Kebutuhan Masa Kini dan Masa Depan. Ketika negara-negara di timur tengah sibuk menyulap padang pasir menjadi hutan, kebun dan taman – adalah bodoh jika kita merusak hutan, kebun dan taman demi lapangan golf.

Seorang investor masih saja membela keberadaan lapangan golf di pulau dewata, “Lapangan golf dengan latar belakang panorama Bali, keindahan pulau ini – adalah daya tarik tersendiri yang tidak tersaingi….”

Bull…. Maaf, siapa yang hendak kau bodohi? Pemain golf bukanlah pecinta alam. Bila mereka mencintai alam, mereka tidak akan merusak alam demi golf. Para pemain golf tidak punya waktu untuk menikmati keindahan alam. Alasan yang kau berikan tidak cerdas, dan jauh dari realita…

Sebab itu, saudaraku, sahabatku, sadarlah, berhentilah membela golf…. Bangkitlah dari tidurmu untuk membela Ibu Pertiwi, untuk membela Bangsa dan Negara!