PENDIDIKAN – Agenda Penting yang Terlupakan, 17 September 2007

PENDIDIKAN – Agenda Penting yang Terlupakan

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 17 September 2007

 

Seusai perang dunia kedua dan kehancuran Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang tidak menghitung sisa uang di bank-bank swasta dan pemerintah, maupun di treasury negara – adalah jumlah guru yang dihitungnya.

“Bila kita masih memiliki guru, kita dapat membangun kembali negara ini,” – kurang-lebih seperti itulah kebijakan Sang Kaisar. Seperti itulah kearifan Putra Matahari. Seperti itulah Kepedulian seorang Pemimpin….. Dan, kepedulian itu berbuah – hasilnya dinikmati oleh seluruh bangsa dan negara. Hasilnya dapat dilihat oleh siapa saja.

Kita pernah memiliki pendidik seperti Dewantoro, sejarawan seperti Sanoesi Pane, pemikir seperti Sutomo, Alisyahbana, dan lain-lain. Jiwa kita pernah terjamah oleh semangat perjuangan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir dan rekan-rekan mereka. Dan, mereka semua, tanpa kecuali menaruh perhatian yang luar biasa terhadap dunia pendidikan. Sayang, seribu kali sayang, jamahan itu sudah tak terasakan lagi oleh jiwa kita.

Saat ini, Pendidikan hanyalah sebuah agenda – agenda yang terlupakan. Kita hanya mengingatnya menjelang pemilu. Calon pemimpin kita pun hanya menggunakannya sebagai salah satu diantara sekian banyak isu untuk kampanye mereka. Tidak heran bila para wakil rakyat dan pejabat pemerintah pun “tidak malu” menerima gaji yang jauh lebih besar dari gaji seorang guru.

Beberapa hari yang lalu, kita mendengar berita tentang seorang Gubernur yang didemo oleh para Guru, karena memorinya yang agak error. Ia ingat untuk menaikkan gajinya sendiri, dan gaji para pejabat lainnya, barangkali juga gaji para wakil rakyat yang terhormat. Kenaikan gaji para guru tidak termasuk dalam agendanya. Dalam anggapannya barangkali – mudah-mudahan saya salah – profesi guru tidak cukup terhormat, sehingga gaji mereka boleh dinaikkan, boleh tidak. May be yes, may be no!

Guru di sekolah-sekolah swasta, maupun di sekolah pemerintah – nasib mereka kurang lebih sama. Kecuali, barangkali, para “super” guru di sekolah-sekolah eksklusif yang diperuntukkan bagi manusia-manusia ekskulsif pula.

Isteri seorang teman, seorang guru di sekolah “National Plus” telah bekerja selama belasan tahun. Tiba-tiba, beberapa tahun yang lalu, ia dan semua rekan-rekannya diminta oleh pihak yayasan untuk menandatangani kontrak kerja tahunan. Tidak ada yang ambil pusing. Kepala Yayasan menganggap dirinya penjelmaan seorang Jiwa Besar, perilakunya memalukan Jiwa Manusia!

Pemerintah memberi ijin kepada siapa saja yang “dianggap” memenuhi syarat. Latar Belakang ketua dan pengurus yayasan pun tidak menjadi penting. Asal cukup fulus untuk memperlancar proses perizinan….

Sekolah boleh dibangun, didirikan dimana saja – bahkan diatas tanah yang tidak diperuntukkan bagi sekolah, di tengah perumahan yang padat – tidak menjadi soal. Asal, ada pelumas yang dapat memuluskan pemutaran roda “entah apa” dan “siapa”.

Sekolah-sekolah National Plus memasang tarif yang sangat tinggi. Jelas diluar jangkauan para pejabat yang resminya digaji tidak lebih dari 10-an juta per bulan. Tidak ada yang mau ambil pusing untuk mencari tahu, bagaimana pula putra-putri para pejabat tersebut bisa masuk sekolah tersebut.

Seorang pejabat yang jujur jelas tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah National Plus. Isterinya berang, “Papi gimana sih, mana yang penting masa depan anak atau kejujuran Papi?” Maka, akhirnya Sang Papi pun mengalah.

Banyak pejabat, bahkan yang masih aktif, duduk sebagai pembina dan penasehat yayasan-yayasan yang memiliki “usaha” pendidikan. Mereka sudah cukup senang bila anak-anak mereka bisa sekolah dengan gratis. Bung, Bang, Bli, Mas – bagaimana dengan 30 hingga 60 persen rakyat kita yang hidup di bawah garis kemisikinan? Apakah kau memikirkan nasib putra-putri mereka? Adakah upaya darimu untuk “memaksa” yayasan-yayasan itu untuk menyediakan 30 persen bangku bagi anak-anak yang kurang mampu? Bila tidak, maka shame on you…. Kau tidak cukup nasionalis.

Menteri Pendidikan yang saya hormati, saya muliakan karena urusannya yang sungguh mulia, bangunlah, bangkitlah, bukalah matamu Saudaraku, Sobatku…. Lihatlah sekitarmu apa yang terjadi dengan pendidikan…..

  • Sekolah-sekolah eksklusif, nasional, internasional, atau apa saja sebutannya – sama sekali tidak peduli terhadap nasib anak bangsa yang kurang beruntung.
  • Biaya sekolah yang sangat tinggi menjadi motivator utama bagi para pejabat untuk menjadi korup dan menyelewengkan kekuasaannya.
  • Banyak yayasan-yayasan pendidikan yang dikelola oleh orang-orang yang tidak profesional, tidak memiliki latar belakang sebagai pendidik. Mereka adalah para pebisnis murni, pengusaha murni. Cabutlah ijin mereka, bila tidak sekolah akan tetap menjadi lahan usaha, bisnis.
  • Perizinan, khususnya lokasi untuk sekolah mesti sesuai dengan tata kota. Janganlah tata kota disesuaikan dengan kemauan si peminta izin yang tidak peka terhadap lingkungan.
  • Harus ada standarisasi gaji para guru. Sekolah negeri, swasta nasional, internasional atau seeksklusif apa pun – mesti menggunakan satu standar. Ya, sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan atau kedutaan “asing” – silakan menggunakan standar yang mereka buat sendiri. Untuk itu, bila seorang guru dianggap kurang mampu dari guru yang lain, maka ia mesti memperoleh pendidikan khusus, kilat, dan diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya. Bila tidak berhasil, dibantu untuk mencari pekerjaan lain, barangkali sebagai staff sekolah. Tidak perlu menjadi Guru. Kemampuan para guru, di sekolah mana pun mereka mengajar, mesti sama, setidaknya mirip.

Wahai para pejabat dan wakil rakyat yang masih juga tidak peka terhadap nasib para guru, ingatlah bahwa jabatan kalian adalah hutang kalian terhadap para guru. Selesaikan hutang itu, bayar-bayarlah hutangmu….. Dan, inilah saatnya untuk mulai membayar……