Beda Bogor, Beda Bali (Radar Bali, Senin 20 Juli 2009)

Beda Bogor, Beda Bali

Anand Krishna*
(Radar Bali, Senin 20 Juli 2009)

 

Walikota Bogor H Diani Budiarto dikabarkan sedang, atau telah (tergantung berita mana yang Anda percayai) mematangkan pencanangan Kota Halal.

Saya beranda-andai saja, bagaimana bila Bali ikut mematangkan pencanangan Pulau Halal.

Walau sama-sama halal, tentu matrix yang digunakan oleh Bali akan beda dari matrix yang digunakan oleh Bogor. Rujukannya beda, pihak yang diajak untuk membantu dalam pencanangan pun sudah tentu beda.

Bila Walikota Bogor diberitakan sedang atau telah mematangkan hal ini dengan pihak Majelis Ulama Indonesia, maka Bali barangkali mesti berkiblat pada Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Lantas, urusan Halal dan Haram itu akan dikaitkan dengan apa saja?

  • Makanan: Bila Bogor mengharamkan babi, maka Bali bisa saja mengharamkan sapi. Atau, bila pendapat mereka yang mengutamakan diet vegetarian dipakai, maka semua jenis daging bisa diharamkan.
  • Minuman: Nah, disini barangkali Bogor dan Bali akan bertemu. Yang sudah pasti dilarang adalah minuman keras. Kendati, dalam hal menentukan apa yang dianggap “keras” itu, Bali dan Bogor bisa beda.

Minuman Tradisional Brem Bali itu akan dimasukkan dalam kategori minuman keras atau tidak.

Pertanyaannya, selain makanan dan minuman, apa saja yang akan ditentukan halal dan haramnya? Mungkinkah busana? Nampaknya sulit. Busana tradisional kita yang “asli” Nusantara, memang beda dari busana impor ala Barat, Arab, India, maupun Cina. Tradisi mereka lain, tradisi kita lain.

Nah, kalau salah satu diantara beberapa tradisi impor itu dipakai sebagai rujukan, maka jelas tradisi-tradisi lokal kita, semuanya dan “tanpa kecuali” mesti dinyatakan haram. Susah juga ya? Berarti, leluhur kita semuanya salah.

Soal busana ini memang serba sulit.

Seperti yang dikatakan oleh seorang aktivis partai politik, “Di Aceh sana, tari-tarian tradisional dari Jawa dan Bali sudah tidak dapat dipanggungkan lagi. Karena, busana tradisional yang dipakai oleh para penari putri dianggap tidak sesuai dengan dress-code disana.”

Apa lagi ya?
Bagaimana dengan perilaku manusia? Adakah penentuan halal dan haram akan merembet ke wilayah tersebut, atau mandeg di wilayah makanan, minuman, dan barangkali busana saja?

Tapi, sebelum beranjak ke soal perilaku – bagaimana dengan soal merokok? Itu halal atau haram? Rokok sudah jelas terbukti tidak baik bagi kesehatan. Lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Dalam hal ini, mudharat rokok tidak sebatas bagi para perokok saja. Asap rokok bisa mencelakakan siapa saja yang berada dekat si perokok.

Lagi pula, sinap-sinap kecanduan yang berkembang dalam otak manusia karena rokok, minuman keras maupun narkoba – itu pada prinsipnya sama saja. Kecanduan adalah kecanduan. Objek candunya keras, ringan, apa saja – ketergantungan tetaplah ketergantungan.

Bagaimana kalau kita mengharamkan rokok?
Ikatan dokter dimana-mana sudah menyatakan rokok berbahaya bagi kesehatan. Bukti-bukti ilmiahnya sudah jelas. Tidak perlu lagi keluar biaya untuk meneliti ulang. Kita bisa mengharamkannya kapan saja. Kapan ya? Susah kan? Tapi, apa susahnya ya? Jangan-jangan, yang mengeluarkan peraturan saja masih merokok.. Siapa tahu? Jangan disomasi ya, saya tidak menyebut nama siapa-siapa. Saya tidak menuding siapa-siapa.

Nah, sekarang soal perilaku, soal akhlak. Ini menyangkut korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan di segala bidang, penipuan berkedok agama, tindakan-tindakan teror yang biadad, penggunaan agama untuk membenarkan kekerasan, radikalisme dan eksterimisme yang kian bertambah terus.

Bagaimana pendapat kita tentang semuanya itu?

Mana yang halal dan mana yang haram?
Para penjahat berdarah dingin seperti Amrozi, Imam Samudra, Muchlas, dan “inkarnasi-inkarnasi” mereka, termasuk yang baru saja membom Hotel Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta itu tindakannya haram atau halal?

Koq bisa ya, masih ada “om” saya yang menganggap mereka sebagai martyr. Koq boleh ya? Aneh ya?

Beda Bogor, Beda Bali…. Beda Walikota Bogor, beda Bupati, Walikota dan Gubernur Bali. Mana halal, mana haram… ah pusing….. Asal tindakanku tidak menyakitimu, saya tidak secara sengaja mencelakakan siapa saja – itulah tindakan yang halal bagiku…. Biarlah aku hidup dengan definisiku tentang halal dan haram. Pendapatmu bagimu, pendapatku bagiku. Definisimu bagimu, definisiku bagiku. Sekian dulu.

* Aktivis Spiritual, penulis hampir 130 judul buku (www.anandkrishna.org, www.aumkar.org)