Belajar untuk Mengalah

DIMUAT DI MAJALAH HINDU RADITYA, 
HALAMAN 56-57, NO. 257 DESEMBER 2018

Wacana

Anand Krishna *

Eda Nagih Ngungkulin Timpal Dogen,

Apang Bisa Masih Ngalap Kasor.

Kearifan Lokal Bali

Berarti, “Jangan mengejar kemenangan melulu, belajarlah juga untuk mengalah.” Tetapi petuah tinggal petuah, kebijakan luhur tinggal kebijakan, nasihat leluhur tinggal nasihat – siapa yang mau mengalah? Tiada seorang pun, kecuali ia yang mengenal Dharma, ia yang memahami Dharma. Baginya tiada lagi kekalahan. Urusannya bukan kemenangan atau kekalahan. Urusannya adalah turun dari ketinggian secara sukarela, melengserkan diri secara anggun. Meninggalkan pesta yang masih ramai, tidak menjadi tamu terakhir.

Guru saya selalu mengingatkan bahwa ketika sudah berusia 48 tahun, dan anak-anak sudah selesai kuliah, sudah mulai bekerja – tentunya kalau punya anak – maka sepasang suami isteri yang mengerti Dharma akan mulai mempersiapkan diri untuk vanaprastha ashram.

Setelah Melewati Masa Brahmacharya, dimana seorang sanatani, seorang yang melakoni Sanatana Hindu Dharma – bukan Hindu Bali atau Hindu India atau Hindu varian lainnya, tapi Sanatana Hindu Dharma, Hindu yang sesuai dengan nilai-nila luhur atau dharma yang bersifat sanatana, univesal, langgeng dan abadi – memasuki Grihastha Ashram.

Bekerja, kawin, dan membina keluarga dengan urutan yang tepat – itulah Grihastha Ashram. Tidak menjalin hubungan yang tidak pantas dijalin sebelum memiliki pekerjaan dan kawin. Tidak hamil atau menghamili sebelum adanya ikatan sakral vivaha, dan memiliki pekerjaan. Intinya tidak menyusahkan orang, tidak merepotkan orangtua, pun tidak membebani diri.

Tentunya grihastha adalah sebuah pilihan. Tidak ada yang bisa memaksa seorang Vivekananda untuk kawin. Seorang yang mau mengabdi kepada masyarakat, kepada manusia dan kemanusiaan dan tidak memiliki keinginan lain, bisa saja lompat memasuki sanyas ashram – mengabdi purna waktu – tanpa melewati tahapan-tahapan lainnya.

Bagi mereka yang memilih untuk melewati grihastha ashram pun, anjurannya seperti di atas. Setelah anak-anak sudah bekerja mempersiapkan diri untuk sanyas ashram dengan memasuki vanaprastha ashram.

Vanaprastha tidak mesti diartikan sebagai “masuk hutan.” Berkarya di tengah hutan beton dan baja – di tengah keramaian dunia – tanpa keterikatan dan pamerih, kepentingan diri -demikianlah semestinya vanaprastha diartikan dalam masa kini.

Untuk itu, seorang tidak lagi membutuhkan kedudukan, status, dan sebagainya. Untuk melayani sesama, tiadalah dibutuhkan jabatan.

Jadi, ada saatnya kita naik gunung, ada saatnya kita turun gunung. Ada saatnya kita bekerja untuk keluarga, dan ada saatnya kita bekerja untuk masyarakat. Ada saatnya kita menjadi pejabat, dan digaji. Ada saatnya kita pensiun dan mengabdi tanpa pamerih.

Jika kita mengindahkan anjuran dharma ini – tiadalah kekalahan bagi kita. Bagi seorang dharmika – pelaku dharma – yang sadar akan dharma-nya, tiada yang menyusahkan.

Kesusahan disebabkan oleh kebiasaan kita yang maunya selalu dijunjung, dipuji, dan dikelilingi oleh mereka yang berprofesi sebagai penjilat. Kesusahan disebabkan oleh keengganan kita untuk melepaskan kedudukan, status, dan segalanya yang sedang kita nikmati – dan mengabdi dengan semangat pelayan, betul-betul pelayan.

Saya bertemu dengan seseorang …… dan dia berjujur kata “Saya sebetulnya sudah muak dengan segala apa ini, saya tidak mau kedudukan, tidak mau apa-apa. Tapi apa boleh buat, mesti mengamankan anak cucu.”

Nah, kata “mengamankan” itu memiliki segudang arti dan implikasi. Ia terperangkap sudah dalam jala-perangkap buatannya sendiri.

Seorang profesional mesti banting tulang untuk membiayai saudara-saudaranya yang sudah terlanjur menjadi malas – karena selama ini seluruh biaya hidup mereka ditanggung. Mereka, bahkan, merasa tidak perlu bekerja. Demikian sang profesional yang berperan sebagai “Tuhan” – playing God – akhirnya tumbang juga.

Bantulah anak dan saudara anda untuk menjadi mandiri. Tidak menjadi tanggungan Anda. Jangan merestui perkawinan mereka kalau belum bisa membiayai keluarga. Jangan terpancing oleh kata-kata “masak tega!” Ya, tega, demi kebaikan mereka sendiri.

“Eda Nagih Ngungkulin Timpal Dogen, Apang Bisa Masih Ngalap Kasor” juga berarti: Kita mesti tahu batas, sampai kapan membantu orang dan bagaimana membantunya, dan kapan menarik diri dan membiarkan orang itu membantu dirinya sendiri.

Petuah ini mengingatkan kita semua bahwa masa pensiun adalah berkah ketika kita masih sehat dan masih sanggup berkarya. Gunakan kesempatan itu untuk berbagi berkah. Misalnya seorang pejabat, profesional atau pengusaha – dari disiplin ilmu mana saja, pernah bekerja di bidang apa saja – akan lebih besar kontribusinya jika menjadi guru dan mentor bagi generasi penerus.

Tidak perlu mengejar jabatan lagi. Tidak semuanya mesti memasuki arena politik. Biarlah darah muda yang memasuki arena politik, dan para senior mengawasi mereka, bahkan menegur mereka jika melenceng dari sumpah jabatan.

Demikian pula sebagai pengurus institusi-institusi yang terkait dengan dharma – biarlah darah muda yang kompeten menduduki jabatan-jabatan penting. Sebagai orang tua, kita cukup menjadi penasehat. Tidak perlu menjadi eksekutif. Biarlah para muda yang kompeten bekerja.

Penekanan kita mestilah pada kemampuan, pada komitmen purna waktu dari darah muda yang kompeten. Bukan sembarang darah muda, bukan karena kaya, bukan karena bermuka manis, bukan karena koneksi tapi sepenuhnya karena kompetensi, karena kemampuan, dan karena komitmen purna waktu.

Apalagi di bidang dharma, seorang pengurus muda yang kompeten mesti menguasai bidangnya. Janganlah dia malah bekerja untuk kepentingan diri, kelompok, atau menjadikan jabatan dharma sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lain.

Kita butuh semangat dan energi muda, kita butuh nasihat bijak para tua – di atas segalanya kita butuh ketulusan, kita butuh kompetensi.

Kita tidak butuh mereka yang hanya mengejar kedudukan dan kekuasaan – ya, karena diantara para muda pun banyak yang seperti itu. Janganlah memilih mereka untuk mengurusi urusan mulia dharma.

Semoga kita semua diberi anugerah untuk memahami dan melakoni petuah luhur leluhur ini. Bagi kita yang sudah tua, saatnya lengser dengan legowo dan memberi kesempatan kepada para muda, yang, sekali lagi, kompeten, committed to the cause, dan dapat berkarya purna waktu. Jangan hanya namanya saja terpajang, tetapi melah mengharapkan dilayani, bukan melayani.

 Sesungguhnya, Dharma membutuhkan pelayan. Institusi-institusi yang terkait dengan Dharma membutuhkan para pengabdi pemberani yang bisa turun ke bawah dan melayani. Para pengecut tidak bisa melayani, mereka justru membutuhkan pelayanan supaya bisa menjadi pemberani.

Demikian harapan saya, doa saya…

*Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170 buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org)