“Apaja Gebeg Aji…”

DARI ANAND ASHRAM
DIAMBIL DARI MEDIA HINDU,
HALAMAN 40-42, EDISI 176, OKTOBER 2018

Anand Krishna *

“Apaja gebeg aji bungkunge ento,
Makejang dadi mas; Nanging yen gebegang di citakane, Bungkunge ento lakar elung.”
Peribahasa Bali


Bayangkan Anda Memperoleh Cincin Ajaib – “ Apa saja yang tersentuh olehnya akan berubah menjadi emas. Tetapi jika digosokkan pada batu, bisa jadi cincin itu sendiri malah patah, dan lenyap pula keajaibannya!” Demikian peribahasa di atas.

Maka, orang Jepang bilang: Janganlah berurusan dengan mereka yang ber-atama konkritu – berkepala beton, berkepala batu. Mulut Anda bisa sampai berbusa, si atama konkritu tetap saja tidak akan memahami maksud Anda.

Sri Krishna pun mengatakan hal yang sama dalam Bhagavad Gita (18:67):

“Jangalah kau berbagi ajaran ini dengan mereka yang tidak tertarik untuk menjalani disiplin batin; tidak memiliki keinginan untuk berbakti pada sesuatu yang lebih tinggi; tidak memiliki semangat untuk melayani sesama dan enggan mendegarnya. Sebab, mereka hanyalah akan mencari-cari kesalahan (menghina Sang Aku; tidak persaya pada Jiwa sebagai hakikat diri).”

Dalam Tradisi Lain ada petuah untuk tidak memberi mutiara kepada kawanan babi. Apa tahu mereka tentang mutiara? Bisa adi malah kita diserang balik… Seekor babi menelan mutiara, keselek, ngamuk – dan saudara-saudaranya, satu keluarga ikut mengamuk.

Kita mewarisi ajaran-ajaran Mulia yang tak ada badingnya, ibarat cincin ajaib yang dapat merubah hidup se-takmulia apapun menjadi mulia. Syaratnya: Kita tidak berkepala batu, tidak berotak konkrit – supaya cincin ajaib yang digosokkan pada kita tidak patah.

Seorang ber-atama konkritu malas berpikir, malas menjalankan otaknya. Ototnya membeku, syaraf sudash seperti pralon, tidak elastis.

Dalam keadaan seperti itu, ia hanya menggunakan data yang sudah ada di dalam otaknya, ia tidak mampu mengolah data baru. Seajaib ajaibnya cincin ajaib, tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

Jangan Kira Seorang Atama Konkritu adalah orang bodoh. Tidak selalu. Bahkan, saya menemukan lebih banyak atama konkritu di antara orang-orang berpendidikan, terpelajar. Justru merekalah yang berkepala batu, berotak konkrit, beton.

Ciri khas seorang berkepala batu adalah keengganan dia untuk mengaku bahwa seberapa pun pengetahuannya, masih banyak hal lain di bawah kolong langit yang tidak diketahuinya. Se-orang Albert Einstein pun belum tentu mampu memimpin Google. Dan, seorang CEO Google belum tentu bisa menjalankan usaha di salah satu mal.

Seorang berkepala batu menutup diri terhadap perkembangan zaman. Ia berhenti di tempat. Dari doeloe begitue, selaloe begitoe – dulu sama, sekarang sama, dan di masa depan pun mesti sama.

Nah, Atama Konkritu atau Kepala Batu seperti itu dan Cara Berpikir Orang Hindu, the Hindu Mind, Gugusan Pikiran dan Perasaan seorang Hindu – tidak sama. Tidak bisa sama. Yang satu tertutup, yang kedua terbuka. Tidak ada harmoni, tidak bisa diselaraskan.

Baru-baru ini saya mengunjungi salah satu kota kecil, dan bertemu dengan masyarakat Hindu di sana. Dalam sesi tanya jawab, seorang ibu bertanya, “Kami diberitahu kalau membaca Veda atau Sastra itu orang bisa menjadi bodoh.”

Saya berpikir saya salah dengar, saya minta si penanya untuk mengulangi pertanyaannya. Saya menanyakan kepada moderator bila apa yang terdengar oleh saya sesuai dengan apa yang terucap oleh penanya. Ternyata memang sudah sesuai.

Apa? Membaca Veda dan Sastra Orang Menjadi Bodoh? Membaca apa saja, orang tidak menjadi bodoh. Membaca berita hoax pun, akhirnya, pada suatu ketika seseorang akan menyadari kesalahannya, dan menjadi pintar. Lain kali, ia tidak akan begitu saja memercayai segala apa yang dibacanya.

Saya tidak yakin, atau lebih tepatnya, saya memilih untuk tidak percaya bila yang memberitahu hal itu adalah seorang Pandit Hindu – tidak mungkin seorang Sulinggih, Pendeta atau Pemangku berucap seperti itu.

Tidak mungkin pula seorang guru, dosen, atau guru besar, seorang profesor mengatakan demikian – tidak bisa. Lalu, siapa yang memberitahu ibu tersebut, bahwa dengan “membaca Veda atau Sastra itu orang bisa menjadi bodoh.”

Sempat Terpikir, “Barangkali sipenanya berhalusinasi. Mana mungkin ada orang yang bisa mengatakan bahwa dengan membaca Veda atau Sastra itu orang bisa menjadi bodoh?”

Saya merasa diri saya menjadi bodoh sekali kalau menjawab pertanyaan seperti itu. Apakah pertanyaan seperti itu perlu dijawab? Tapi, apa boleh buat? Saya mesti membantah, dan berbagi pengalaman pribadi, “Saya tidak hanya membaca, tetapi menerjemahkan, mengomentari. Apakah saya bodoh?”

Saya berupaya untuk meyakinkan ibu itu bahwa apa yang didengarnya tidak berlandasan. Tidak benar. Tidak pernah terjadi seperti itu.

Cerita Belum Selesai – yang membuat saya lebih takub, lebih heran lagi adalah seusai pertemuan, saya baru diberitahu kalau ibu itu adalah seorang dokter. Seorang dokter berpandangan demikian? Dan, selama bertahun-tahun ia memercayai hal itu, hoax itu, berita palsu dan jelek itu?

Tidak, sekali lagi saya ulangi: Saya tidak yakin, atau lebih tepatnya, saya memilih untuk tidak percaya bila yang memberitahu hal itu adalah seorang Pandit Hindu – tidak mungkin seorang Sulinggih, Pendeta atau Pemangku berucap seperti itu.

Tidak mungkin pula seorang guru, dosen, atau guru besar, seorang profesor mengatakan demikian – tidak bisa…

Singkat Cerita: Ternyata Ibu Dokter tersebut bukanlah satu-satunya yang telah menjadi korban hoax, berita tanpa landasan, tanpa dasar dan amat sangat merugikan masyarakat Hindu sendiri. Jumlah korban jauh melebihi my wildest imagination, tidak pernah terpikir.

Bahkan, ada yang memberi peringatan keras: Kalau baca bisa menjadi gila. Hahahaha, dulu sebatas mempraktekkan yoga bisa menjadi gila, meditasi bisa menjadi gila – sekarang baca Veda dan sastra pun bisa menjadi gila!!! Ada apa di baliknya?

Saya baru bisa memahami duduk perkaranya setelah kembali berada di Bali dan bertemu dengan para mahasiswa di salah satu kampus yang cukup terkenal.

Ternyata Veda dan Sastra dikaitkan dengan salah satu sampradaya, salah satu sekte Vaishnava, yang mempopulerkan salah satu dari sekian banyak purana yang kita miliki, yakni Shrimad Bhagavata Purana dan salah satu dari sekian banyak Upanishad, yakni Shrimad Bhagavad Gita.

Pemahaman sebagian dari pengikut sampradaya tersebut adalah bahwa Bhagavata Purana dan Bhagavad Gita itulah Veda, itulah Sastra. Titik. Tidak perlu mempelajari sesuatu yang lain. Titik. Krishna adalah Wujud Tuhan yang Tertinggi. Titik. Shiva adalah penjaga pintunya. Titik. Kalau sudah memuja Krishna, tidak perlu lagi mempersembahkan sesuatu di pelangkiran lain. Titik.

Kemudian, kalau ada yang percaya pada titik-titk tersebut, kemudian jatuh sakit – namanya juga badan – maka, warga sekampung, sedesa yang tidak percaya pada titik-titik menyerang balik: Dah itulah adinya kalau baca Veda dan Sastra.

Kita Mesti Jujur bahwa Hindu adalah kepercayaan yang terbuka. Mau memilih Krishna sebagai Ishta, atau Shiva, atau Ganesha – tidak ada larangan. Hirerarki siapa tinggi dan siapa rendah terhapuskan sudah oleh pernyataan dari Rigveda: Ekam Sat Vipra Bahudha Vadanti – Kebenaran Satu AdaNya, Mereka yang mengetahuiNya menyebutNya dengan Berbagai Sebutan.

Kita mesti jujur bahwa sebutan Veda sebagai istilah generik bagi pengetahuan bisa saja digunakan untuk semua pustaka suci, tetapi tidaklah pantas membingungkan orang yang sudah bingung sejak awal!

Veda sudah digunakan sebagai kata yang identik dengan kitab suci Veda. Shrimad Bhagavatam adalah salah satu dari sekian banyak Purana dari kelompok Vaishnava. Masih banyak purana lain dari kelompok Vaishnava, para pemuja Vishnu, Krishna, atau apa saja sebutannya. Selain itu masih ada purana – purana yang lain dari kelompok Shaiva, Shakta.

Ketidakjujuran ini telah membingungkan banyak orang. Marilah kita menyampaikan apa adanya. Di rumah saya, sejak saya masih kecil, Bhagavatam adalah bacaan  harian bagi orangtua saya.

Demikian pula dengan Bhagavad Gita. Dan, saya mengangggap Krishna sebagai Ishta atau Objek Utama Pujaan saya, saya melihat Hyang Tertinggi sebagai Krishna. Tetapi, tidaklah sopan, tidaklah waras jika saya menempatkan Ishta orang lain di bawah Krishna.

Fanatisme yang terjadi akan menempatkan kita sejajar dengan orang – orang fanatik lainnya. Saya tidak hanya menghormati setiap wujud dari Gusti, sebagaimana dikenal dalam Hindu – sebagai orang Hindu saya juga menghormati setiap wujud, setiap namadari Gusti yang saya yakini sama, dari tradisi – tradisi dan kepercayaan – kepercayaan lain.

Saya Bangga Sebagai Hindu, karena Hindu membebaskan saya dari fanatisme, dari kebiasaan melihat penganut kepercayaan lain lebih rendah dari saya.
                Saya bangga sebagai orang Hindu, karena Hindu mengajarkan saya untuk tidak hanya menghormati tetapi mengapresiasi segala perbedaan.
                Saya bangga sebagai orang Hindu, karena Hindu mengajarkan saya untuk mencintai setiap makhluk hidup dan setiap wujud dari kehidupan sebagaimana saya mencintai diri sendiri.
                Saya bangga sebagai orang Hindu, karena Hindu membebaskan saya dari takhayul dari ungkapan nak mula keto atau “memang dari dulu sudah begitu“.
Tidak, Hindu mengajarkan saya untuk mencari tahu makna dari setiap kebiasaan, setiap tradisi dan setiap ajaran.

                Saya Bangga Sebagai Orang Hindu, karena Hindu memberi saya kebebasan untuk meninggalkan segala kebiasaan lama yang tidak relevan dan memaknai kembali kitab-kitab suci saya sesuai dengan zaman yang senantiasa berubah.
Saya bangga sebagai orang Hindu, karena saya adalah pewaris peradaban yang paling tua, masih hidup, masih relevan, dan masih berkembang terus.
                Saya bangga sebagai orang Hindu, karena untuk kitab pegangan pun saya bisa memilih, mau Veda, mau Purana, mau Bhagavad Gita, mau Sara Samuccaya – yang mana saja. Tidak ada larangan.
                Saya bangga sebagai orang Hindu, karena Hindu membebaskan saya dari segala macam dogma, doktrin, dan rasa takut akan api neraka. Hindu membuat saya bertanggung jawab atas setiap perbuatan saya lewat Hukum Karma atau Konsekuensi, Aksi-Reaksi, Sebab-Akibat, yang bagi saya sangat masuk akal.
               

Saya Bangga Sebagai Orang Hindu, karena leluhur saya sudah tahu sejak zaman dahulu bahwa energi tidak pernah punah. Dan, bahwasanya Aku, Atma, yang menerangi diri ini, badan ini, gugusan pikiran serta perasaan ini – adalah energi, abadi, kekal.

Saya bangga sebagai orang Hindu, karena leluhur saya tidak pernah mengajarkan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berkepercayaan sama dengan saya.
                Saya bangga sebagai orang Hindu, karena leluhur saya telah berkontribusi begitu banyak terhadap peradaban dunia, namun tidak merasa dirugikan ketika kontribusi-kontribusi ini diklaim oleh peradaban lain sebagai milik mereka.

Tapi, Akhir Kata, Saya Juga Gelisah, amat sangat gelisah bahwa sebagai orangtua, sebagai pendeta, sebagai tokoh kepercayaan, sebagai pejabat, sebagai pendidik, sebagai usahawan dan profesional, sebagai apa saja – saya belum mampu menularkan kebanggaan ini kepada anak-cucu saya…. sedih, amat sedih….

*Penulis lebih dari 170 udul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org)