OM

DIAMBIL DARI
MAJALAH HINDU RADITYA, HALAMAN 56-57, NO. 252, JULI 2018

Wacana

Anand Krishna *

It is not necessary to go through

all these ceremonials to reach the meaning of the Vedanta.

Repeating Om is enough.

Swami Vivekananda, Complete Works Vol. 7

“Untuk memahami makna dari Vedanta atau intisari Veda, tidak dibutuhkan berbagai macam seremoni, pengulangan Om sudah cukup.” Demikian menurut Vivekananda, Sang Swami pembaharu.

Dalam pembukaan Mandukya Upanishad dijelaskan bahwa, “Om-ity-etad-aksharam-idam sarvam” – Dalam satu aksara Om inilah terdapat segala-galanya, semuanya, seantero alam. Chandogya Upanishad menyebutnya “intisari dari segala sari, Hyang Mahatinggi, Tertinggi.”

Demikian pula dalam Teks-Teks Suci lainnya….

Manu Smriti 2:83, 87: “Om adalah Brahman – Hyang Tertinggi, … Tidak diragukan lagi bila seroang Brahmin- seorang Bijak – mencapai tujuan tertinggi dengan melakukan japa, atau mengulangi Om, terlepas dari ia melakukan ritual lain atau tidak.”

Yoga Sutra Patanjali 1: 24-32 mengagungkan Om sebagi Wujud Hyang Terucap dari Hyang Widhi. Dan, Bhagavad Gita 10:25: Diantara aksara Akulah Aksara OM.

Om Adalah Pranava – Suara Prana, Suara Aliran Kehidupan. Bhagavad Gita 7: 8 menyatakan, “Akulah Pranva!” – Sang Aku, Paramatma, Jiwa Agung, Hyang Widhi – atau apapun sebutannya adalah Om.

Sebagaimana telah kita baca di atas, Om adalah Akshara – berarti, “Hyang Tidak Pernah Punah.” Mari kita renungkan. Akshara atau “aksara” dalam bahasa Indonesia disebut demikian, karena sesungguhnya setiap aksara yang terucap, tertulis tidak pernah punah.

Tulisan ini, Majalah di Tangan Anda ini, bahkan saya sebagai penulis akan punah – tapi aksara yang terucap dan tertulis tidak pernah punah. Barangkali saya terlupakan oleh Anda, tetapi yang terjauh, mengelilingi alam semesta, bersinggah di galaksi kita, dan melewati lagi planet bumi ini. Demikain berulang terus , sehingga, dalam tradisi Hindu – setiap aksara adalah suci. Bukan aksara-aksara tertentu saja.

Adalah kesalahan kita sendiri jika kita menggunakan aksara-aksara yang suci itu untuk menulis sesuatu yang tidak suci. Air yang mengalir dari perbukitan adalah suci, air hujan adalah suci – namun bisa saja terkontaminasi, karena kotoran dan sampah yang mengalir bersamanya.

Kesucian aksara tak pernah terganggu, namun kalimat-kalimat yang terbuat dari aksara belum tentu suci. Setiap unit pikiran dalam gugusan pikiran dan perasaan atau mind kita adalah suci, namun ketika disambung-sambung oleh mind yang tidak jernih, oleh perasaan yang kotor, maka sambungan-sambungan berupa kalimat bisa kehilangan kesuciannya.

Sementara itu, Om-Sabda yang disebut akshara, tak pernah punah – tidak pernah pula kehilangan kesuciannya, karena Ia tidak membutuhkan kalimat tambahan atau kepanjangan apapun.

Ishavasya Upanishad menyebutnya sebagai Hyang Maha Sampurna adanya – dari kesempurnaan itulah semuanya berawal, dan kepada kesempurnaan itu pula semuanya kembali. Namun, Hyang Maha Sampurna tetaplah sampurna, tidak tercemar, dan tidak kekurangan sesuatu.

Untuk menjelaskan Hyang adalah Acintya, melampaui pikiran, para resi, para bijak menggunakan aksara sesuai dengan bahasa yang populer di setiap daerah. Dalam gambar ada beberapa dari sekian banyak cara untuk menulis Om atau Omkara – Wujud Om.

Ditulis dalam skrip Devanagari, yang juga merupakan skrip yang digunakan untuk menulis Veda dan sekian banyak pustaka suci lainnya; mau ditulis dengan skrip Tibet, skrip Bali – skrip apa saja Om adalah tetap suci. Ia tidak kehilangan atau kekurangan kesuciannya.

Skrip hanyalah perantara untuk menjelaskan Hyang sesungguhnya tak terjelaskan. Esensinya adalah Hyang Tak Terjelaskan itu – Om.

Sebab itu, ditulis dengan dan dalam skrip apapun Om tetap suci. Ditulis oleh tangan siapa pun, Om tetaplah suci. Ketika saudara-saudara kita yang sekarang menganut kepercayaan yang beda menulis salah satu sebutan bagi Gusti dengan menggunakan kaligrafi yang indah – maka setiap tangan yang menulisnya tentu beda. Tampaknya pun beda. Ada yang malah sengaja dibuat indah dan beda – namun semuanya suci.  Tak ada satu pun yang kurang atau lebih suci.

Kita sedang menghadapi masa percobaan, dimana dengan makin populernya ilmu-illmu yang berasal dari peradaban kita – peradaban Sindhu, Shintu (Chinese), Hindu (Persia), Indos (Yunani), Indus (Latin), Hindia (Melayu) atau apa pun sebutannya – ada elemen-elemen dalam masyarakat kita yang merasa tergusur. Padahal Hindu bersifat all-inclusive – ia merangkul semua dalam kesetaraan. Masih ingat dengan pernyataan Vivekananda:

“To the Hindu, then the Whole World of religions is only travelling, a coming up, of different men and women, through various conditions and circumstances, to the same goal. Why, then are there so many contradictions? They are only apparent, says the Hindu. “The contradictions come from the same truth adapting itself to the varying circumstances of different natures. “It is the same light coming through glasses  o fdifferent colours. And these little variations are necessary for purposes of adaptation. But in the heart of everything the same truth reigns.” (Complete Works, Vol. 1)

Terjemahan bebasnya: “Bagi seorang Hindu, kepercayaan-kepercayaan di seluruh dunia hanyalah merupakan jalan bagi pria dan wanita yang berbeda, berangkat dari berbagai kondisi dan keadaan yang berbeda pula, namun menuju satu tujuan yang sama.

Lalu mengapa ada sekian banyak hal yang bertentangan? Bagi seorang Hindu, semua pertentangan itu hanya tampak di permukaan saja. Segala kontradiksi – segala hal yang tampak beda – berasal dari kebenaran yang sama yang sekedar menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang berbeda.

Cahaya yang sama tampak berbeda karena warna kaca yang  berbeda. Perbedaan-perbedaan kecil demikian diperlukan untuk tujuan penyesuaian. Namun, inti kebenaran adalah satu dan sama.”

Demikianlah cara pandang Hindu, yang sering tidak dipahami oleh berbagai kalangan, dimana kepercayaan dianggap tujuan, dan bukan jalan. Bagi mereka yang beranggapan demikian, keberagamaan adalah sesuatu yang mesti dihindari. Bagi mereka, keseragaman adalah mutlak.

Sayang, beribu-ribu kali sayang, sebagian, walau kecil, umat Hindu yang mewarisi nilai keberagaman yang mulia, saat ini sedang terpengaruh oleh keseragaman. Maka, definisi kesucian yang sesungguhnya meliputi segala sesuatu pun dibatasi, ini suci, itu tidak.

Kita lupa dengan pesan dasar Hindu bahwasanya seantero alam ini diliputi oleh-Nya. Demikian, menurut Ishavasya Upanishad. Maka, mau menoleh ke arah mana pun, sesungguhnya yang ada hanyalah Dia, Dia, Dia. Tat Tvam Asi. Itulah Kau. Ya, kesucian itulah Kau – itulah kesejatian dirimu, kebenaranmu.

Guru saya selalu menyebut kita sebagai DivyasvarupalaraEmbodiments of the Divinity, wujud-wujud Hyang Mulia. Kemuliaan berada dimana-mana, bukan saja di dalam diri kita, tapi diluar diri. Pohon, sungai, bukit – semuanya adalah suci, sehingga mereka pun kita hormati, kita puja sebagai manifestasi Hyang Tunggal.

Tidak menjadi soal jika saudara-saudara kita yang tidak memahami konsep Keberagaman atau Rwa-Bhinneda ini memandang kita sebagai makhluk yang aneh, “Masak iya, pohon pun dikasih kain kotak-kotak?” Tidak menjadi soal, jika kita dicap sebagai pemuja berhala oleh mereka yang tidak memahami apa yang ada di balik simbol-simbol kita yang disebut berhala.

Tidak, kita tidak mempersoalkan itu, tetapi, ya kita boleh dan mesti menyayangkan jika di dalam keluarga kita sendiri, ada pandangan-pandangan yang dapat menodai beragaman kita. Om bhurbhuvah svaha, bhargo devasya dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat…. Om Shanti, Shanti, Shantih…. Mari kita memusatkan seluruh kesadaran kita pada Hyang Maha Suci, pada Sinar Suci Hyang Menerangi jagad raya, tiga masa, dan segala-galanya. Mari kita berdoa supaya pikiran kita pun disinari olehNya. Damai, Rahayu, Om Svasti Astu.

*Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170  buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org)