BERILAH KAMI HATI PENUH RASA, 24 Desember 2007

BERILAH KAMI HATI PENUH RASA

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 24 Desember 2007

Pikiran yang Jernih dan Hati yang dapat Merasakan Penderitaan serta Kebahagiaan Sesama Makhluk – inilah dua aset utama yang diberikan kepada Manusia. Inilah dua komponen utama yang membentuk Jiwa Manusia.

Tanpa kedua komponen itu, badan manusia sekedar darah, daging dan tulang-belulang. Tidak lebih baik dari badan yang dimiliki oleh hewan lain.

Kemudian, apa arti Pikiran yang Jernih dan Hati Penuh Rasa bagi Manusia Indonesia masa kini? Apakah Manusia Indonesia sudah memilikinya? Dan, bila tidak – apakah ia membutuhkannya?

Setidaknya, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengiyakan hal tersebut. Kedua hal itu yang beliau harapkan dalam pidatonya di depan 200-an orang pada kesempatan side event Konperensi PBB di Bali, pada tanggal 11 Desember yang lalu.

“Pikiran yang Jernih” menuntut kita semua untuk merespons terhadap keadaan di negeri kita dengan kepala yang dingin, tetapi tidak beku. Pun, dahi yang tidak penuh kerutan. Kepala yang sangat kreatif dan inovatif. Otak yang dapat memikirkan nasib bangsa. Pikiran yang mampu melahirkan gagasan-gagasan baru untuk memperbaiki nasib bangsa.

Seandainya kita memiliki Pikiran yang Jernih; seandainya saya dan Anda memilikinya; seandainya para pemimpin dan pengusaha dan pekerja kita memilikinya – maka negeri yang berlimpah dengan sumber alam ini tidak akan diolah oleh saudara-saudara kita dari seberang.

Kita tidak akan menggenjot pembangunan dengan pinjaman, bantuan, bahkan modal dari luar. Karena, kita memang tidak memerlukannya. India dan Cina, dan bahkan Jepang membutuhkannya. Korea dan Pakistan membutuhkannya. Kita tidak membutuhkannya. Negara-negara yang saya sebut tadi tidak memiliki sumber alam sebagaimana kita memilikinya.

Kita berada di belakang Cina dan India – dan, ini adalah sebuah penghinaan terhadap Pikiran kita – Pikiran Manusia Indonesia. Ini merupakan penghujatan terhadap Kemampuan kita – Kemampuan Manusia Indonesia.

Sebab itu, saya berang. Saya gerah. Dan, saya menjadi provokatif. Saya menjadi provokatif secara sadar, sadar sesadar-sadarnya akan resiko dan konsekuensinya. Kenapa? Supaya para petinggi kita ikut kegerahan. Supaya mereka terbangunkan dari tidur panjang mereka, dari mimpi mereka.

Jangan mesomasi acara teve dengan tajuk “Republik Mimpi” selama kita semua masih hidup dalam mimpi. Bangun dan tidur lagi dalam mimpi. Makan dan minum dan, maaf, berak dan kencing dalam mimpi.

Bangkitlah saudaraku, sobatku…. Untuk para petinggi kita yang kegerahan oleh flyers berisikan tulisan-tulisan saya yang dibagikan kepada ribuan peserta Konperensi PBB di Bali – saya mohon dengan amat sangat, bangunlah dari mimpimu!

Mereka yang sibuk mengejar koruptor, terlebih dahulu mesti membersihkan rumah mereka sendiri. Karena, di dalam rumah mereka, di dalam perusahaan-perusahaan yang dipimpin dan dimiliki oleh keluarga mereka – korupsi masih menjadi gaya hidup dan gaya berbisnis.

Pernahkah kita berpikir, kenapa kita menjadi koruptor? Kenapa kita mencari uang dengan cara instan? Karena kita kurang kreatif, kurang inovatif. Kenapa kita bisa di beli oleh pihak-pihak asing yang adalah pemilik asli dari pertambangan dan perusahaan-perusahaan lain yang hanyalah diatas kertas menjadi milik kita? Karena, kita kurang mampu, kurang percaya-diri.

Kenapa kita menjadi besar dan kaya-raya setelah keluarga kita menjadi pejabat? Kenapa? Padahal, sebelumnya perusahaan kita sudah atau hampir bangkrut. Membayar hutang pun tidak bisa. Sekarang kekayaannya malah berlipat-ganda. Kenapa, kenapa, kenapa?

Bertanyalah dengan Penuh Perasaan…. Bertanyalah kepada diri sendiri….. Kita hidup di tengah masyarakat dimana puluhan juta sesama warga-negara masih hidup di bawah garis kemiskinan….. Kita mefasilitasi Konperensi PBB untuk Perubahan Iklim….. Sementara itu, keluarga kita masih bepergian dengan menggunakan pesawat pribadi. Apa perlunya? Kenapa mereka tidak bisa menggunakan pesawat komersil dan ikut membantu untuk mengurangi emisi karbon? Kenapa, kenapa, kenapa?

Kita tidak merasakan penderitaan sesama anak bangsa…. Malah, seorang adik pejabat dengan bangga pernah mengatakan kepada saya, “Kemacetan lalu lintas di Jakarta membuat saya stress…… Maka, saya selalu menggunakan helikopter untuk ke kantor…..” Padahal, kantor dan rumah beliau – keduanya masih di kawasan Jakarta Selatan!

Manusia-manusia yang pikirannya sudah tidak jernih, manusia-manusia yang sudah tidak berperasaan – berada dimana-mana….. Diantara para petinggi kita, pengusaha kita, bahkan pekerja kita.

Sebab itu, bila terjadi Tsunami – maka kita menganggapnya sebagai percobaan dari Tuhan. Terjadi gempa, kita berdoa…. Bagus, tetapi jangan lupa: “Tangan yang Melayani lebih Berguna daripada Bibir yang Berdoa”. Setidaknya, seperti itulah keyakinan saya.

Kau tidak membutuhkan Pesawat Pribadi. Kau tidak membutuhkan helikopter. Kau tidak membutuhkan uluran tangan asing untuk membantu perusahaan-perusahaanmu yang hampir bangkrut. Biarlah perusahaan yang semestinya sudah bangkrut, collapse sendiri secara alami. Toh, perusahaan-perusahaan itu tidak banyak kontribusinya terhadap Pembangunan Jiwa Manusia Indonesia secara utuh.

Teve yang tidak mendidik tidak membantu. Pertambangan yang menyulap emas menjadi timah tidak membantu. Peralatan dan sarana komunikasi yang membuat kita menjadi konsumtif, pun mempromosikan budaya-cicil – tidak membantu.

Tapi, saya tetap percaya pada kemampuanmu.
Saya tahu persis kau berasal dari Keluarga Pengusaha dan memiliki Jiwa Nasionalis. Tolong, jangan menggadaikan jiwamu demi kepingan emas yang tidak berarti.

Lepaskan dirimu dari ketergantungan pada pihak asing. Bebaskan jiwamu dari penyesalan yang saya tahu persis kau rasakan, karena kau Orang Indonesia. Janganlah menutupi kegelisahanmu di balik kemenangan di pengadilan manusia. Merdekakan dirimu, kau sungguh berjiwa Satria!

Keluarlah sebagai Pemenang Sejati dalam Perjuanganmu demi negara dan bangsa. Coba, berpikirlah apa arti uang banyak yang kau miliki itu? Apa arti harta benda dan segala sarana yang sekedar menyamankan tubuh, raga? Pikirkanlah kebutuhan jiwamu, kebutuhan ruhmu….. Karena, kebutuhan itu tak pernah kau penuhi selama ini….. Pikirkanlah kebutuhanmu akan rasa, sedikit kelembaban bagi hatimu….

Gusti, Allah, Widhi, Tao, Buddha, Bapa di Surga – Berilah kami Hati Penuh Rasa….. Hati yang akan berdarah-darah melihat penderitaan sesama anak bangsa, sesama manusia, sesama makhluk hidup. Berilah kami hati yang akan tergerak untuk mengorbankan segalanya bagi mereka yang menderita karena ulah kami…. Berilah kami kelembutan hati, Ya Allah, Ya Rabb, Gusti…… Diatas segalanya, Gusti, berilah kami kejernihan berpikir supaya kami tidak mencari pembenaran atas segala penderitaan yang trjadi karena ketololan kami….. Amin, Amen, Sadhu, Aum Shanti….