California Bali Friendship Association – Kesan dan Pesan dari Negeri Paman Sam – 4

California Bali Friendship Association
Kesan dan Pesan dari Negeri Paman Sam – 4

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 22 Oktober 2007

 

Seorang teman yang pernah mendampingi suaminya selama bekerja di Indonesia sebagai Tenaga Ahli dibidang Aviasi, mengundang saya ke Ojai di California.

Lembah Ojai tidak jauh dari kota Los Angeles, hanya membutuhkan 2 jam dengan kendaraan, namun sangat jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan Los Angeles. Tak heran bila banyak artis dan pekerja film dari Hollywood memilih untuk tinggal di Ojai.

Ojai juga merupakan kota yang sangat “spiritual” – spiritual dalam tanda kutip tergantung pada definisi kita masing-masing. Namun, terlepas dari hal tersebut, inilah kota yang dipilih oleh Kelompok Theosophy, Pemikir Krishnamurti, Spiritualis Alice Bailey dan para tokoh dunia lainnya untuk berkarya dan menyebarkan pesan-pesan mereka. Setidaknya sejak tahun 1920-an lembah ini sudah diberkati dengan kunjungan oleh beberapa tokoh spiritual dunia.

Namun, segala pengetahuan yang telah saya miliki tentang kota kecil tersebut – terkalahkan oleh pengalaman pribadi yang sungguh mengesankan. Pengetahuan yang saya miliki sebatas cahaya lilin, pengalaman yang saya peroleh sedahsyat cahaya matahari!

Kelompok pertama yang menerima saya di Ojai, adalah Council of Grandmothers – Dewan Para Nenek se-Ojai. Dewan ini memiliki banyak cabang di seluruh benua Amerika, dan salah satu pendirinya adalah Jill Thompson, Model dan Bintang Holywood yang cukup terkenal di era 1970an-1980an.

Jill sendiri tinggal di Ojai, kota yang dipilihnya bukan untuk menghabiskan masa tuanya, tetapi untuk mengisi masa tuanya dengan berbagai macam kegiatan di bidang kemanusiaan. Berjubah putih, sederhana, tanpa dandan…..

Hmmn, saya membayangkan seorang Jill Thompson di Indonesia. Seorang bintang yang sudah berusia uzur, dandannya medok. Kulit wajah dan leher di tarik ke atas dan ke bawah. Bekas operasi tampak jelas.

Lain Jill Bule, lain Jill kite.
Jill Bule tidak mengalami post acting syndrome. Sudah tua, ya sudah. Ia menerima usianya, dan berkarya tanpa beban. Jill kite, barangkali berkarya juga, tetapi jiwanya sangat terbebani oleh usianya. Ia berusaha keras untuk menyembunyikannya.

Hal lain yang sangat mengesankan bagi saya, adalah kepedulian Jill dan para rekan-rekannya terhadap kebudayaan Native Indians, yang mereka sebut Native Americans. Penduduk Asli Amerika. Mereka sedang berusaha untuk mengangkat kembali kearifan lokal yang selama ini tergusur oleh kepercayaan-kepercayaan asing.

Berada di tengah mereka, pikiran dan hati saya melayang kembali ke tanah air. Saya berusaha untuk menemukan seorang Jill di Indonesia. Seorang artis era 1970an-1980an yang peduli terhadap budaya lokal, terhadap kearifan lokal. Dan, tidak sekedar peduli, tetapi berkarya untuk mengangkatnya kembali, untuk mempopulerkannya kembali.

Sulit, sulit menemukan seorang Jill di Indonesia.
Jangankan para Jill, para pejabat kita saja sama sekali tidak peduli terhadap budaya dan kearifan lokal. Seorang pejabat tinggi malah mengajak kita untuk melakukan kegiatan agama tertentu secara nasional. Dia lupa bahwa dirinya adalah pejabat tinggi bagi seluruh bangsa dan negara di mana warganya, penduduknya bukanlah pemeluk satu agama saja.

Jill Bule dengan latar belakang Kristiani, di usia uzurnya, sedang belajar tentang kearifan lokal para natives, tentang budaya asal mereka. Bagaimana dengan Jill Nusantara? Apakah kau peduli terhadap budaya asal Nusantara? Apakah kau peduli terhadap kearifan lokal kita? Sayang, para Jill kita malah sibuk meniru kearifan dan budaya asing. Bahkan, berbusana pun sesuai dengan budaya asing. Dulu, yang ditiru adalah tren barat, sekarang tren arab.

Sore itu juga, setelah bertemu dengan Jill dan rekan-rekannya, saya bertemu dengan kurang lebih 80-an warga kota lainnya. Termasuk diantara mereka para undangan dari Santa Barbara dan Los Angeles. Mereka adalah para artis dan pekerja film dari Hollywood, insan media cetak dan elektronik, profesional di berbagai bidang, mahasiswa, aktivis, fashion designer – hampir semua profesi terwakili oleh 80-an orang tersebut.

Saya diminta untuk berbagi pengalaman saya di Indonesia, maupun tentang kunjungan saya sebelumnya ke New York untuk menghadiri konperensi PBB. Ternyata banyak diantara mereka yang pernah berkunjung ke Indonesia, tepatnya ke Bali.

“Bagaimana Bali-ku?” Inilah pertanyaan yang banyak muncul dari mereka. Karena, mereka telah mendengar banyak tentang pembangunan yang “kurang sopan” dan tidak selaras dengan lingkungan. Super Mal yang sepi pengunjung, tetapi telah memonopoli pantai; hotel-hotel di sekitar pantai yang telah mencemari laut; dan last but not least, kenapa harus membabat hutan, merusak lingkungan dan menggusur warga desa demi lapangan Golf?

Saya baru sadar bila banyak warga Bali yang sesungguhnya tidak setuju dengan pembangunan yang kurang cerdas seperti itu, diantaranya para pemandu wisata yang sering bercurhat dengan para wisatawan asing….. Hmm, Bali masih penuh dengan orang-orang cerdas, walau kebijakan para pejabat kita sering tidak cerdas.

Seorang teman bule menawarkan solusi: “Mari kita membuat petisi untuk Pemerintah Indonesia supaya pembangunan disana lebih diperhatikan, tidak merusak lingkungan. Bagaimana pun jua, keindahan pulau Bali adalah milik warga sedunia!”

Teman itu belum selesai bicara, sudah beberapa orang mengangkat tangan: “Setuju, saya akan ikut menandatangani petisi tersebut….” Sebelum acara selesai, terkumpul sudah lebih dari 60 tanda tangan. Jumlah penandatangan pun bertambah terus ketika saya berkunjung ke Santa Barbara untuk bertemu dengan para elite kota tersebut, termasuk diantaranya Philantrophist Patricia Fiedel, Pembawa Acara Radio Universitas California Kampus Santa Barbara, Patricia Driori, dan Frank Kelly, Vice President Nuclear Disarmament Peace Foundation. Frank Kelly adalah penulis pidato kenegaraan President Truman dan pada usianya yang sudah sepuh, masih sangat berpengaruh. Mereka semua mendukung dan ikut menandatangani petisi tersebut.

Ketika petisi itu kami serahkan kepada Konsul Jenderal kita di Los Angeles, tentunya dengan penjelasan bahwa penandatangannya bule semua dan orang-orang terpengaruh – beliau pun turut mengapresiasi upaya tersebut.

Tetapi tunggu dulu, what next?
Dengan menandatangi petisi tersebut, dirasakan oleh teman-teman bahwa pekerjaan kita belum selesai. Maka, dideklarasikan pula pembentukan Asosiasi Persahabatan California Bali (http://www.californiabali.org/) – dan adalah pencabutan travel warning oleh pemerintah A.S. yang menjadi salah satu agenda asosiasi tersebut.

Alhamdulillah, Puji Tuhan, Manggalam Bhavantu….. saat ini ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, saya mendapat kabar bahwa Bandara Ngurah Rai sudah dianggap aman, dan sudah tidak ada Travel Warning bagi warga A.S. yang hendak berkunjung ke Bali.

Di lain pihak, sementara warga dunia menunjukkan kepedulian mereka terhadap pelestarian lingkungan, flora, fauna, dan budaya Bali – hari ini pula saya membaca berita tentang dihancurkannya dua pura di Sanur oleh investor yang entah memperoleh restu dari siapa? Media mesti menelusurinya.

Tak ada seorang pun rohaniwan yang dapat mensucikan dosa-dosa mereka yang terlibat dalam penghancuran pura kembar tersebut. Saya yakin bahwa Hukum Sebab-Akibat selalu berlaku. Mereka yang menghancurkan sudah pasti terhancurkan, tinggal tunggu waktu saja. Masih ingat pengalaman Rejim Taliban? Mereka menghancurkan warisan budaya mereka sendiri berupa patung-patung Buddha di Afghanistan – dalam enam bulan setelah itu rejim mereka tumbang!

Bali, O Bali, Baliku…….. Bangkitlah!