DIAMBIL DARI MEDIA HINDU, HALAMAN 64-65, EDISI 156, FEBRUARI 2017
DARI ANAND ASHRAM
Ungkapan yang sering Disalahartikan
Anand Krishna *
“Jāti-deśa-kāla-samaya-anavacchinnāḥ sārvabhaumā.”
Pedoman untuk Disiplin Diri atau Mahāvrata ini bersifat universal, berarti mesti diindahkan oleh setiap praktisi Yoga, dan tidak terbatasi oleh latar belakang suku, tempat kelahiran maupun tempat tinggal, waktu, keadaan dan segala perbedaan duniawi atau material lainya.
Yoga Sutra Patanjali II.31
Anand Krishna, “Yoga Sutra Patanjali bagi Orang Modern”
Pedoman untuk Disiplin Diri atau Mahāvrata yang dimaksud adalah nilai-nilai luhur yang bersifat universal, berarti pātra atau pemerannya bisa siapa pun juga, berlaku sama untuk semua. Dan, di atas segalanya, berlandaskan Dharma.
Nilai – nilai luhur inilah yang tidak terpengaruh oleh latar belakang suku, tempat kelahiran maupun tempat tinggal, waktu, keadaan dan segala perbedaan – berarti, tidak terpengaruh oleh jāti-deśa-kāla-samaya.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kita mesti memahami perbedaan antara nilai-nilai luhur yang tidak pernah kedaluwarsa dan adat-istiadat yang senantiasa menuntut kearifan untuk direvisi, diperbaiki dan diselaraskan sesuai dengan tuntutan zaman.
Jangan sampai sesuatu yang sudah usang dan tidak selaras dengan zaman diselaraskan atas nama jāti-deśa-kāla-samaya dan pātra – dan sebaliknya sesuatu yang bersifat universal dan semestinya dilestarikan, dipertahankan, dan tidak diubah, malah diubah dan dikebirikan.
Sekitar tahun 1960-1970an, saya masih ingat betul bagaimana wacana tentang “Hindu Bali beda dari Hindu India” dipromosikan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan kita bersatu sebagai Hindu Dunia di bawah panji Sanatana Dharma – Dharma atau Nilai-Nilai Luhur yang bersifat Universal dan Abadi, Langgeng.
Rasa takut pihak-pihak tersebut dapat dipahami. Mereka tidak menginginkan Hindu Bali menjadi kepercayaan Trans-Nasional, sehingga kepentingan nasional terabaikan demi Persaudaraan Hindu yang dalam “anggapan mereka” akan sama bahayanya seperti kepercayaan-kepercayaaan lain yang bersifat Trans-Nasional.
Mereka tidak paham, tidak sadar bila lain kepercayaan-kepercayaan lain, dan lain pula Sanatana Dharma.
Kepercayaan-kepercayaan lain umumnya berafiliasi dan secara hirarki berada di bawah suatu Badan-Super yang bersifat Trans-Nasional. Sub-ordinasi seperti itu ada yang tampak jelas, Anggaran-Dasarnya pun jelas, ada yang samar-samar dan ada yang tidak jelas. Ada pula institusi-institusi yang enggan berterus terang, malah cenderung menutupi karena urusan politik, perizinan, dan sebagainya, padahal mereka pun berada di bawah badan-badan super seperti itu.
Suatu Kebiasaan Baru yang kiranya bisa ditiru. Sambil menunggu upacara perabuan bagi anggota keluarga yang telah berpulang, mereka memutar CD Mantra atau Lagu-lagu Rohani yang kita sebut Bhajan atau Kirtan
Tidak demikian dengan Sanatana Dharma. Tidak demikian dengan Sanatani atau seorang Hindu yang berpedoman pada Dharma, pada Sanatana Dharma.
Bhagavan Sri Sathya Sai Baba, salah satu seorang tokoh Hindu kontemporer atau lebih tepatnya seorang Sanatani – praktisi sekaligus promotor Sanatana Dharma – mewajibkan pengikutnya untuk menghormati Tanah Air, Tanah Kelahiran, dan berkontribusi terhadap bangsa dan negara mereka masing-masing.
Tempat-tempat suci Sanatana Dharma pun tersebar dan berada dimana-dimana. Bagi seorang praktisi Sanatana Dharma, seorang Hindu yang lahir di India, pura Besakih di Bali sama sucinya seperti Kuil Vishvanath di Benares.
Demikian pula seorang Hindu dari Bali, walau ia berharap untuk bisa mandi di sungai Ganga di India, tidak berarti sungai-sungai di Bali, bahkan di seantero Nusantara tidak suci, tidak sama sucinya.
Seorang Pedanda di Bali mengambil air di tangannya dan membacakan mantra, mengucapkan afirmasi, “kulihat Kemuliaan dan Kesucian Ganga, Yamuna, Saraswati, Godavari, dan sungai-sungai suci lainnya dalam air di tanganku ini….”.
Menghormati dan Melestarikan Lingkungan adalah salah satu dari sekian banyak nilai – nilai luhur, nilai-nilai suci yang dijunjung tinggi oleh seorang Sanatani, terlepas dari tempat kelahiran dan tinggalnya.
Nilai tersebut tidak terpengaruh oleh jāti-deśa-kāla-samaya dan pātra. Demikaian pula dengan cinta dan berbakti pada tanah – air; melestarikan nilai-nilai luhur paradaban yang sudah menjadi budaya; dan, lain sebagainya.
Tidak demikian dengan Adat-Istiadat yang Tidak Luhur… Misalnya seperti kebiasaan merokok, apakah seseorang mesti melestarikannya hanya karena ayah dan kakeknya suka merokok? Apakah saya mesti, harus, tidak-bisa-tidak makan daging, karena ayah, ibu, kakek, dan nenek saya adalah pemakan daging?
Dalam contoh yang saya berikan di atas, kebiasaan merokok memengaruhi pranamaya kosha, lapisan kesadaran prana, life force, atau aliran kehidupan itu sendiri. Kebiasaan tersebut mencemari prana, yang tidak hanya berdampak buruk pada fisik tetapi juga pada gugusan pikiran dan perasaan atau mind, sebab prana menghubungkan fisik dengan mind.
Saya pernah berada di suatu tempat di mana dapat bertemu dan berinteraksi dengan ratusan korban narkoba. Tanpa kecuali, mereka semua awalnya adalah perokok. Kiranya saya tidak perlu membahas betapa besar kerugian negara dan bangsa ketika seorang anak bangsa menjadi korban narkoba. Dan, awalnya adalah kebiasaan merokok!
Anda boleh berkata, “Tapi itu kan soal rokok, jangan menyamakan kebiasaan rokok dengan adat-istiadat…”
Saya tidak ingin menciptakan polemik baru, namum perlu saya tambahkan bahwasanya banyak sekali adat-istiadat yang semestinya sudah ditinggalkan kemarin atau kemarin dulu, sayang bila belum ditinggalkan, dan malah ada upaya untuk melestarikannya.
Lagi-lagi, tidak semua adat-istiadat buruk adanya. Tidak demikian maksud saya. Dan, tidak perlu pula meminta pendapat orang lain tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Anda mesti dan bisa menentukannya sendiri. Gunakan timbangan Dharma, mana yang selaras denga Dharma dan mana yang tidak.
Masih tentang Adat-Istiadat atau Kebiasaan – di antara yang baik dan yang buruk, ada juga yang tidak buruk, tetapi tidak perlu dilestarikan…
Contoh: Dalam pertemuan-pertemuan resmi, ketika mau trisandhya atau mulai berdoa, maka sang pembawa acara mengumumkan , “Silakan berdiri.”
Kebiasaan ini, jelas-jelas tidak ada kaitanya dengan Hindu atau Sanatana Dharma. Bagaimana kita berdoa di Pura? Dalam posisi berdiri? Kenapa mesti berdiri saat pertemuan-pertemuan resmi di luar Pura?
Jelas, kebiasaan ini kita adopsi dari kebiasaan umum, yang mana sesungguhnya tidak perlu diikuti, tidak perlu diadopsi.
Saat menyanyikan Lagu Kebangsaan, ya, kita mesti berdiri. Itu merupakan suatu kelaziman dan kewajiban. Kita mesti menghormati panji-panji, simbol-simbol, ikon-ikon bangsa dan negara dengan suatu cara yang sudah kita sepakati bersama.
Adakah Kita bisa Merubah Kebiasaan yang satu ini, tetapi tidak ada manfaatnya juga, dan malah tidak sesuai, tidak selaras dengan kebiasaan kita berdoa dengan posisi duduk, bersila, mengambil sikap atau asana dari beberapa sikap yang dianjurkan dalam Yoga, seperti Sikap Padma, Vajra dan sebagainya?
Hal yang kecil, sederhana, tetap bisa menjadi pemicu bagi kita untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih besar di kemudian hari.
Contoh lain: Suatu Kebiasaan Baru yang kiranya bisa ditiru. Sambil menunggu upacara perabuan bagi anggota keluarga yang telah berpulang, mereka memutar CD Mantra atau Lagu-lagu Rohani yang kita sebut Bhajan atau Kirtan.
Ini tidak hanya menciptakan suasana khusyuk, tetap juga sangat membantu sang jiwa yang sudah mesti meninggalkan hunian badannya, untuk tidak lagi terikat pada jasad yang tidak berguna, dan melanjutkan perjalanannya.
Wajah para perempuan yang sibuk menyiapkan persembahan tampak lebih carah… Para lelaki, yang biasanya sibuk membahas hal-hal yang tidak penting, ikut larut dalam alunan musik… Sungguh indah! Dapatkah kita mengadopsi kebiasaan baru yang indah ini, dan menginggalkan salah satu kebiasaan yang tidak selaras dengan dharma?
Tidak perlu menceramahi orang lain, mulailah dari diri sendiri, dari kalangan keluarga sendiri. Masih ingat petuah Mahatma Gandhi, “Be the change that you wish to see in the world – Jadilah perubahan yang ingin Anda lihat di dunia ini!”
*Penulis/ Pendiri Anand Ashram (www.anandashram.or.id)
Desha, Kala, Patra – 1 Desha, Kala, Patra – 2