Kebahagiaan dan Harga-Diri, 2 Juli 2007

Kebahagiaan dan Harga-Diri

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 2 Juli 2007

 

“Tinggal di Indonesia ini menjadi beban bagiku,” demikian pengakuan seorang teman, yang dalam bahasa kita, adalah “pribumi” – asli!

Dia memang pernah meraih pendidikan di luar, beberapa tahun disana. Tetapi, lahirnya disini, besarnya disini, pun masih suka makan sayur asem dan tempe bacem. Apa yang membuatnya merasa terbebani?

Keadaan di Indonesia. Korupsi, yang sejak zaman reformasi, malah bertambah. Dulu, beberapa orang saja yang melakukannya – sekarang merata. Ia bekerja di perusahaan milik pemerintah – sengaja saya harus mengaburkan sedikit identitasnya – dan mengaku bahwa sebagai “pegawai setengah-negeri”-pun ia diharapkan menyogok “orang-orang diatas sana”. Tahu maksudnya? Jelas bukanlah orang-orang dalam birokrasi, karena dia adalah bagian dari birokrasi. Orang-Orang diatas sana ini adalah makhluk-makhluk yang baru saja merasakan nikmatnya kekuasaan. Anda tahu persis mereka siapa. Mereka adalah pelayan yang telah memposisikan diri sebagai majikan.

Persis seperti dalam film-film Hollywood dan Bollywood, uang sogok tidak ditransfer, tidak diberikan secara langsung. Tetapi sudah menggunakan jasa courier. Instruksi yang diperolehnya pun jelas, “belilah buku” dan jika saya membongkar perkara judulnya, Anda akan mesomasi saya. Buku itu sedemikian rupa dipotong bagian tengah halaman-halamannya sehingga menciptakan bolong yang pas untuk setumpuk uang dollar, euro, maupun rupiah.

Seorang oknum atau seluruh massa melakukan korupsi bersama – batasnya sudah buram sekali. Pun, uang sogok itu untuk kantong pribadi atau kas partai – entah!

Korupsi menciderai harga diri manusia. Barangkali kita tidak merasakannya seperti itu. Barangkali kita memang manusia jenis lain. Atau, bisa jadi kita memang sudah kehilangan harga-diri, sehingga tidak ada yang tercidera.

Terlepas dari urusan cidera, tanpa Harga-Diri tak ada Kebahagiaan Sejati. Tanpa Harga-Diri kita tidak dapat mengakses Kebahagiaan Sejati yang bersumber pada diri sendiri. Berarti apa? Selama bertahun-tahun terakhir, Manusia Indonesia memang tidak bahagia. Kita sudah lupa seperti apakah kebahagiaan itu.

Seorang konglomerat yang kita anggap bahagia, “menyimpan” kendaraan baja anti peluru dan tahan guncangan bom. Jelas kendaraan Armour itu belum pernah digunakannya. Kendaraan itu hanya menghiasi garasinya. Kendati demikian, ia harus memastikan bahwa sewaktu-waktu bila perlu, kendaraan itu masih bisa digunakan. Untuk itu, ia pun menyewa mekanik khusus, seorang teknisi yang memahami mesin kendaraan yang dipesannya secara khusus pula. Konglomerat ini jelas tidak bahagia. Ia tidak merasa aman. Ia hidup dalam rasa takut.

Kenapa? Karena ia menempatkan kerajaan bisnisnya diatas diri. Bagi dia, bisnis itulah segala-galanya. Dulu, ketika ia masih belum menjadi konglomerat – masih bisa makan seenaknya di warteg pinggir jalan. Sekarang, sudah tidak bisa. Sekian banyak properti yang dimilikinya, tetapi ia tidak bisa tidur nyenyak tanpa pil. Banyak pengawal yang disewanya, kemudian para pengawal itu pula yang membuatnya takut, “Jangan-jangan ada yang menyusup…..”

Ia bekerja keras dan menimbun harta supaya bisa bahagia. Sekarang, apakah dia bahagia? Barangkali dia pun sudah lupa bila awalanya ia bekerja keras dan mencari uang supaya bisa hidup bahagia. Sekarang uang sudah punya, hidup sudah nyaman – tapi apakah dirinya sudah bahagia?

Seorang konglomerat, seorang pemilik perusahaan farmasi, pernah bercurhat: “Dulu saya tidak punya uang, tidak bisa makan yang enak. Pikir saya kalau sudah punya uang bisa makan yang enak-enak. Sekarang, punya uang, dan punya segudang penyakit. Makan enak tinggal keinginan saja.”

Dengan kerja keras, ia memperoleh keuntungan materi. Sebagai bonus, ia memperoleh berbagai macam penyakit. Pola hidup dan makan yang tidak teratur menciptakan berbagai macam komplikasi.

Setiap hari ia harus menelan beberapa pil, dan ia mengaku: “Setiap pil itu mengandung racun. Saya orang Farmasi, saya tahu persis bahwa tidak ada satu pun jenis obat tanpa efek samping.” Dapatkah Anda membayangkan hidup seorang konglomerat yang penuh derita seperti itu?

Pertanyaannya, apakah penderitaan itu alami? Dia kaya, dia juga punya segudang penyakit, tetapi apakah dia harus menderita? Tidak. Penderitaannya karena keinginan-keinginan yang tak terpenuhi. Ingin makan enak, tidak bisa – maka keinginan itu yang membuatnya menderita.

Buddha berbicara banyak tentang penderitaan, sebabnya dan cara untuk melampauinya. Kita hanya membaca dia, tetapi tidak tertarik untuk memahami maksudnya. Apalagi untuk menjalankan nasihatnya…..

Keinginan harus dibatasi. Bagaimana caranya? Bagaimana membatasi keinginan? Dengan mengembangkan Harga-Diri, dengan meningkatkan rasa Percaya-Diri.

Konglomerat yang menderita karena tidak bisa makan enak mestinya sadar bahwa “Hidup ini bukanlah untuk makan yang enak saja”. Masih banyak hal, banyak kepentingan lain dalam hidup.

Dimanakah harga-diri seseorang yang menempatkan “keinginan untuk makan enak” diatas segalanya? Jangan menertawakan dia, bagaimana dengan dirimu sendiri? Bagaimana dengan diriku sendiri? Apakah kita tidak melakukan hal yang sama?

Ada yang menempatkan keinginan untuk makan yang enak diatas segalanya. Ada yang menempatkan seks diatas segalanya. Ada yang lebih celaka lagi – menempatkan pencarian uang diatas segalanya. Mencari uang untuk apa? Untuk memperkaya Bank? Apakah kau masih memiliki waktu untuk menikmati kekayaanmu?

Ada yang seumur hidup mengejar titel, mengejar sertifikat, mengejar nama – semuanya untuk apa? Apakah semua itu membahagiakan dirimu? Jika ya, silakan. Tetapi, tolong berjujurlah dengan dirimu sendiri – apakah urusan kejar-mengejar itu bukanlah karena rasa iri, rasa cemburu? Bukankah kau tidak ingin berada di belakang orang lain? Kau selalu ingin berada di depan? Bukankah itu yang membuatmu berlomba terus sejak usia kecil hingga usia tua?

Sadarkah kau, bahwa dirimu sudah “berharga” dengan nyawa yang kau miliki, dengan hidup yang kau miliki. Dan, kau dapat berbuat banyak dengan nyawamu, hidupmu. Hargailah dirimu karena segala apa yang sudah kau miliki.

Segundang titel, kejar-mengejar dan perlombaan tak akan menambahkan sesuatu pada harga-dirimu. Percayailah harga-dirimu. Itulah yang ada diatas segalanya. Tempatkan titel, jabatan, harta-kekayaan dan segala apa yang kau miliki dibawah harga diri itu. Kemudian, jika kau kehilangan sesuatu diantaranya – Harga-Dirimu tak akan berkurang.

Raihlah titel dengan cara yang wajar. Janganlah menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Kerja-keras pun harus dalam batas yang wajar. Janganlah menggadaikan kesehatanmu demi kepingan emas. Kepingan-kepingan itu tidak berarti apa-apa tanpa badan yang sehat.

Kerja-keras, tetapi puas dengan apa yang kau peroleh. Janganlah kecewa bila apa yang kau peroleh tidak sesuai dengan harapanmu. Harapanmu adalah sebuah ilusi. Harapan adalah khayalan. Apa yang kau peroleh adalah kenyataan. Janganlah menukar kenyataan dengan khayalan.

Dengan cara ini kau akan melangkah ke dalam kebahagiaan – Kebahagiaan Abadi yang sumbernya ada di dalam dirimu jua…..