KEKUATAN PERSATUAN
Kesan dan Pesan dari Negeri Paman Sam – 1
Radar Bali, Senin 1 Oktober 2007
Kesan Pertama…..
Berlalu sudah jaman Mark Twain, ketika kita masih percaya bila “Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat – dan keduanya sulit bertemu”.
Kerumunan di Lapangan Terbang Internasional Los Angeles menjadi saksi akan pertemuan antara Barat dan Timur. Dan, pertemuan itu terasa harmonis. Terasa manis. Petugas imigrasi maupun bea-cukai tidak semuanya berkulit putih. Barangkali lebih banyak yang berkulit matang, kuning, bahkan hitam. Begitu pula dengan para pengunjung yang berantre secara rapi di depan bilik-bilik imigrasi.
Ah, inilah wujud nyata “Bhinneka Tunggal Ika”.
Saya baru menyadari rahasia kekuatan Paman Sam. Ia diperkuat tidak oleh putra-putrinya saja, tetapi oleh keponakan-keponakannya dari semua benua.
Sekali lagi saya memperhatikan wajah-wajah mereka yang sedang berantre untuk keperluan imigrasi. Wajah-wajah Asia, Afrika, Amerika Latin….. Namun, banyak diantara mereka memegang Paspor Amerika. Mereka adalah Warga Negara Amerika. Hmmm….. inilah wujud nyata “Tan Hana Dharma Mangrwa” – Tiada Dualitas dalam Menjalankan Kewajiban. Loyalitas mereka bukanlah pada negara asal mereka, tetapi pada Amerika, negara pilihan mereka.
Kita, Indonesia, memiliki “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai Motto Negara. “Tan Hana Dharma Mangrwa” adalah Kearifan Lokal kita, Kebijakan para Leluhur kita. Namun, di negeri kita sendiri Motto dan Kebijakan itu hanyalah tinggal slogan, semboyan yang tidak berarti apa-apa.
Mereka yang menentang Motto dan Kebijakan Leluhur itu dibiarkan berkeliaran bebas oleh negara. Ini memberi sinyal apa? Ini memberi pesan apa?
Saya menjadi sedih, gelisah….
Karena, setiap pasang tangan dan kaki yang telah memperkuat tangan dan kaki Paman Sam itu menjadi sebab kelemahan kita. Setiap otak yang bergabung dengan otak Paman Sam itu telah mengurangi kemampuan kita untuk berpikir. Dan, setiap hati yang memperkaya Paman Sam itu telah memiskinkan hati kita sendiri.
Paman Sam sudah kaya, dan sebagai keponakan-keponakannya, kita ikut bangga, ikut bahagia. Namun, apakah kita mesti meninggalkan gubuk kita untuk bergabung dalam istananya? Apakah kewajiban kita terhadap gubuk negeri ini tidak menuntut kerja-keras dari kaki dan tangan kita? Apakah gubuk negeri ini akan kita biarkan untuk terlantar?
Pesan Pertama yang kuterima dari Paman Sam cukup jelas dan tegas: Keberagaman adalah Berkah. Persatuan adalah Rahmat. Dan, Kebersamaan adalah Kekuatan yang Paling Dahsyat.
Berkah ini, Rahmat ini, Kekuatan ini yang dibutuhkan oleh negeri kita. Dan, untuk itu kita mesti bekerja keras. Bekerja super keras…..
Saya berjalan-jalan sekitar Kantor Konsulat Jenderal kita di Los Angeles. Walau letaknya tidak persis di pusat kota, namun luasnya gedung dan pelataran parkir sungguh mengesankan. Namun, melihat mereka yang berpakir di tempat itu, lagi-lagi hati saya tambah gelisah. Anak-anak muda yang barangkali masih mahasiswa, dan nyonya-nyonya besar yang entah bersuami siapa dan apa – semuanya menenteng tas-tas besar belanjaan.
Karena saya lebih awal tiba dan masih harus menunggu 30-an menit di dalam mobil, maka saya bisa melihat traffic orang-orang kita yang datang ke sana hanya untuk drop belanjaan mereka dalam mobil dan keluar kembali untuk melanjutkan shopping mereka.
Kebetulan yang mengantar saya adalah orang bule, teman lama…. Saya sampai malu ketika ia mengomentari lalu-lalang orang-orang kita itu: “Wah, beruntung mereka bisa mendapatkan parkiran gratis di kota besar seperti Los Angeles ini.” Sindiran itu sungguh menyakitkan hati. Namun, saya tidak menyalahkan dia. Sindiran itu membuat saya merenung hingga berhari-hari, “Apa yang salah dengan orang-orang kita?”
Mind you, para shoppers indie ini bukanlah yang berkulit kuning dan bermata sipit saja – malah lebih banyak yang berkulit matang. Bukan saja, the so called “non-pri”, tetapi juga mereka yang berada dalam kelas “pri”. Non-Pri dan Pri – ah, kalau sudah bejat, ya sama-sama bejatnya. Maaf!
Kunjungan saya ke Orange County, masih dalam wilayah Greater Los Angeles – lebih menyakitkan lagi. Banyak pemilik rumah disana berasal dari Indonesia, bahkan dari kota-kota yang tidak terlalu besar, seperti Semarang…. Harga Rumah? Jutaan dollar. Dan, banyak sekali diantara rumah-rumah itu yang tidak dihuni, bahkan tidak disewakan. Dibiarkan kosong saja. Rumah-rumah itu milik orang-orang kita. Diantaranya ada pula yang saya kenal.
Lantas adakah sumbangan mereka terhadap ngeri kita sendiri? Hampir tidak ada. Negeriku malang, negeriku sayang – kau tidak membutuhkan penjarah asing. Kau dijarah oleh wargamu sendiri. Dan, hasil jarahan itu dibawa keluar. Digunakan untuk memperkaya negeri orang. Ah, ah, ah…..
Seorang mahasiswi yang telah memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya menyindir saya: “Negeri yang mana? Di negeri itu, saya dianggap warga negara kelas dua. Walau sudah tiga generasi disana, saya masih tetap Cina. Dari pengurusan KTP hingga Paspor – masih terjadi diskriminasi. Cinta seperti apa yang Anda harapkan terhadap negeri seperti itu?”
Betul juga.
“Keluhanmu betul, Neng…..,” kebetulan ia berasal dari Bandung, “tetapi, apakah kau tidak merasa tertantang untuk merubah keadaan itu?”
“Buang energi…. untuk apa?
Disini saya tidak perlu merubah apa-apa. Keadaan sudah cukup conducive untuk berkarya.” jawab dia sederhana.
Kesederhanaan memang bagus, baik, dan acap kali sangat commendable. Namun, dalam hal ini, kesederhanaan itu sangat merugikan, mencelakakan.
Kesan dan Pesan Pertama dari Negeri Paman Sam: Keberagaman adalah Energi, Kekuatan. Kebersamaan adalah Energi, Kekuatan. Persatuan adalah Energi, Kekuatan. Hari ini, bila negeriku lemah, miskin, sengsara – maka kelemahan itu, kemiskinan itu, kesengsaraan itu tidaklah disebabkan oleh orang lain. Tetapi oleh diri kita sendiri. Ketidakpercayaan kita terhadap Nilai Keberagaman; Tidak adanya Kebersamaan; dan, Kurangnya Persatuan – telah melemahkan kita, memiskinkan kita, menyengsarakan kita.
Bangkitlah Negeriku, Bangkitlah Jiwamu dan Ragamu – demi Keberagaman, demi Kebhinekaan, demi Kebersamaan, demi Nilai Gotong-Royong, dan demi Persatuan nan Indah dan Menyejukkan….. Ibu Pertiwi menuntut kebangkitan kita semua, kebangkitan jiwa kita, ruh kita – sekarang dan saat ini juga!