Masih Belum Terlambat
Radar Bali, Senin 29 Oktober 2007
Ya, masih belum terlambat walau tanda-tanda kehancuran sudah di depan mata. Namun, tanda-tanda itu seperti apa? Bagaimana pula membaca tanda-tanda tersebut? Apakah kemiskinan merupakan salah satu tanda sebagaimana dipercayai oleh para ahli ekonomi? Bagaimana dengan pendapat para agamawaman yang menganggap kemaksiatan sebagai tanda utama?
Kurang lebih lima ribu tahun yang lalu, Sri Krishna menjelaskan kepada Arjuna, “Ketika Dharma hendak sirna dan Adharma merajalela…….” Menurut Krishna, inilah dua tanda utama.
Dharma Hendak Sirna…. Belum sirna, belum sepenuhnya sirna, tetapi sudah menuju kesirnaan. Dharma – dalam bahasa lain barangkali disebut Syariat. Dharma adalah Pedoman Perilaku – Tulang Punggung Masyarakat. Tegaknya masyarakat tergantung pada Dharma, pada Pedoman Perilaku.
Namun, Pedoman Perilaku seperti apa? Siapa yang menentukan sehingga suatu perilaku bisa dijadikan Pedoman? Dalam Epos Besar Mahabharata, Satria Bhishma menjelaskan bahwa “segala sesuatu yang mengutuhkan dan mempersatukan itulah Dharma” – Itulah perilaku yang hendaknya menjadi Pedoman.
Sehingga, menurut Bhishma, perilaku yang tidak mengutuhkan dan mempersatukan – bukanlah Dharma. Kemudian, perilaku seperti itulah yang disebut Adharma.
Hmmm, sekarang kita tinggalkan Medan perang Kurukshetra di anak benua India, dimana Krishna, Arjuna, Bhishma dan para satria lain sedang berlaga – dan kembali ke negeri kita sendiri….
Salah satu partai menawarkan solusi yang menurut seorang petinggi partai tersebut dapat menguntungkan, yaitu pembentukan “Liga Nasional”. Dalam liga ini, partai-partai yang berwawasan kebangsaan diharapkan “bersatu”.
Saya berusaha untuk mengadakan dialog imajiner dengan Kakek Bhishma, “Kek, bagaimana pendapat kakek tentang Liga Nasional? Apakah sudah bisa disebut upaya yang berlandaskan Dharma?”
Kakek Bhishma tersenyum, “Nak, memang sulit sekali untuk membedakan Dharma dari Adharma. Apa yang menjadi tujuan dibalik Liga Nasional itu? Persatuan Nasional atau sekedar Memenangkan Pemilu 2009?”
Bagaimana bung, tolong jelaskan apa maksudmu?
Tetapi, barangkali tidak perlu kau jelaskan. Maksudmu terbaca langsung oleh partai-partai lain. Maka, partai yang sama-sama mengharapkan “rejeki pemilu” langsung menerimanya. Ada pula yang langsung menolak karena enggan berbagi rejeki. Ada yang masih membisu – dalam bahasa hukum masih “pikir-pikir”.
Niatmu, Bung…. Niat kita semua….. Bila niat itu tidak dikoreksi, maka apa pun yang kita lakukan sia-sia saja.
“Mengoreksi” atau “Memperbaiki Niat” – inilah yang dibutuhkan oleh para politisi kita, oleh kita semua. Selama “niat” kita belum beres, maka kepemimpinan kita pun tak akan beres. Dan, keadaan negeri ikut tidak beres.
Masih lebih dari 18 bulan menuju pemilu tahun 2009, namun para petinggi kita, para pejabat kita sudah sibuk membicarakan pemilu melulu. Safari keliling negeri pun dimanfaatkan untuk berkampanye. Dengan niat seperti itu, apa yang dapat diharapkan dari mereka?
Bersatulah partai-partai yang “sadar” dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas segalanya. Bersatulah putra-putri bangsa yang bertekad bulat, yang berniat untuk melayani rakyat. Persatuan antara mereka yang hanya memikirkan pemilu dan menganggap kemenangan sebagai “rejeki” – jelas bukanlah Dharma. Bukanlah Perilaku yang dapat menjadi Pedoman.
Partai-partai yang sadar dan sepenuhnya tunduk pada Sang Saka Merah Putih; partai-partai yang tidak sekedar menerima “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan, tetapi senantiasa berupaya untuk memperjuangkan, menegakkan dan merayakan Kebhinekaan dan Keberagaman; partai-partai yang sudah tidak mempersoalkan Dasar Negara dan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang sudah disepakati oleh seluruh bangsa pada tahun 1945; partai-partai yang sudah tidak memiliki agenda terbuka maupun terselubung untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta; partai-partai yang secara tegas dan jelas menolak peraturan-peraturan daerah yang bersifat diskriminatif dan/atau berkiblat pada akidah agama tertentu, entah itu Syariat/Fiqh/Qanun Islam, Nasrani, Buddhis, Hindu, Konghucu, apa saja – partai-partai inilah yang hendaknya “Bersatu”.
Bersatu bukan untuk memenangkan Pemilu, tetapi dengan tujuan yang jelas yaitu untuk Melayani Bangsa dan Negara. Untuk Menjunjung Tinggi dan Senantiasa Mengupayakan Persatuan seluruh Bangsa Indonesia.
Kemudian, Partai-Partai yang Bersatu ini, mesti menjelaskan kepada partai-partai lain yang masih memiliki agenda-agenda terselubung untuk bersikap lebih sadar, lebih bijak. Cobalah memikirkan nasib seluruh bangsa dan negara.
Memang banyak kekuatan-kekuatan asing yang secara langsung maupun tidak langsung sedang berusaha untuk memecah-belah kita. Mereka tidak hanya membantu pihak-pihak yang sementara ini kita anggap “nasionalis”, tetapi juga pihak-pihak yang kita anggap “agamis”. Bila kaum nasionalis dibantu dengan tangan kanan, maka kaum agamis dibantu dengan tangan kiri. Padahal kedua tangan tersebut milik orang yang sama. Ada yang berdasi dan berjas, ada yang berjubah. Ada yang memakai jas dan dasi dibawah jubahnya, ada yang menggunakan jubah sekedar untuk membingungkan kita.
All said and done, “Liga Nasional” adalah wacana yang baik, dengan catatan “Niat” dibalik wacana itu mesti baik juga. Bung, ingatlah jati dirimu sebagai Orang Melayu – salah satu ras asli di kepulauan ini. Bangkitlah dengan kesadaranmu sebagai Orang Indonesia. Berhentilah berdagang dan memikirkan untung-rugi melulu. Isilah sisa hidupmu dengan “niat” dan “pikiran” yang baik.
Diatas segalanya, mengikuti nasihat Nabi Isa, berdamailah terlebih dahulu dengan saudara-saudaramu yang telah berpisah karena satu atau lain hal. Bersatulah dengan mereka, perbaikilah niatmu, maka Insya Allah, tak ada kekuatan yang dapat menghalangi keberhasilanmu dalam agenda nasional yang lebih besar. Semoga, aku berdoa……..