Material dan Immaterial (Bagian 1)
Anand Krishna*
(Radar Bali, Rabu 23 September 2009)
Saya ingat pernah membaca Rudyard Kipling (1865-1936) saat saya masih duduk di bangku SMP: “Timur ialah Timur, dan Barat ialah Barat, dan kembaran tersebut tak akan pernah bisa bertemu.”Saya harus mengakui bahwa sampai saat itu, saya belum pernah melihat banyak tentang Timur, ataupun Barat. Oleh sebab itu, saya tak memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang ia maksudkan.
Bertahun-tahun kemudian ketika saya mulai berpergian, bertemu dengan beragam orang yang berbeda dan melakukan bisnis dengan mereka, saya menyadari bahwa ada kebenaran dalam apa yang dikatakan penulis besar tersebut. Kurang dari 50 tahun setelah kematian Kipling, saya baru menyadari bahwa Timur tetaplah Timur, dan Barat tetaplah Barat. Tapi kembaran tersebut dapat bertemu. Kemungkinan perjumpaan sangat mungkin di sana. Kita dapat bersua di atas landasan yang sama.
Hari ini, pertemuan itu tak hanya mendesak, tapi juga imperatif. Saya melihat Timur sebagai tempat penyimpan kebijaksanaan luhur, yang masih begitu relevan; dan Barat sebagai pelopor dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Seorang Timur yang bijaksana tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi modern akan menjadi tumpul dan tak berdaya. Ia tak memiliki dinamisme, tak ada semangat hidup. Di sisi lain, seorang ilmuwan Barat tanpa kebijaksanaan menjadi serakah dan arogan, Ia kehilangan kemanusiaan dan moralitasnya. Timur dan Barat harus bertemu. Mereka harus.
Saya berdiskusi tentang hal ini dengan seorang teman cendekiawan di pulau ini, saat ia mengacu pada konsep Bali yang amat kuno yakni Sekala/Niskala. Ini merupakan istilah yang begitu populer, sering diterjemahkan sebagai Material/Immaterial, Lahir/Batin, Duniawi/Spiritual atau Di Sini/Di Sana.
Sekala/Niskala, kendatai demikian, memiliki beberapa makna yang lebih dalam. Pertama, ini bukan konsep sekedar filosofis, tapi lebih merupakan sebuah pedoman untuk hidup. Secara literal, sekala ialah “di dalam waktu” dan niskala ialah “melampaui waktu.”
Sekala itu abadi, nilai universal kemanusiaan – keberlanjutan. Niskala ialah modernitas, perkembangan, pertumbuhan dan kemajuan – perubahan. Sekala ialah layar yang tetap di mana gambar-gambar yang bergerak niskala diproyeksikan.
Ini bisa jadi salah, sayangnya banyak yang melakukannya, sekedar membatasi sekala sebagai pasar dunia, dan niskala ialah tempat ibadah. Kesalahan yang lebih fatal ialah mengasosiasikan ritual-ritual agama dan bentuk luaran ibadah saja dengan niskala, dan semua kegiatan “dunia” lainnya dengan sekala.
Ironisnya, ini kasus yang terjadi hari ini. Kita telah, sesungguhnya, telah bergerak setapak lebih jauh dengan mempertimbangkan tindakan ibadah “”niskala” atau ritual agama itu memiliki kemampuan untuk menghapuskan semua kesalahan “sekala”.
Dalam ketidaktahuan kita, sekarang kita mempercayai bahwa kita dapat melakukan kejahatan – membohongi, melukai, melukai, menciderai atau bahkan membunuh – dan selalu ada sebuah ritual untuk menyelamatkan kita dari hukuman di sini dan kelak.
Kita secara keliru mempercayai bahwa kita dapat menafikan semua tindakan salah yang kita perbuat. Karena semua kesalahan tersebut dilakukan di alam sekala, sedangkan ritual agama menjadi milik alam niskala. Dan karena niskala lebih tinggi dari sekala, sebuah tindakan niskala dapat membatalkan seluruh, atau setidaknya beberapa, tindakan keliru dalam sekala.
Ini benar-benar salah, dan persepsi yang sangat berbahaya. Cara pandang ini harus dikoreksi.
Kita telah melihat pengerusakan yang dilakukan pada Bali dan masyarakat Bali oleh karena cara pandang semacam itu. Seorang investor datang dengan satu tas penuh uang dan menunjukkan minatnya dalam “memanfaatkan lebih baik lagi area yang tak terpakai.” Bukan area yang tak terpakai”, daerah itu memiliki manfaat sebagai hutan konservasi.
Jadi ia menghadap Menteri Kehutanan dan mendapat ijin khusus untuk mengeksplore daerah itu untuk tujuan komersial. “Bukan, ini bukan komersial sepenuhnya. Pertimbangkan berapa banyak lapangan kerja yang diciptakan. Lihat keseriusan kita dan upaya kita untuk mempercantik Bali.”
Untuk mempercantik Bali? Tapi kita pikir Bali sudah dari dulu cantik. Kita datang dengan alasan lainnya, yang lebih valid. Ada area yang dilihat “suci. ” Ini area niskala. Sayangnya, kita mengirim sinyal yang keliru.
Investor itu mendapat petunjuk. Strategi selanjutnya ialah mengumpulkan beberapa pendeta dan komunitas pemuka masyarakat, “Pasti ada jalan keluar. Kamu manusia Tuhan, dan orang terbaik di antara yang lainnya. Kamu tahu apa itu agama, apa itu tradisi dan apa itu nilia-nilai budaya. Bila kesucian tempat ini terganggu, kamu tahu bagaimana untuk mengatasinya dengan ritual dan perayaan agama tertentu.
Ada satu contoh bagaimana kita telah jatuh pada jebakan yang diciptakan karena kebodohan kita. Ada banyak contoh lainnya. Bukan hanya mengubah rumah tradisional dan sawah menjadi resort, restoran dan spa; bahkan desa kita pun telah diganti lapangan golf.
Seorang agen dari pulau lain mengatakan pada pembeli potensialnya: Semua bisa diatur di sini. Saya tahu Bali dan masyarakat Bali lebih dari mereka tahu diri mereka sendiri. Dan saya tahu agama mereka. Saya tahu kebiasaan mereka. Katakan saja tanah bagian mana yang kamu inginkan dan saya akan mendapatkannya untuk kamu.” Semudah itu.
Seseorang bisa membahayakan ekosistem dan menghancurkan segalnya. Tak maslah. Cukup membangun sebuah kuil bersamaan dengan hotel mewahmu. Panggil pendeta setempat, suruh dia mengurus kuil teresebut – dan bingo! Kamu aman.
Hotelmu barangkali kesalahan sekala yang besar sekali, “tapi kamu lihat keduniawian ialah, di atas segalanya, sekedar duniawi. Satu tindakan niskala dapat mengembalikan segalanya.”
Sekala dan Niskala. Material dan Immaterial. “Anda lihat, “immaterial” memiliki dua makna: “non matter,” seperti pada kata “tak masalah.” Oleh sebab itu kita memakai makna yang kedua.”
Kata-kata itu sering disalahpahami, atau artinya sengaja dipelintir untuk menyesuaikannya dengan kepentingan seseorang. Saya mencoba membayangkan Bali pada tahun 1970-an. Bali dulu, dan Bali kini. Ada dua wajah yang berbeda dari Bali.
Banyak pendatang dari luar negri yang tetap terkagum-kagum dengan kecantikan Bali. Mereka tak bisa berkata-kata. Ya, Bali tetaplah cantik. Tapi keperawanannya telah lenyap. Kesederhanaannya, kewarasannya, kemurniannya dan kepolosannya telah sirna. Itu menjadi milik Bali sebelum tahun 1970.
Telah dikatakan bahwa, saya harus menambahkan bahwa tak semuanya lenyap. Bali belum kehilangan segalanya. Dia telah kehilangan jiwanya. Ini harus diselamatkan. Karena kalau Bali kehilangan jiwanya, ia kelilangan segalanya. Kemudian bali menjadi tak hidup lagi.
Sekala dan Niskala, keduanya sama-sama penting. Sebuah tubuh tanpa jiwa tidaklah berharga. Dan jiwa tanpa badan tak bisa mengungkapkan dirinya. Jadi pengrusakan terhadap tubuh ialah juga pengrusakan terhadap jiwa, pada potensinya untuk mengungkapkan dirinya.
Saya merasa sangat sangat sulit membayangkan Bali penuh dengan mal-mal, bangunan apartemen dan bangunan bertingkat tinggi lainnya. Apa kita membutuhkannya? kita telah memiliki banyak bangunan seperti itu di pulau lain di kepulauan ini. Dapatkan kita mempunyai Bali dengan kecantikan alamnya, dan tanpa kosmetik?
Kembali dengan teman cendikiawan saya yang kami berdiskusi tentang hal ini, pemahamannya tentang Sekala/Niskala tak berbeda dengan sebagian besar dari kita orang Timur: “Barat itu materialistik; Timur yang spiritual. Baratlah yang menyebabkan landasan spiritual kita berantakan.”
Tidak, Pak. Saya tidak setuju. Tapi lebih lanjut tentang ini minggu depan.
* Artikel ini pertama kali di muat di The Bali Times dalam bahasa Inggeris.
Penulis ialah seorang aktivis spiritual dan pengarang lebih dari 120 buku. Untuk lebih tahu tentang aktivitasnya di Bali, silakan menghubungi Padma +62 818-0530-8808, atau kunjungi www.aumkar.org dan www.anandkrishna.org