Tantangan bagi Bali
Anand Krishna*
(Radar Bali, Rabu 16 September 2009)
Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika menyampaikan bila sekitar 90,000 masyarakat Bali menderita depresi. Beliau juga menjelaskan sebab utamanya, yaitu konflik antara modernitas dan nilai-nilai tradisional atau adat.
Banyak teman di Bali, termasuk beberapa cendekiawan yang saya temui, menganggap bila angka yang disebut itu berkelebihan. Sesungguhnya tidak, malah menurut saya angka yang itu sangat konservatif.
Jumlah yang disebut oleh beliau, Gubernur Bali, adalah jumlah kasus yang terdeteksi. Mereka yang berobat pada dokter ahli, atau setidaknya memperoleh bantuan lain, medis maupun non-medis.
Fenomena ini adalah fenomena universal. Belasan tahun yang lalu, saya pernah diwawancara oleh salah satu koran di Singapura tentang hal yang sama. Saat itu, diperkirakan 1 diantara 10 warga Singapura mengalami depresi ringan/berat, bahkan gangguan jiwa. Saya diminta untuk berkomentar tentang Indonesia. Berdasarkan pengalaman saya di lapangan sebagai fasilitator meditasi, saya mengatakan bila di Indonesia situasinya lebih parah, “barangkali 2 atau 3 diantara 10 orang.”
Pulang ke Indonesia, seorang pejabat menegur saya, “Apa-apaan, Anda menjelekkan nama bangsa.” Saya terpaksa diam, karena saat itu “buka mulut” masih menjadi tabu – apalagi berdebat dengan seorang pejabat.
Tidak lama kemudian, salah satu koran nasional menurunkan berita yang tidak hanya membenarkan apa yang saya sampaikan, malah mengoreksi saya. Ternyata bukan 2 atau 3, tapi minimal 4 diantara 10 orang yang menderita depresi berat/ringan atau gangguan jiwa lainnya. Itu merupakan hasil poling di kota-kota besar, antara lain (seingat saya) Jakarta, Surabaya, dan Medan. Denpasar belum masuk perhitungan. Sekarang, sudah ada kemajuan. Bukan Denpasar lagi, tapi Bali sudah masuk daftar.
Berbagai macam keadaan yang kita hadapi dalam keseharian hidup menciptakan kegelisahan, kekhawatiran, ketidakpastian, kekecewaan – dalam bahasa medis depresi, anxietas, stress dan lain sebagainya – alhasil, penyakit, gangguan jiwa.
Seorang penderita gangguan jiwa bukanlah orang gila. Ia tidak perlu dirawat di rumah sakit khusus. Ia bisa berobat jalan, tergantung pada tingkat gangguan yang dialaminya.
Di negeri lain, para psikolog dan psikiater sudah mulai menggunakan meditasi dan yoga, sebagai terapi yang dianggap paling aman, karena tidak menimbulkan efek samping.
Di negeri kita, khususnya di luar Bali, masih banyak psikolog dan psikiater yang terkondisi oleh pemahaman sempit tentang agama, maka meditasi dan yoga pun ditolak atas nama agama.
Tapi, itu cerita lain, barangkali kita akan bahas pada kesempatan yang lain. Untuk saat ini, kita melihat dulu apa yang menyebabkan orang Bali menderita depresi berat dan ringan seperti yang disampaikan oleh Gubernur Bali. Apa yang terjadi dengan orang Bali?
“Two Lovely Flowers, One is Red, the Other is White,” mana yang harus kupilih? Bunga yang berwarna merah atau putih, padahal dua-duanya indah. Sama-sama cantik. Mana yang mesti kudahulukan, modernitas atau tradisi? Pertanyaan seperti ini saja sudah cukup untuk menimbulkan stress di dalam diri kita. Apalagi ketika kita mesti menghadapi keduanya dalam kehidupan nyata, realtime.
Pertanyaan yang sering muncul: Bagaimana sikap kita? Dengan cara apa kita mesti menghadapi kenyataan modernitas “tanpa meninggalkan tradisi”?
Inilah sumber persoalan kita. Pertanyaan kita sudah salah, keliru, “Dengan cara apa kita mesti menghadapi kenyataan modernitas ‘tanpa meninggalkan tradisi’?” Adakah setiap tradisi itu perlu dilestarikan dan diikuti sepanjang zaman? Tidak.
Tidak setiap tradisi itu luhur adanya, dan oleh karenanya tidak semuanya mesti dilestarikan. Saya sudah membahas hal ini berulang kali, tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan atau “adat” dalam bahasa Arab yang bersumber dari bahasa Persia kuno.
Budaya adalah tradisi-tradisi, kebiasaan-kebiasaan yang unggul, yang memiliki nilai universal. Jadi, bukanlah setiap tradisi, atau adat itu bisa dianggap sebagai budaya.
Persoalan besar yang dihadapi oleh Bali saat ini – dan ini sekaligus menjadi tantangan bagi kita semua – adakah keberanian di dalam diri kita untuk merubah paradigma lama seolah semua kebiasaan, tradisi, atau adat luhur adanya “karena sejak dulu sudah memang demikian”.
Bila kita di Bali memahami hal ini, kemudian mempelajari sedikit tentang latar belakang historis budaya Hindu – maka semestinya kita tidak mengalami konflik batin yang menyebabkan stress, depresi, gangguan jiwa, dan penyakit-penyakit lainnya.
Sudah berapa kali budaya Hindu mengalami pembaruan dan revitalisasi? Tidak ada satu pun budaya di seluruh dunia ini yang dapat menerima semua nabi, semua buddha, semua mesias, semua avatar, semua wali, semua orang suci sebagai “manusia Allah”, Godmen. Agama Hindu yang kemudian lahir dari budaya luhur Hindu, Shintu, Sindhu, Indus, Indies, India, Indo, atau apa pun sebutannya – adalah agama tanpa batas, tanpa beban psikologis apa pun, dan tidak berada dalam kotak sempit buatan manusia, atau buatan salah satu lembaga yang didirikan oleh manusia.
Siddhartha Gautama, seorang pembaharu yang lahir 2500 tahun yang lalu dan lebih mementingkan kesucian diri dari pada kesucian kitab dan tradisi – kita terima dengan tangan, hati, dan pikiran yang terbuka.
Pun pemikiran revolusioner Shankara, yang menjadi cikal bakal filsafat Hindu, kita terima sebagai angin segar.
Dari Shankara yang lahir seribu tahun yang lalu, kemudian kita berjumpa dengan Sri Ramakrishna dan Swami Vivekananda – hanya dua abad yang lalu. Bersama mereka kita belajar untuk tidak membenci kaum penjajah dan kepercayaan mereka. Bersama mereka kita belajar untuk menghormati semua agama dan semua nabi.
Bila kita memperhatikan, sejak “turun”-nya ajaran Veda – yang kemudian 5000 tahun yang lalu baru dikumpulkan oleh Begawan Abiyasa – Hindu sudah mengalami perubahan paradigma berulang kali. Dari zaman ke zaman. Itu sebabnya Hindu tidak pernah mati. Ia tetap hidup. Ia tidak mengalami nasib budaya Mesir atau Persia kuno yang sesungguhnya sama-sama luhur, tetapi karena tidak mengalami pembaharuan, maka mati.
Budaya Hindu adalah Budaya Indo, Budaya Indonesia, Budaya Nusantara. Dan, budaya kita tidak pernah menolak modernitas, juga tidak pernah mempertentangkan perubahan paradigma, no matter how radical, betapa pun revolusionernya perubahan itu.
Budaya kita menempatkan akal sehat, rasio, viveka, buddhi, sebagai alat atau tools untuk menemukan keilahian di dalam diri setiap makhluk. Gayatri yang diucapkan oleh setiap anak Hindu bukanlah doa untuk meminta materi atau rejeki, tetapi untuk memohon pencerahan supaya ia dapat memutuskan “tindakan mana yang tepat, dan mana yang tidak tepat”.
Modernitas dan tradisi tidak perlu berhadapan sebagai lawan. Tradisi-tradisi kuno yang saat ini kita sakralkan, sesungguhnya adalah sesuatu yang modern di zaman itu. Sekarang ada yang sudah usang, kadaluarsa, tidak relevan, tidak berguna. Kita mesti meninggalkannya. Sementara itu tradisi-tradisi luhur akan selalu hidup dan menjadi bagian dari budaya.
Bali tidak perlu sakit, karena Bali sesungguhnya memiliki potensi untuk menghadapi segala macam tantangan. Kita lanjutkan lagi lain kali…..
*Aktivis Spiritual, penulis 130an buku (www.aumkar.org, www.anandkrishna.org). Pendiri Pusat Kesehatan Holistik & Meditasi Anand Ashram. Untuk mengetahui lebih banyak tentang kegiatan di Bali, silakan menghubungi Padma +62 818-0530-8808