Nilai Sejati dari “ARTHA”
Anand Krishna*
(Radar Bali, Rabu 21 Oktober 2009)
Bagi masyarakat di kepulauan ini, di mana Bali menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya, artha, “kekayaan” atau “uang” bukanlah tujuan akhir, tapi sarana untuk mencapai kesejahteraan total. Dan kesejahteraan total bukan sekedar kesejahteraan ekonomi, tapi juga keamanan sosial. Di atas segalanya, artha ialah sesuatu yang memberi makna bagi kehidupan seseorang.
Satu dari teman saya di Singapura memberi nama perusahaannya Cash dan Gold Pte. Ltd. Nah, “cash” dan “gold” dalam bahasa Inggris tak lagi mempunyai arti lain. Cash ya fulus dan gold ya emas. Tapi di sini, svarna artha, walau berarti sama secara harfiah, “emas” dan “uang,” toh bisa memiliki implikasi makna yang berbeda.
Svarna bisa juga berarti kekayaan, kejayaan atau kemuliaan. Emas adalah logam mulia, tapi bisa juga berarti nilai-nilai luhur yang mulia, misalnya kejujuran dan integritas. Bukan hanya materi, karakter pun bisa menjadi sesuatu mulia.
Sama halnya, artha tak hanya berarti uang tunai, Jadi Svarna Artha tak selalu Cash dan Gold, uang tunai dan emas. Svarna Artha dapat juga berarti “rejeki yang mulia”.
Seorang idealis bisa jadi berkata, “Uang bukanlah segalanya.” Tapi bagi seorang yang pragmatis, uang ialah sesuatu yang tanpanya, kau tak dapat hidup.
Salah seorang teman saya, berhati Buddhis, setuju dengan kesimpulan Buddha bahwa hidup ialah penderitaan. Semua ini samsara, pengulangan pengalaman yang berakhir pada dukha, atau penderitaan. “Tapi.” ia menambahkan, “dengan uang, kamu dapat memilih bagaimana kamu menderita. Tanpa uang kamu tak bisa.”
Acapkali, ia berpergian. Ia terbang dengan kelas bisnis, kadang dengan kelas pertama, dan menginap di hotel bintang 5. Ia selalu ditemani oleh minuman keras kualitas teratas. Dimana pun ia berada, tepat pukul 18.00 ia memasuki Jam Cocktail. Dan ia setuju bahwa “Semua ini hanyalah kenyamanan. Mereka tak membuat saya bahagia. Saya tetap merasa menderita. Saya tetap tak menemukan cinta yang saya cari seumur hidup.Tapi setidaknya saya bisa menderita dengan penuh gaya.”
Baik, baik, baik…Ok, kalau itu menyenangkan dirimu, sahabatku.
Tapi bagi leluhur kita di kepulauan ini, kehidupan semacam itu tiada bermakna. Menderita dengan penuh gaya bukanlah definisi mereka tentang kehidupan yang berarti.
Hidup yang berarti ialah hidup yang bahagia. Hidup yang bahagia ialah hidup yang ceria, hidup yang berbobot.
Kekayaan yang tak menambah kebahagiaan dan keceriaanmu tak bernilai sama sekali. Saya harus menekankan kata “menambah” di sini. Kekayaan tak membuat kamu bahagia, tapi ia dapat menambah kebahagianmu. Kekayaan tak selalu membuatmu penuh keceriaan, tapi ia dapat menambah keceriaan dan kepuasan dirimu.
Kebahagiaan sejati berasal dari kepuasan diri saat memperoleh rejeki. Letaknya pada perjuangan dan pergulaan untuk memperoleh dan mendepositokan tabungan pertamamu di bank. Kerja keras untuk memperoleh uang itulah yang membuatmu sadar akan nilai sesungguhnya dari uang, nilai sejati dari kekayaan.
Saya bertemu dengan mereka yang mewarisi puluhan juta dollar dan poundsterling dari orang tua mereka. Mereka tak paham nilai uang. Salah satu teman saya selalu mengeluh tentang putranya, ” Mereka tak menghargai uang, mereka membuang setiap rupiah yang saya berikan untuk bisnis. Gampang dapatnya, gampang hilangnya. Mereka tak bisa menghargai apapun.”
Teman saya ialah manusia yang merangkak dari bawah. Ia memulai karirnya dengan pekerjaan kasar. Sekarang ia seorang multimilioner, bahkan trilyuner. Tapi ia sangat tak bahagia, sering merasa khawatir: “Apa yang akan terjadi pada kerajaanku yang kubangun ini saat aku tak berada di sini? Sayangnya, ia belum belajar dari pengalaman hidupnya. Ia mulai dengan nol, jadi ia menghargai setiap rupiah yang ia dapat. Anaknya mulai dengan jutaan. Mereka tak perlu berkeringat untuk memperoleh uang.Oleh sebab itu, mereka tak paham tentang arti sesungguhnya dari kekayaan.
Dahulu kala, orang membuat sendiri anggur dari buah-buahan. Jadi kita memiliki pepatah di Timur: “Mereka yang bisa membuat anggur tahu arti sesungguhnya dari anggur.” Orang mengkonsumsi anggur – mereka bisa jadi sampai mabuk – tanpa tahu apa sejatinya anggur itu, dan bagaimana ia dibuat.
Saya tak tahu seberapa berartinya pepatah ini bagi mereka yang tak familiar dengan cara berpikir dan pola prilaku orang Timur. Arti di balik pepatah tersebut ialah: “Perjuangan, pergulatan, dan kerja keras untuk memenangkan hidupmu yang membuat kamu menghargai apa yang kamu peroleh.”
Artha tak hanya fokus pada tujuan saja, tapi juga pada cara mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu, disarankan bahwa kita memenangkan hidup kita lewat jalan yang tepat dan sesuai dharma. Kamu dapat kaya, tapi pastikan bahwa kekayaanmu tak berasal dari cara yang tak tepat.
Jangan merampas hak orang lain, jangan curang, jangan menindas. Kita layak bahagia. Kita layak menjalani hidup yang ceria dan nyaman. Tapi mari pastikan bahwa kebahagiaan kita, keceriaan kita dan kenyamanan kita tak menyebabkan orang lain tak bahagia, menderita dan merasa tak nyaman.
Artha juga mengimplikasikan distribusi kekayaan yang sesuai dharma dan tepat. Selama dua milenia, pajak dianggap sebagai cara untuk mendistribusikan kekayaan. Dan penguasa saat itu dipercayai bertanggungjawab untuk memfasilitasi distribusi tersebut.
Pemerintah dinasehati untuk mendidik rakyat tentang nilai distribusi yang adil. Orang kaya dibuat sadar bahwa “tetangga yang miskin ialah tetangga yang cemburu.” Dan bahwa ” pencuri dan perampok ialah produk dari iri dengki dan keserakahan.” Memang tidak selalu demikian. Tak semua tetangga miskin menjadi cemburu dan berubah menjadi pencuri dan perampok. Kendati demikian, nasehat ini bagus. Sebagai peringatan yang berdampak baik atas kekayaan. Dan mereka akan dengan sukarela berbagi sebagian kekayaan mereka, melalui pajak, seperti halnya sumbangan, untuk memastikan kemananan sosial.
Dharma dan artha dan kebajikan dan kekayaan tak bisa dipisahkan.
Mereka seperti kedua kaki kita. Dengan hanya satu kaki, kita menjadi pincang. Jadi keduanya sama-sama penting. Mereka yang berkothbah tentang kebajikan tapi tergantung pada sumbangan dan “keamanan sosial” bagi hidup mereka, mereka tak memenuhi tujuan kehidupan. Mereka tak memahami arti sesungguhnya dan implikasi dari purushartha, struktur kehidupan manusia.
Jadi artha bukan hanya kekayaan, uang, dollar, euro dan yen, tapi juga kemananan sosial, keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Saya teringat bait puisi terkenal dari WS Rendra yang meninggal beberapa waktu lalu. Ia berkata: (Karena tujuan ekonomis) kecantikan dan alam Bali, keduanya direduksi menjadi sekedar atraksi turis…Pesawat jet siap mendarat di sini, mereka harus mempunyai bisnis dan Bali harus seatraktif mungkin sehingga dapat memikat mereka. Kesenian Bali dan budayanya harus dibungkus seatraktif mungkin sehingga mereka layak jual…Dan bila masyarakat asli Bali miskin, biarkan mereka tetap seperti itu. Kemiskinan mereka menjadi bisnis bagi lembaga seperti Bank Dunia, yang selalu siap menginvestasikan dan membuat uang.”
Sesuatu yang patut kita renungkan bersama!
* Penulis adalah aktivis spiritual, dan telah menulis lebih dari 130 buku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatannya di Bali, silahkan menghubungi Padma +62 818-0530-8808, atau kunjungi www.aumkar.org, www.anandkrishna.org (Tulisan ini pertama kali dimuat di The Bali Times, diterjemahkan oleh Nugroho Angkasa).