PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Anand Krishna
Sarad Edisi Bulan Juni 2007
Seorang bijak berkata: “Janganlah menggurui orang lain, jika belum mampu menggurui diri.” Ada yang menambahkan:
“Janganlah berusaha untuk merubah orang lain, rubahlah dirimu terlebih dahulu!”
Betul????? Betuuuuuuuuuullllll.
Lalu, bagaimana dengan seorang ayah yang tidak mampu melepaskan kebiasaan merokok walau tahu persis bila rokok itu berbahaya bagi kesehatannya. Apakah ia tidak boleh menasehati anak-anaknya supaya mereka tidak merokok?
Seorang ibu menghadap Mahatma Gandhi di padepokan beliau. Ia mengajak anaknya yang suka sekali makan gula, hingga giginya rusak semua. Ia mengharapkan Sang Mahatma dapat menasihati anaknya supaya berhenti makan gula.
Mahatma Gandhi merenung sebentar, kemudian menyuruh ibu itu untuk datang kembali keesokan harinya. Baik, ibu itu pulang dan keesokan harinya kembali ke padepokan Mahatma bersama anaknya yang “bermasalah”. Maka, Sang Mahatma pun menasihati anak itu untuk berhenti makan gula.
Ibu itu memberanikan diri untuk bertama, “Bapu (Ayah), maafkan diriku yang bodoh. Dan, aku pun berterima kasih karena Bapu sudah menasihati anakku. Namun, kenapa tidak kemarin saja?”
Bapu menjelaskan, “Terus terang aku pun memiliki kebiasaan makan gula merah. Maka, sebelum menasihati anakmu, aku bereksperimen dengan diriku sendiri. Apakah aku bisa berhenti makan gula. Untuk itu aku membutuhkan waktu satu hari. Ternyata bisa.”
Mahatma Gandhi, Bapu, Bapak Bangsa India – beliau memang selalu bereksperimen dengan dirinya. Otobiografinya pun diberi judul, “Kisah Eksperimen-Eksperimenku dengan Kebenaran” – The Story of My Experiments with Truth.
Sikap Bapu memang patut diteladani. Namun, apa yang harus dilakukan oleh seorang ayah atau ibu yang ternyata tidak mampu melepaskan gula – walau tahu persis akan bahayanya terhadap kesehatan. Apakah ia mesti membiarkan anaknya meneruskan kebiasaannya yang buruk itu? Apakah ia tidak boleh menasihatinya?
Terkait dengan Pendidikan dalam Keluarga, masih segudang perkara lain yang perlu direnungkan. Putra sulung Sang Mahatma sendiri tidak memiliki kesadaran ayahnya. Ketika jasad Bapu akan diperabukan, ia datang terlambat di tempat perabuan dan dalam keadaan mabuk pula. Lalu, gagalkah Sang Mahatma, Bapak Bangsa India dan Ikon Kedamaian Dunia itu boleh dikatakan “gagal” mendidik anaknya sendiri?
Pun kita masih ingat dengan kisah raksasa Hiranyakashipu yang kejam. Prahlad, anak raksasa itu, sama sekali tidak mewarisi kekejaman ayahnya.
Selama pemerintahan orde-baru kita mampu menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak kita. Kurikulum pendidikan bole dikata masih oke. Pelajaran agama diwajibkan. Semuanya rapi. Tetapi, kita tidak berhasil melahirkan seorang pemikir seperti Soekarno, seorang perenung seperti Alisyahbana, sejarawan seperti Yamin dan Pane, dan negarawan seperti Hatta, Syahrir, Roeslan dan lain-lain.
Keadaan kita saat ini: Politisi kita gemuk-gemuk. Penampilan mereka oke. Pakaian mereka rapi. Jiwa mereka kosong. Siapa yang mesti disalahkan? Keluarga mereka? Orangtua mereka?
Bagaimana pula dengan para pahlawan bangsa yang beberapa diantaranya telah saya sebut diatas – adakah putra-putri mereka sekaliber dengan mereka? Maaf.
Pendidikan dalam Keluarga, menurut saya, adalah salah satu aspek dari Pendidikan. Salah satu saja. Dan, aspek yang satu ini tidak bisa berdiri sendiri. Pendidikan tidak bisa berdiri diatas satu kaki saja.
Pendidikan harus berdiri diatas Empat Kaki. Kaki Pertama adalah Pendidikan yang diperoleh dalam Keluarga. Dan, keluarga bukan saja kedua orang tua. Keluarga juga termasuk pembantu rumah tangga, saudara, sepupu, atau siapa saja yang tinggal dalam satu rumah, dibawah satu atap. Ini adalah Keluarga Utama.
Kaki Kedua adalah Pendidikan yang diperoleh dari Lingkungan dimana seorang anak dibesarkan. Keluarga dekat yang tidak serumah, misalnya kakek dan nenek, adalah bagian utama dari lingkungan. Tetangga adalah bagian dari lingkungan. Sahabat kedua orang tua adalah bagian dari lingkungan. Masyarakat adalah Lingkungan. Pergaulan seorang anak adalah interaksi dengan lingkungan. Pengertian Lingkungan memang luas sekali.
Kaki Ketiga adalah Pendidikan di Sekolah. Dan, terakhir, Kaki Keempat adalah Pengalaman Hidup. Kita semua mesti belajar dari setiap kegagalan dan keberhasilan kita dalam hidup ini, dari setiap pengalaman dalam hidup.
Keempat-empatnya saat ini berada dalam keadaan lemah. Keempat-empat kaki pendidikan ini tengah mengalami pengapuran, radang persendian, luka. Keempat-empatnya mesti diobati.
Namun, dari manakah kita harus memulai terapi kita? Dari keluarga. Karena, itulah “yang ada di tangan” kita. Bersihkan rumahmu dari gambar-gambar atau poster-poster yang tidak mendidik. Dari benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang tidak sekedar menyamankan tubuh, tetapi memanjakannya.
Misalnya, satu pesawat teve sudah cukup untuk satu keluarga. Kenapa harus memiliki lebih dari satu? Dengan adanya satu pesawat teve dalam rumah, masing-masing anggota keluarga akan belajar Seni Mengalah dan Mengapresiasi Keinginan Anggota yang lain.
Janganlah membiarkan anak-anakmu tenggelam dalam play-station dan permainan lain sejenis. Itu membuat anak-anakmu menjadi tertutup, dan mematikan imajinasinya, kreatifitasnya. Kembalikan kebiasaan membaca dalam rumah. Sebagian dari penghasilanmu harus dianggarkan untuk membeli buku setiap bulan. Buku untuk ibu, untuk ayah, untuk anak, untuk setiap orang dalam keluarga.
Kebiasaan memulai dan mengakhiri liburan di Mal sama sekali tidak menunjang perkembangan jiwa anak-anak kita. Ajak mereka untuk menyaksikan pertunjukan seni, bermain-main di lapangan terbuka. Kapan terakhir kalinya kita sendiri mengunjungi Museum atau Kebun Binatang?
Kaki Pertama, Kaki Keluarga ini harus disembuhkan terlebih dahulu. Setelah itu, baru Kaki Kedua, Kaki Lingkungan. Setelah keduanya sembuh, sembuhkan Kaki Ketiga dengan merombak seluruh sistem pendidikan nasional kita, desaklah pemerintah untuk mnembebaskan pendidikan di sekolah dari mata pelajaran agama yang mengkotakkan manusia. Adalah nilai-nilai luhur keagamaan atau budi pekerti yang semestinya diajarkan di sekolah. Kemudian, pelajaran budi pekerti itulah yang semestinya mendasari dan mewarnai setiap mata pelajaran.
Jika tiga kaki ini sudah sembuh, maka dengan sendirinya Kaki Keempat menjadi sembuh. Dengan sendirinya seorang anak dapat memetik hikmah dari setiap pengalaman hidupnya. Dengan sendirinya ia memperoleh kesadaran untuk membaca apa yang tersirat.
Kita semua harus bekerja keras untuk merubah sistem pendidikan kita. But, first thing first – mulailah dari keluarga. Idealnya memang seorang ayah perokok berhenti merokok dulu kemudian menasihati anaknya. Tetapi, jika masih belum bisa – maka sembari mengupayakan hal itu terhadap dirimu, tetaplah wajib bagimu untuk menasihati anakmu. Beritahu kepadanya, “Lihat betapa susahnya bagi ayah untuk berhenti merokok, ayah sudah kecanduan. Padahal, ayah tahu persis tentang dampaknya yang sangat buruk terhadap kesehatan. Nak, ayah sedang berusaha untuk berhenti. Susah sekali. Maka, belajarlah dari pengalaman ayah. Lebih baik tidak merokok, tidak memulainya – karena kebiasaan buruk ini sulit untuk diatasi.”
Barangkali ini dulu………