JATI-DIRI BALI, 23 April, 30 April dan 14 Mei 2007

JATI-DIRI BALI – 1

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 23 April 2007

 

“Bal” dalam bahasa Sanskrit berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan”. Kekuatan dan Pengorbanan – dua kata yang belakang ini terasa tidak nyambung lagi.

Mereka yang kuat merasa tidak perlu berkorban. Untuk apa? Dan, mereka yang lemah selalu menjadi korban. Mereka pun tidak berkorban karena kemauan mereka, tetapi karena kelemahan mereka. Terpaksa.

Manusia lebih suka mengorbankan daripada berkorban. Awalnya, hanyalah hewan-hewan tak bersalah yang menjadi korbannya. Kemudian, sesama manusia. Sekarang, apa saja.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa manusia mewarisi banyak sifat-sifat hewani, insting-insting primitif. Kemanusiaan diwarisinya sebagai benih, sebagai potensi. Sesuatu yang masih harus dikembangkannya. Jika tidak, benih itu mati sebagai benih. Potensi itu terpendam untuk selamanya.

Leluhur kita memberi nama “Bali” kepada pulau ini, supaya kita selalu ingat potensi diri kita. Supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban.

Sebagai Manusia Bali, Warga Pulau Dewata, apakah kita masih mengingat potensi diri kita? Potensi kita di bidang Pariwisata baru berkembang sejak tahun 1970-an. Antara tahun 1930-an, ketika rombongan wisman pertama menginjakkan kaki mereka di pulau ini, hingga akhir 1960-an, kita masih sibuk meletakkan fondasi bagi kepariwisataan.

Pariwisata adalah “potensi sekunder” – potensi yang relatif baru. Kita harus mencari tahu “apa” yang menyebabkan potensi sekunder itu? Apa yang menjadi potensi primer? Apa yang menyebabkan terjadinya boom pariwisata?

Orang-orang asing yang datang ke Bali, awalnya bukanlah untuk menikmati keindahan alam pulau dewata. Mereka juga tidak datang untuk berekreasi. Mereka tidak datang untuk bermain golf. Mereka datang untuk membeli hasil bumi kita, antara lain kelapa.

Dengan jumlah penduduk dibawah satu juta, pulau ini memang sudah cukup kaya sejak zaman dulu. Adalah perkara lain, jika kekayaan itu tidak terbagi rata – dan tidak dinikmati oleh seluruh penduduk di pulau ini.

Inilah “Potensi Primer” Bali – Hasil Bumi, Hasil Pertanian. Kesuburan Tanah Bali adalah “Berkah” dari Hyang Maha Kuasa. Dengan menjual tanah dan lahan pertanian untuk dijadikan hotel dan resor – kita telah menyia-nyiakan “Berkah” ini, “Anugerah” ini. Kita telah menghina apa yang diberikan oleh Hyang Maha Kuasa kepada kita.

Kita tidak menghargai Pemberian Hyang Widhi, Gusti, Allah, atau apa pun sebutan-Nya, karena kita tidak pernah tahu betapa sulitnya hidup di tengah kegersangan dan ketandusan.

Adalah urgent dan imperative bahwa mulai saat ini juga, detik ini juga, kita tidak lagi menjual tanah kita. Cukup sudah pembangunan di bidang kepariwisataan yang kita lakukan. Cukup sudah tanah persawahan kita yang dilapisi oleh semen dan beton. Sisa tanah yang kita miliki, harus dipertahankan untuk pertanian.

Ingat, “bumi” dan “hasil bumi” adalah “bekal utama” yang diberikan oleh Keberadaan kepada kita. Menggadaikan pemberian utama itu demi sesuatu apa pun jua – sungguh tidak cerdas. Mari kita belajar dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda…..

Para petani disana disubsidi oleh pemerintah supaya tidak meninggalkan desa dan pindah ke kota. Sebagai contoh saja, pemerintah Belanda mengeluarkan dana subsidi sebesar 2.5 dollar A.S. setiap hari untuk setiap ekor sapi dan kerbau di negeri itu. Dana subsidi per hari untuk setiap ekor ternak itu melebihi upah minimum seorang anak manusia di negeri kita.

Dengan segala kemajuan di bidang teknologi dan sains, Amerikat Serikat tetap saja melindungi para petani mereka. Hasil bumi mereka berlimpah dan diekspor ke manca-negara.

Sementara itu, kita – Indonesia dengan sekian belas ribu pulau dan tanah yang jauh lebih subur dari mereka – malah menjadi pengimpor buah-buahan, sayuran dan makanan kaleng dari mereka. Sepanjang tahun 2006, kita sudah mengeluarkan lebih dari 200 juta dollar Amerika untuk mengimpor buah-buahan, sayuran dan makanan kaleng dari Cina saja. Belum lagi dari Australia, Amerika, Timur Tengah, Eropa dan negara-negara lain.

Saya mendengar dari seorang ahli pertanian kita yang sekarang pindah ke negeri Jiran, bahwa tanah Bali sungguh sangat subur. Ia menyayangkan pembangunan Bali yang dianggapnya tidak sesuai dengan potensi Bali. Ketika saya menantang dia untuk berbicara di depan umum dan menyampaikan ide-idenya kepada pemerintah, ia tersenyum: “Kamu pikir saya tidak melakukan hal itu? Sudah. Dan, tidak seorang pun mau mendengarku. Maka, aku frustrasi sendiri.” Dalam keadaan frustrasi itu, ia mendapat tawaran dari salah satu universitas termuka di Malaysia, dan ia menerimanya.

Memang sih….. beberapa waktu yang lalu kita mendengar pernyataan dari seorang wakil rakyat kita yang menganggap pembangunan hotel di Kuta masih belum optimal. Ia mendukung pembangunan hotel-hotel baru. Dan, wakil rakyat itu tidak salah. Ia hanya mewakili kita – rakyat. Bukankah ia hanyalah penyambung lidah kita?

Kesalahan terletak pada diri kita. Dan, kesalahan itulah yang kemudian terungkap lewat wakil rakyat kita. Kita masih belum cukup cerdas untuk memahami dampak pembangunan yang kurang cerdas terhadap lingkungan yang menyebabkan “Pemanasan Global”. Sadarkah kita akan dampak kenaikan suhu 1.5 derajat saja? Sadarkah kita akan dampaknya terhadap wilayah sekitar Bandara Ngurah Rai dan Kuta?

Tanah-tanah yang dianggap “tidak produktif” dan sekarang dialihkan peruntukannya adalah wetlands, tanah resapan air. Semoga Betara Baruna, Hyang Maha Kuasa, Gusti Allah melindungi kita dari marabahaya yang dapat terjadi karena peralihan peruntukan tersebut!


 

JATI-DIRI BALI – 2

Radar Bali. Senin 30 April 2007

 

Hasil Bumi adalah “Potensi Primer” Bali. Inilah Kekayaan Bali yang sesungguhnya, kekayaan yang tidak tergantung pada wisatawan dan pariwisata. Bagi mereka yang percaya, inilah “Anugerah Utama” Hyang Maha Kuasa.

Inilah Bekal Awal atau Modal Dasar yang kita peroleh dari Sang Keberadaan, dari Gusti Allah, dari Sang Hyang Widhi, dari Bapa di Surga, atau apapun sebutan-Nya. Dan, hasil bumi ini pula yang awalnya menarik para pedagang dari manca negara.

Mereka datang ke Bali dengan kapal kosong untuk membeli dan mengangkut hasil bumi kita….. Kapal-kapal yang kosong ini kemudian mulai mengangkut wisatawan asing dalam jumlah terbatas. Rombongan terbesar dengan jumlah 100 orang baru datang sekitar tahun 1930-an.

Demikian, berkembanglah Potensi Sekunder kita – “Lewat” Kepariwisataan. Ya, “Lewat” Kepariwisataan. Karena, Kepariwisataan itu sendiri bukanlah Potensi Sekunder. Untuk memahami hal ini, kita mesti menggali kembali sejarah dan catatan-catatan lama. Apa yang membuat mereka tertarik dengan Bali?

Saat itu, kita tidak memiliki infrastruktur yang memadai. Kita belum memiliki htoel, motel dan resor. Namun, para wisatawan asing itu tetap juga tertarik dengan Bali. Kenapa? Mereka tertarik dengan Budaya kita – Tradisi atau Adat, Agama dan Seni kita. Inilah Potensi Sekunder kita, Potensi Kedua – Budaya.

Hitung saja jumlah buku-buku berbobot tentang Bali yang ditulis oleh para pelancong asing sebelum tahun 1970 dan setelah tahun 1970. Buku-buku yang ditulis sebelum 1970 itu yang hingga saat ini masih menjadi rujukan bagi setiap orang asing yang ingin tahu tentang Bali.

Kemudian, kita pun harus mencari tahu segalanya tentang para penulis yang terpesona oleh Bali dan menjadi penebar pesona itu. Mereka adalah Duta Bali yang sesungguhnya. Mereka adalah para budayawan, sejarawan, sastrawan yang sudah mapan, sudah cukup terkenal. Dengan mudah mereka dapat menemukan penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka. Banyak diantara mereka yang memperoleh bantuan dana-ekspedisi atau perjalanan dari para pengusaha dan industrialis ternama di zaman itu.

Potensi Sekunder Bali harus dikembangkan dengan sangat berhati-hati, supaya kita tidak terjebak dalam kepariwisataan yang semu, dangkal dan hanya menggairahkan di permukaan saja.

Sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an kita mengembangkan kepariwisataan kita tanpa memikirkan Potensi kita. Kita membangun industri pariwisata kita di luar potensi kita. Kita tidak melibatkan Budaya dalam kepariwisataan, malah membiarkannya tergusur oleh industri.

Berapa banyak banjar, desa adat, dan lahan pertanian yang tergusur oleh lapangan golf? Saya pernah bertemu dengan seorang petugas Satpam di salah satu resor yang dengan sedih mengenang kembali bahwa di tempat itu dirinya pernah bercocok-tanam. “Dengan sedih”, karena saat itu jumlah pengunjung di Bali menurun drastis karena aksi pemboman yang biadab itu. Dan, sang petugas satpam bersama teman-temannya harus menerima pemotongan gaji.

Beberapa bulan kemudian, saya berada di resor yang sama dan mencari satpam itu. Betapa terkejutnya saya, ketika diberitahu bahwa ia sudah “tidak ada”. Entah kenapa, ia memutuskan untuk tidak lagi “mengadakan” dirinya. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Saya tidak pernah tahu alasan satpam itu mengakhiri hidupnya. Tetapi, saya tahu alasan orang lain yang berusaha untuk mengakhiri hidupnya tetapi terselamatkan: “Dulu, saya tidak hanya membiayai keluarga saya saja, tetapi juga keluarga adik perempuan saya yang sudah janda. Suaminya meninggal dalam kecelakaan. Saya masih bisa menyumbang dan mengambil bagian dalam ritual-ritual keagamaan yang dilakukan oleh desa….. Tetapi, setelah bom, semuanya berubah. Penghasilan saya tidak cukup untuk keluarga. Terpaksa harus jual tanah untuk membantu adik dan keperluan-keperluan lain. Sampai kapan…?”

Inilah hasil ketergantungan kita pada pariwisata tanpa bobot budaya. Kita membangun klab-klab malam dan fasilitas hiburan lainnya untuk anak-anak muda dan mereka yang berjiwa sangat muda. Untuk mereka yang masih berusia dibawah 35 tahun. Kelompok ini adalah kelompok pembosan. Umumnya, mereka belum bisa mengapresiasi budaya atau sesuatu yang bernilai lebih tinggi. Mereka masih suka dengan adventur. Dan, jangan lupa mereka juga senang adventur. Mereka akan mengunjungi Bali sekali, dua kali, kemudian berpindah ke tempat lain.

“Industri Pariwisata Berbobot Budaya” haruslah dibangun dengan memperhatikan kelompok usia 35 tahun keatas. Dengan memperhatikan kebutuhan mereka. Khususnya warga Eropa dan Amerika yang sudah jenuh dengan kegemerlapan dan kemewahan dan membutuhkan sesuatu yang “lain”.

Kelompok ini terdiri dari para wisatawan yang loyal. Saya tersentuh oleh kepedulian dan keperhatian para pengunjung setia ke Nepal yang selama dua tahun berturut-turut tidak bisa mengunjungi Nepal karena alasan keamanan. Apa yang mereka lakukan? Mereka mengumpulkan dana untuk keluarga petugas keamanan di Nepal yang tewas dalam pertikaiaan dengan kelompok separatis.

Perhatikan turisme di Bali saat ini….. Dikuasai oleh para pelaku pasar dari Jepang, Taiwan dan Korea. Bali hanya kebagian uang receh beberapa sen saja dari setiap dollar yang dikeluarkan oleh seorang turis selama berada di Bali.

Turis dari Amerika hampir nihil. Dari Eropa – sedikit sekali. Jalanan di Kuta dan Legian boleh ramai, pertanyaannya berapa besar manfaat yang dinikmati oleh warga Bali sendiri?

Bagaimana memperbaiki keadaan ini? Dalam bagian terakhir tulisan ini, saya akan menawarkan solusi-solusi yang saya anggap tepat…..


 

JATI-DIRI BALI – 3

Radar Bali. Senin 14 Mei 2007

 

Potensi Primer Bali adalah Hasil Bumi, Sektor Pertanian. Anggur Bali sangat cocok untuk dijadikan Wine dan diekspor ke manca-negara. Saya pernah membawa sebotol wine dari Bali untuk seorang teman di Eropa yang ngerti bisnis winery. Komentar dia: “Unbelieveable, ini sungguh dari Bali?” Menurut dia, dan jangan lupa, dia adalah pelaku bisnis wine, kualitas wine Bali dapat diterima di Eropa.

Ini baru satu produk saja. Saya yakin masih banyak hasil pertanian lainnya yang dapat dikembangkan – Salak Bali misalnya.

Potensi Sekunder Bali adalah Budaya. Maka, Industri Pariwisata di Bali, bahkan pembangunan secara umum – haruslah berbobot Budaya. Jika kita tidak hanya mahir berbicara tentang Tri Hita Karana – tetapi juga mahir melakoninya, mempraktekkannya – barangkali bukanlah Al Gore yang memperoleh Oscar untuk “The Inconvenient Truth” tetapi seorang produsen asal Bali yang memperolehnya.

Al Gore baru mengemukakan data-data dan menawarkan solusi; Bali – di masa lalu – sudah melakoninya. Sungguh sangat menyedihkan ketika saya mendengar pendapat saudara-saudara saya se-Bali yang kebetulan berada di posisi penting, tetapi tidak memahami implikasi tentang Tri Hita Karana. Hanya berwacana saja dan mengagung-agungkan kata-kata belaka.

Mengoptimalkan Potensi Sekunder Bali, yaitu Budaya, hendaknya tidak dipahami sebagai optimalisasi Seni di bidang pariwisata. Seni adalah salah satu ekspresi dari Budaya. Ia adalah bagian dari Budaya. Ia bukanlah kata lain bagi Budaya. Adalah kekeliruan kita, bila Taman Budaya di Denpasar kita sebut Art Center dalam bahasa Inggeris. Jika yang dimaksud adalah “budaya” – maka semestinya Center tersebut disebut Cultural Center. Dan, jika yang dimaksud adalah “seni” – maka sebutannya dalam bahasa Indonesia harus dirubah menjadi Taman Seni atau Pusat Seni.

Karena menyalahpahami Budaya sebagai Seni saja – maka seluruh perhatian kita selama ini terpusatkan pada pengembangan seni. Baik, tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi jangan lupa, Lingkupan Budaya jauh lebih luas dan dalam. Supaya kesalahpahaman ini tidak terjadi, dan supaya kita mengerti apa yang menjadi dasar-dasar kebudayaan kita – adalah sangat penting bahwa lontar-lontrar milik keluarga, dimana pun berada, dikumpulkan oleh Pemerintah Daerah dan segera diupayakan penerjemahannya dalam bahasa Indonesia. Jika ini tidak dikerjakan segera, saya khawatir dalam 50 tahun mendatang kita sudah tidak akan memiliki ahli bahasa-bahasa kuno di Bali.

Banyak sekali Kearifan Lokal Bali yang mesti digali segera, diungkapkan dan dilestarikan. Begitu parahnya keadaan kita saat ini, Kitab Sutasoma yang ditemukan di Bali dan menjadi sumber inspirasi bagi para founding fathers kita untuk mempersatukan seluruh rakyat kepulauan Nusantara menjadi Bangsa Indonesia – tidak dapat ditemukan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Saatnya Pemerintah Daerah Bali mulai memikirkan hal-hal seperti ini.

Budaya bukanlah Seni saja. Dari Kebijakan dan Nilai-Nilai Luhur Filosofis serta Spiritual hingga Masakan dan Cara Berpakaian – semuanya adalah bagian dari Budaya. Pelestarian Lingkungan dan cara untuk melestarikannya adalah bagian dari budaya. Menghormati Sungai dan Pohon adalah bagian dari budaya kita.

Dan, sesungguhnya, seperti yang sudah sering saya katakan, Budaya Bali adalah Budaya Nusantara. Di pulau ini dan di pula Jawa kita masih dapat menemukannya dalam keadaan “hidup” walau sekarat.

Di pulau-pulau lain sudah parah. Kadang saya mendengar tentang paguyuban orang-orang Minang, bahkan orang-orang Aceh yang merindukan budaya asal mereka. Mereka sedang mencari kembali, menggali kembali. Apa yang dilakukan oleh Bali dan Jawa akan sangat membantu mereka.

Setelah menemukan Potensi Diri, setelah menemukan Jati-Diri – mari kita membangun kembali Bali dengan Bala, kekuatan kita sendiri! Mari kita belajar untuk kembali Berdiri diatas Kaki Sendiri – Berdikari. Mari kita bersama-sama melanjutkan perjuangan para founding fathers kita. Mari kita berkarya bersama untuk mewujudkan impian mereka. Bahu-membahu kita melanjutkan pekerjaan dan cita-cita Bung Karno, Hatta, Dewantara, Roeslan, Pane, Alisyahbana dan lain-lain.

Untuk itu, tentunya dibutuhkan Bali atau Pengorbanan. Siapkah kita untuk berkorban? Siapkah kita untuk berhenti mengkonsumi buah-buahan dan sayuran dari luar negeri? Toge dan Sawi dari Cina memang lebih gendut, tetapi apakah kita membutuhkan kegendutan itu? Kegendutan yang disebabkan oleh pupuk sintetis yang sama sekali tidak sehat.

Berhentilah mencemari udara Bali dengan menunda pembelian motor. Pemerintah Daerah sudah saatnya memikirkan transportasi umum. Jumlah motor di pulau ini sudah tidak masuk akal. Bayangkan pencemaran yang terjadi karenanya.

Kembalilah berbelanja ke pasar-pasar tradisional. Pasar-Pasar Mewah milik perusahaan-perusahaan asing itu merupakan penghinaan terhadap semangat dan jiwa Indonesia, ke-Indonesia-an kita. Apakah kita tidak mampu berjualan di pasar? Apakah kita tidak mampu menjalankan usaha ritel?

Air milik tanah kita sendiri dikemas oleh perusahaan asing dan dijual kembali kepada kita. Frekuensi Radio kita dijual kepada perusahaan-perusahaan asing – setiap SMS yang Anda kirim, setiap panggilan telepon yang Anda buat, memperkaya mereka. Perbankan kita dikuasai mereka, perhubungan pun demikian.

Ya, kita sudah melunasi hutang kita kepada IMF dan Bank Dunia, but at what cost? Dengan menjual aset-aset kita, bahkan diri kita. Ini bukanlah Budaya kita. Ini bukanlah Budaya Indonesia. Semoga Bali tidak terlibat dalam jual-beli yang tidak sopan semacam ini, dalam perdagangan yang tidak suci ini.

Hanyalah Bala atau Kekuatan Diri, dan Bali atau Kesediaan untuk Berkorban – dua hal ini yang dapat menyelamatkan Pulau Dewata, bahkan bangsa kita. Tidak ada jalan lain, tidak ada solusi lain.

Jalan instan yang menggiurkan banyak pejabat dan wakil rakyat kita adalah dengan “melacurkan diri”. Dengan membiarkan kekuatan-kekuatan asing menguasai negeri ini, dan memperbudak kita.

Bali, Indonesia, berhati-hatilah ketika kau memilih para pemimpinmu di masa mendatang. Bila mereka menawarkan solusi instan – dan kau tetap juga memilih mereka – maka bersiap-siaplah untuk ikut menjual diri bersama mereka.

Pilihlah seorang pemimpin yang membakar semangatmu untuk bekerja keras, untuk membanting tulang dan membangun kembali Bali, membangun kembali Indonesia dengan semangat Berdikari! Pembangunan Kembali Indonesia membutuhkan banyak pengorbanan, pengorbanan jiwa dan raga…. Bangunlah Manusia Bali, Bangkitlah Manusia Indonesia – Ibu Pertiwi membutuhkan pengorbananmu!