Memanusiakan Manusia, Sarad Edisi Bulan Mei 2007

Memanusiakan Manusia

Anand Krishna
Sarad Edisi Bulan Mei 2007

Tujuan Pendidikan Nasional kita, sesuai dengan bunyi Pasal 3 Undang-Undang RI No. 20 Th. 2003, adalah: “…untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

“…beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,” – adakah seorang pun diantara kita yang dapat menjamin dan memastikan bila dirinya sudah cukup beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Adakah seorang pun diantara kita yang dapat memberi sertifikat keimanan dan ketakwaan kepada orang lain? Adakah seorang pun diantara kita yang telah memperoleh mandat dari Hyang Maha Esa dan Maha Kuasa untuk mengeluarkan sertifikat semacam itu?

Beriman terhadap siapa? Terhadap Tuhan.

Bertakwa terhadap siapa? Terhadap Tuhan.

Maka, siapakah yang harus menilai iman dan takwa seseorang? Jelas, Tuhan juga. Jelas, Ia Yang Menjadi Tujuan Iman dan Takwa kita.

Bandingkan tujuan ini dengan apa yang menjadi visi Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara: “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.

“Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.

“Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggauta dari persatuan (rakyat).”

Jika Iman dan Takwa dijadikan tujuan pendidikan, dan sebuah institusi buatan manusia dianggap layak untuk menilainya – maka jelas-jelas itu merupakan penghinaan terhadap Kekuasaan Tuhan.

Ketika saya mendiskusikan hal ini dengan seorang tokoh pendidikan, maka dengan gampangnya ia menjawab: “Ah, itu hanya formalitas saja. Untuk membungkam kelompok-kelompok agamis. Untuk membuat mereka senang. Yang dimaksud adalah lanjutan dari Iman dan Takwa: berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Formalitas, basa-basi, membungkam, membuat senang….. Dengan cara inikah kita membahas rancangan undang-undang, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang?

Iman dan Takwa memasuki wilayah Agama, wilayah Tuhan – maka “Akhlak Mulia” dan lain sebagainya – terkalahkan oleh kedua kata tersebut.

Bagaimana pula mendefinisikan kedua kata tersebut? Apakah definisi Iman yang sudah baku bagi saudara-saudara kita yang beragama Islam – dapat diterima oleh saudara-saduara kita yang beragama Buddha? Atau Kristen, Katolik, Hindu, Sikh, Bahai? Dan, apa yang dimaksud dengan “Takwa” – apakah pengertian semua agama tentang Takwa sama dan standar?

Pernahkah kita berpikir bila Iman dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa harus di tumbuhkembangkan lewat pendidikan – maka kita menempatkan sebuah sistem diatas Tuhan. Sistem itu membantu Tuhan supaya ciptaannya beriman dan bertakwa terhadapnya. Sungguh aneh!

Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.

“Iman” dan “Takwa”, kedua kata tersebut sungguh indah, manis dan sarat dengan makna – namun penempatannya dalam hal ini, adalah salah. Iman dan Takwa menuntut kepatuhan. Dan, kepatuhan itu haruslah muncul dari keyakinan karena “sadar”, bukan karena “paksaan”. Menumbuhkembangkan kesadaran inilah yang menjadi tujuan Agama.

Saya masih mengutip Ki Hajar: “Dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain dan dapat mengatur dirinya sendiri.”

Dengan menjadikan Iman dan Takwa sebagai tujuan pendidikan dan mengamini peran sebuah institusi untuk menilai keimanan dan ketakwaan seseorang berdasarkan tolok ukur atau standar yang ditentukan oleh sekelompok manusia – seorang penguasa dapat menciptakan manusia-manusia yang “patuh”. Janganlah sekali-kali mengharapkan manusia yang “merdeka” lahir dan batinnya.

Janganlah sekali-kali mengharapkan seorang Pembaharu, seorang Visioner yang dapat melihat jauh ke depan dari suatu sistem yang merampas kebebasan manusia.

Undang-Undang Perkawinan kita sudah merampas hak kita untuk menjalin hubungan dengan sesama anak-bangsa yang tidak seagama. Undang-Undang Pendidikan menciptakan manusia-manusia yang patuh karena takut. Peraturan-peraturan di beberapa daerah berkiblat pada hukum agama. Sementara itu, para pejabat dan wakil rakyat kita masih tertidur lelap, seolah semuanya sudah berjalan baik.

Tidak, semuanya tidak baik. Saatnya Bung, Mas, Jeng, Neng, kita bersuara….. Bersuara demi Kebebasan dan Kemerdekaan Jiwa Anak Bangsa…..

Memanusiakan Manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai perikemanusiaan, membangun budi-pekerti – semestinya itu yang menjadi Tujuan Pendidikan.

Percaya pada Darwin atau tidak, kita semua lahir dengan warisan awal, yaitu Insting-Insting Hewani. Makan, Minum, Tidur, Seks – inilah warisan yang dimaksud. Bagaimana melampaui urusan-urusan itu dalam pengertian tidak terjerat dalam urusan-urusan itu saja – inilah Tujuan Pendidikan.

Jika para pejabat dan wakil rakyat kita belum juga memahami hal ini – maka kita pun tidak perlu merengek-rengek dan mengharapkan pemahaman mereka. Perubahan dapat dilakukan sekarang dan saat ini juga. Dari lingkupan yang terkecil dan terdekat – keluarga Anda sendiri. Untuk itu, Anda tidak membutuhkan izin, tidak membutuhkan peraturan dan perundang-undangan. Semoga Kesadaran menuntun kita semua!