PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAKNYA TERHADAP KITA SEMUA
Kesan dan Pesan dari Negeri Paman Sam – 2
Anand Krishna
Radar Bali, Senin 8 Oktober 2007
“Climate Change: How It Impacts Us All” – itulah tema Konperensi Tahunan Department of Public Information Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sempat saya hadiri di New York.
Selama tiga hari sejak tanggal 5 hingga 7 September, 1726 peserta konperensi dari 62 negara memberi pandangan mereka terhadap fenomena global yang sangat penting itu. Ratusan peserta lainnya dari kalangan media internasional, mahasiswa dan para pengamat ikut berpartisipasi secara aktif.
Kepedulian PBB sendiri, khususnya dari Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon, amat sangat terasa. Sebelum mengumpulkan para kepala negara yang menjadi anggota PBB, adalah NGO atau Masyarakat Luas yang diundang terlebih dahulu. Sebelumnya, jutaan dollar telah dihabiskan untuk meneliti dampak perubahan iklim secara ilmiah. Bukan main, luar biasa!
Seorang spiritualis dari Brazil, negara yang sudah pasti kena dampak perubahan iklim karena tetangganya, dalam hal ini Paman Sam, yang selama bertahun-tahun membangun tanpa perhitungan – menyindir PBB. Ia menyindir seluruh anggota PBB, baik pemerintahan sedunia maupun LSM-LSM yang bernaung dibawah beberapa sayap PBB: “Bukti akan dampak negatif yang kalian peroleh setelah menghabiskan uang begitu banyak – sesungguhnya sudah diketahui oleh penduduk asli seluruh benua Amerika sejak dulu.”
Dan, sesungguhnya bukanlah penduduk asli benua Amerika saja yang mengetahui hal itu. Penduduk asli seluruh dunia dengan kearifan lokal mereka yang semakin tergusur oleh ideologi-ideologi modern – telah mengetahui hal yang sama.
Leluhur kita sendiri menaruh perhatian yang begitu besar terhadap flora dan fauna. Pohon-pohon besar dihormati, bahkan diberi sesajen. Kemudian, datanglah generasi yang merasa lebih pintar, beragama, beradab dan sebagainya – maka mereka mulai mengencingi sesajen-sesajen itu.
Ya, mereka mengencingi kearifan nenek moyang mereka sendiri: “Ah, itu takhayul….” Para leluhur menasehati kita untuk menghormati flora dan fauna. Sesajen adalah salah satu bentuk, salah satu wujud nyata akan rasa hormat kita. Pohon yang diberi sesajen dan dihormati itu, tidak mungkin ditebang begitu saja.
Untuk menebang pohon di pekarangan rumahnya sendiri, seorang warga suku Dayak mesti memperoleh ijin dari Kepala Desa atau Kepala Adat. Pohon yang diameternya kurang dari apa yang telah ditentukan, tidak boleh ditebang. Bila kebutuhan ekonomi tidak mendesak, maka pohon di pekarangan sendiri pun tidak boleh ditebang.
Bila seluruh ketentuan dan syarat untuk menebang pohon sudah terpenuhi, maka pohon itu bisa ditebang, tetapi diupacarakan dulu. Kearifan lokal kita, kebijakan para leluhur kita, memastikan bahwa penebangan pohon itu tidak mudah. Tidak bisa seenaknya.
Kemudian, datanglah para sudagar, dari Barat, dari Cina, dari Timur Tengah, dari India…. Mereka tidak peduli terhadap lingkungan kita. Banyak diantara para saudagar itu, bahkan tidak memiliki referensi tentang Lingkungan. Daerah mereka sendiri tandus, padang pasir.
Maka, atas nama agama, kepercayaan asli kita dirusak.
Itulah titik awal “babad” Nusantara….. Kearifan lokal kita dibabad habis. Bukan saja Jawa dan Sunda dibabad, tetapi seluruh Nusantara. Dan, upaya pembabadan itu, “mbabad” itu malah didokumentasikan sebagai sejarah kemenangan.
Selama beberapa abad, kita dicekoki dengan sejarah yang dibuat oleh kaum penjajah yang menggunakan kaki tangan kita sendiri untuk menjajah jiwa kita, pikiran kita, perasaan kita. Selama berabad-abad kita dipaksa untuk menerima sejarah pembabadan sebagai sejarah peradaban.
Maka, terlupakanlah sejarah masa lalu. Terlupakanlah kearifan nenek moyang. Terlupakanlah kebijakan asli. Dan, semua itu diganti dengan kepercayaan-kepercayaan yang barangkali bagus, tetapi tidak cocok dengan kepulauan Nusantara.
Alhasil, kita menjadi beringas. Hutan pun kita babad habis. Air sungai dan laut kita cemari. Tidak heran, bila seorang wartawan senior dari media terkemuka masih meragukan juga, “Apa iya, pemanasan global itu fakta, atau sekedar dongeng. Sekedar fiksi yang disebarluaskan oleh negara-negara maju untuk menekan negara-negara berkembang seperti Indonesia?”
Ketika saya mendarat di Airport Los Angeles, petugas Imigrasi disana pun menyindir saya, “Anda datang untuk menghadiri Konperensi PBB tentang Perubahan Iklim… apa yang dapat Anda buat? Apa yang dapat saya buat?”
Namun, setidaknya pejabat imigrasi itu menerima ancaman pemanasan global. Ia tidak mengingkarinya. Ia hanya meragukan kemampuan kita untuk mengatasinya. Sebaliknya, wartawan senior yang saya kutip diatas masih meragukan ancaman itu sendiri.
Apa yang salah dengan diri kita?
Sesaat lagi, pada bulan Desember 2007, Bali akan menjadi tuan rumah bagi konperensi penting ketiga dalam setahun ini. Konperensi penting tentang agenda bersama yang penting pula – yaitu Perubahan Iklim. Sementara itu, di antara sesama anak bangsa pun masih ada keraguan tentang agenda tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya edukasi, kurangnya informasi dan pengetahuan umum.
Para pengusaha sibuk mengejar harta tanpa memikirkan lingkungan. Para wartawan sibuk mencari berita sensasional tanpa memikirkan dampak dari pemberitaan. Para politisi sibuk memikirkan takhta dan mahkota, pelayanan dan pengabdian sudah tidak menjadi prioritas. Mahasiswa mengejar gelar, akhlak tidak dikejar. Para rohaniwan sibuk memikirkan surga, neraka dan akhirat – urusan dunia ada di tangan mereka yang serakah.
Dalam satu tahun terakhir saja, air sumur di sekitar Simpang Siur (Kuta, Bali) sudah makin asin. Itu menunjukkan bahwa sudah terjadi pencemaran. Dan, pencemaran itu hanyalah salah satu dari sekian banyak dampak dari pemanasan global.
Ada yang bertanya, “Apa artinya upaya kita, bila negara-negara maju tidak ikut berupaya untuk mencegah terjadinya pemanasan global?”
Betul, kita semua harus bersama-sama berupaya. Negara-negara maju, negara-negara di utara pun tidak dapat hidup tenang bila terjadi pengungsian besar-besaran dari negara-negara selatan ketika pulau-pulau mereka tenggelam. Misalnya Samua dan pulau-pulau lain sekitarnya. Lebih dari 500,000-an orang akan kehilangan rumah mereka, desa mereka, kota mereka, bahkan pulau mereka, negara mereka. Mereka akan kemana? Jelas mereka akan menuju utara….
Maka, seperti yang dikatakan oleh Gubernur Arnold dari California, “Sekarang sudah bukan saatnya lagi untuk mencari tahu siapa yang paling bersalah atas terjadinya pemanasan global. Sekarang saatnya untuk kita semua berpikir bersama, dan berupaya bersama untuk mencegah hal tersebut.”
Betul….. Saatnya kita bekerja bersama, berjuang bersama, saatnya kita menyadari bahwa warga sedunia sesungguhnya satu umat, anggota dari satu keluarga besar.