Politik Picisan – Ancaman bagi Bali (Radar Bali, Senin 5 Januari 2009)

Politik Picisan – Ancaman bagi Bali

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 5 Januari 2009


Seorang teman bercerita tentang tiga orang temannya di kampung, yang selama sekian tahun hidup rukun – sekarang berseteru. Pasalnya, ketiga-tiganya menjadi caleg dari tiga partai yang beda haluan, beda misi dan visi.

Celakanya, ketiga sahabat itu juga tidak tahu bila partai yang “mengangkat” mereka itu sungguhnya adalah partai-partai yang belum tentu berpihak pada Bali. Mereka tidak mendukung suara Bali. Taruhlah Undang-Undang Porno yang jelas-jelas adalah pesanan dari luar dan tidak sesuai dengan budaya lokal. Adakah partai-partai itu menolak undang-undang tersebut? Tidak. Adakah partai-partai itu membela posisi Bali? Tidak.

Malah, beberapa diantara partai-partai itu melecehkan Bali. Institusi berlabel agama pun pernah menghujat Bali sebagai pulau maksiat. Ya sudah, kita maafkan ketololan mereka. Kita lupakan ketaktahuan mereka tentang sejarah dan nilai-nilai budaya Nusantara. Maklum, mereka adalah lulusan luar negeri!

Urusan saya, urusan Anda, para pembaca artikel ini, urusan kita semua di pulau dewata ini adalah satu: Keutuhan Bali. Inilah urusan utama kita. Kepedulian pokok kita adalah terhadap kelestarian tata-susila Bali, kerukunan antara warga Bali. Karena, bila Bali tidak rukun – maka ia tak dapat berkontribusi terhadap negara dan bangsa.

Otonomi daerah yang kebablasan dan tengah mengancam keutuhan bangsa, ditambah dengan undang-undang pemilihan yang diberlakukan begitu saja tanpa pendidikan politik dan berpolitik yang memadai – bisa menjadi factor disintegrasi bangsa dan negara tercinta ini.

Bali dipenuhi dengan baliho, lengkap dengan wajah para calon entah apa. “Kenapa?” saya bertanya kepada seorang teman. Ia menjawab secara spontan, “Karena, mereka memang orang-orang yang tidak begitu dikenal, bahkan di daerah mereka sendiri. Sehingga mereka mesti memperkenalkan diri dengan cara itu.”

“Sesungguhnya, adalah kelian banjar dan adat yang lebih dikenal di setiap daerah. Merekalah yang semestinya menjadi pemimpin di daerah. Atau, barangkali tukang tambal ban. Karena, seperti di kampung saya – hanya ada seorang tukang tambal ban. Atau, barangkali seorang preman, karena dia setidaknya telah berjasa dalam hal pengamanan desa.” Lanjutnya.

Iya, ya….
Calon-calon sekarang sampai mesti menjual kendaraan, sawah dan mencairkan simpanan mereka di bank – untuk bertarung. Kemenangan seperti apa yang mereka harapkan? Kemenangan atau kerugian? Kemudian, bila terpilih, yang terpikir pertama adalah, “Bagaimana mengembalikan modal?”

Bila tidak terpilih, maka para calon itu berseteru. Padahal, sebelumnya mereka bersahabat.

Lebih-lebih lagi, karena peraturan partai yang lucu – seorang caleg yang memperoleh nomer 3 dari partai, mesti mengalah pada yang berada diatasnya. Walau terpilih di daerahnya, ia tidak bisa berbuat banyak. Suara dia pun ditambahkan kepada Sang Nomer Wahid, alias Nomer 1.

Sekarang, dia depresi.
Dan, dalam keadaan itu adalah para dukun yang dicarinya. Pagi, sore, siang, malam – itulah yang menjadi pekerjaan tetap dia. Dari satu dukun ke dukun yang lain. Alhasil, lebih banyak lagi tabungannya yang mesti dicairkan. Sebelumnya ia sudah menjual mobil segala.

Belakang ini, saya dengar dari keponakannya, “Paman saya itu mencari tukang santet. Ia mengharapkan Nomer 1 yang terpilih dan Nomer 2 yang berada dibawahnya itu celaka, mati, atau apa – supaya ia dapat menggantikan posisinya.”

Luar biasa…
Ya, luar biasa, karena ini bukanlah kebiasaan Bali yang beradab dan tunduk pada Hukum Karma, Hukum Sebab dan Akibat.

Seorang seniman tersohor menjadi ketua partai yang jelas-jelas tidak menghargai budaya bangsa dan membela kelompok radikal. Ketua partai membisikinya: “Di pusat ini kan urusan politik. Di Bali kan aman-aman. Disana Anda lah yang berkuasa. Pun, di pusat bila kita tetap kuat, Anda juga pasti dapat jatahnya.”

Bali, bangkitlah!
Janganlah mempercayai janji-janji palsu seperti itu. Mereka tidak peduli terhadap negara dan bangsa, apalagi terhadap Bali. Mereka tidak beradab, kau, Bali janganlah mengekor pada mereka.

Janganlah pertarungan menyebabkan perseteruan, karena bila Bali terpecah-belah, para politisi tanpa prinsip itu yang akan menang.

Bersatulah Bali menghadap ancaman di depan mata. Bali Jaya, Indonesia Jaya!

* Aktivis spiritual, Anand Krishna baru saja ikut mendirikan Brazil Indonesia Friendship Association ketika berada disana untuk mengikuti Earth Dialogues