SABDA SANG GURU – 6

DIAMBIL DARI MEDIA HINDU, HALAMAN 28-29, EDISI 173, JULI 2018
DARI ANAND ASHRAM


Pancha Yajna – Kewajiban untuk Berbagi (Bag. 4)

Anand Krishna *

“What is the use of spending long hours in prayers and meditation behind closed door when one’s neighbour is helplessly groaning in pain? Such prayers will certainly fail to be responded by the Lord. What is expected of a human being is to leave the prayers and rush to attend to the one in pain. It amounts to the God in you rushing to the help of the God in that person, since Manava Seva is Madhava Seva. That is how one should visualise God – the God in everyone.”

Sri Satya Sai Baba

Ketika Saya sedang Mengalami guncangan hebat dalam hidup, banyak yang datang menjenguk saya – diantaranya: “Terima saja Pak. Bagi kita, orang Hindu, ahimsa adalah ideal tertinggi. Untuk apa melawan?”

Banyak di antara kita lupa bahwa ahimsa adalah metode, cara, gaya. Ada cara himsa, dengan kekerasan – ada cara ahimsa, tanpa kekerasan.

Gandhi menggunakan cara-cara ahimsa untuk melawan penjajahan. Ya, beliau tetap melawan, hanya caranya bukan cara himsa, bukan dengan kekerasan. Tapi, dengan ahimsa, tanpa kekerasan.

Gandhi Melawan Penjajahan, Arjuna didesak oleh Krishna untuk melawan adharma atau kebatilan. Tidak ada petunjuk dalam ittihas kita, dalam sejarah kita – baik dalam epos Ramayana maupun Mahabharata – dimana kita dituntut untuk duduk manis, duduk diam dan menerima segala macam serangan, kebatilan, dan kezaliman.

Banyak sekali kesalahpahaman yang terjadi dalam hal memahami pesan-pesan dan konsep dasar Hindu, Sanatana Dharma – Nilai-nilai kebajikan yang Langgeng dan Abadi.

Masyarakat Kita sedang dalam Keadaan gawat darurat, hampir setiap hari terjadi konversi. Bukan karena mereka “tahu apa itu Hindu” kemudian baru menganut kepercayaan lain, tapi karena mereka “tidak mengerti” apa itu Hindu, sehingga pindah kepercayaan dianggap enteng oleh yang bersangkutan, maupun oleh sebagian masyarakat yang sama-sama tidak paham duduk perkaranya.

Persoalannya bukanlah sekedar pindah-kepercayaan, tetapi pindah budaya, pindah nilai-nilai luhur yang hendak dipertahankan oleh leluhur kita, oleh Danghyang Nirartha, oleh Mpu Kuturan, dan lainnya.

Ya, sebagian dari masyarakat kita telah lupa sejarah. Dan, setiap orang yang melupakan sejarahnya, asal-usulnya, akan terlupakan oleh sejarah. Demikianlah hukum alam.

Jika ada yang sedang menderita, acapkali respons kita sangat tidak manusiawi: “Demikianlah karma dia, mau melawan karma bagaimana?”

Malah ada yang menganggap bahwa berpikir tentang keadaan yang genting tidak cocok bagi orang Hindu. Memikirkan masa depan yang sudah pasti suram, karena ketidakpedulian kita pada masa kini, dianggap mengada-ada, “Sudah dijanjikanoleh leluhur bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada kita, mesti percaya pada janji para leluhur.”

Adakah leluhur kita menganjurkan duduk diam, dan hanya berdoa saja? Kekawin Arjuna Wiwaha bukanlah tentang kisah roman Arjuna dengan seorang Apsara atau Bidadari dari kahyangan, tetapi tentang upaya Arjuna untuk memperoleh senjata, yang kelak digunakannya di medan perang Kurukshetra.

Sutasoma, Ramayana, Mahabharata, semuanya mengajarkan kita untuk senantiasa siap siaga demi Dharma, demi Kebajikan.

Danghyang Nirartha dan Mpu Kuturan pun tidak duduk diam, mereka bahkan mengorbankan segala-galanya demi Dharma, untuk mempertahankan dan melindungi Dharma.

Ya, Senjata Kita tidak Perlu berupa pedang dan tombak dan senapan. Senjata kita boleh buddhi atau intelegensi, kesadaran; cara kita boleh ahimsa, tanpa kekerasan.

Pertama-tama, yang mesti kita lawan adalah ketidakpedulian kita pada keadaan genting saat ini, di mana, tanpa kita sadari, konversi telah merusak tatanan masyarakat.

Banyak data di lapangan, saya sendiri bertemu dengan satu keluarga yang telah meninggalkan kepercayaan leluhurnya, dan mengadopsi kepercayaan lain.

Tapi – ini penting untuk direnungkan – ia tidak meninggalkan caranya berpakaian, caranya membawa diri di tengah masyarakat desa di mana dia tinggal, bahkan tidak juga melepaskan haknya pada rumah di kampung.

Atau, barangkali memang karena itu, supaya tetap bisa mempertahankan rumah di kampung, maka ia memberi kesan seolah pindah kepercayaan tidak memisahkan dirinya dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di desanya.

Bagaimana Menghadapi Situasi ini? Dengan cara apa? Gunakan beberapa jam setiap minggu untuk mendatangi mereka yang telah pindah kepercayaan, dengarkan keluhan mereka. Jelas mereka tidak tahu-menahu apa itu nilai-nilai Hindu.

Saya tidak pernah bertemu dengan seorang pun yang telah pindah kepercayaan, dan tahu tentang esensi Dharma, esensi Hindu, kecuali ritual yang dianggapnya ribet, mahal, dan sebagainya.

Anak-anak yatim kita tidak bisa ditampung oleh panti-panti Hindu, tidak cukupkah? Tiada pula rumah sakit Hindu, dimana mereka yang tidak sanggup bisa memperoleh pelayanan gratis. Tidak cukup sekolah-sekolah Hindu yang benar-benar bermutu… Masih segudang kebutuhan lain, tai kita sibuk dengan…. Silakan renungkan!

Sebelum Mengakhiri Pertemuan Kita kali ini, mari mendengarkan dan merenungkan petuah Sang Sadguru:

“Apa gunanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa dan meditasi, sementara tetangga kita sedang merintih kesakitan dan dalam ketidakberdayaan? Tuhan tak akan menanggapi doa kita seperti itu.

“(Mendengar rintihan sesama) apa yang diharapkan dari seorang manusia adalah meninggalkan doanya dan terburu-buru melayani orang yang sedang menderita.

“Tuhan di dalam diri kita mesti bergegas untuk melayani Tuhan di dalam diri orang yang sedang menderita, sebab Manava Seva adalah Madhava Seva (Melayani Sesama sama dengan Melayani Tuhan). Seperti itulah semestinya seseorang melihat Tuhan, Hyang berada dalam diri setiap makhluk.”

Dan, Ini Pula Pemahaman Saya tentang Manushya Yajna – Melayani Sesama Manusia. Inilah Yajna atau Persembahan ke-4.

Jangan cepat-cepat menerima pemahaman ini. Jangan pula cepat-cepat menolaknya. Renungkan terlebih dahulu, pelajari pula keadaan di sekitar Anda. Bertemulah dengan mereka yang pindah kepercayaan, yang sedang menderita karena satu atau lain hal.

Silakan melaksanakan ritual sesuai dengan kemampuan dan tradisi. Semuanya itu baik, bagus – namun, pikirkan pula, apa lagi?

Apa yang menjadi tanggung jawab Anda, dharma Anda terhadap masyarakat, bukan terhadap keluarga saja.

Pikirkan apa yang menjadi kewajiban Anda bagi masyarakat, bahkan bagi leluhur, bagi Danghyang Nirartha, bagi Mpu Kuturan yang mengorbankan segalanya demi Dharma. Mereka tidak memikirkan kerjaan, status, ekonomi, dan lain sebagainya. Bagi Dharma mereka menghaturkan seluruh hidup mereka…. Svaha…. Pikirkan!

Anand Krishna, menulis lebih dari 170 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org)