SILATURAHIM: SEBUAH SOLUSI
Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 21 Januari 2008
Beberapa waktu yang lalu, dalam acara Temu Hati dengan warga Karangasem yang difasilitasi oleh Puri Gede Karangasem – saya sempat bertemu dengan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Alhamdulillah, Puji Tuhan, dalam pertemuan tersebut hati kita betul-betul bertemu. Dan, terjadilah dialog yang sangat positif dan konstruktif. Ternyata, pandangan beliau pun amat, sangat universal.
Bagi saya, beliau adalah Wakil Islam yang sejati. Seseorang yang percaya pada Kekuatan Silaturahim. Silaturahim, sebagaimana saya pahami, adalah Hubungan Kekeluargaan. Hubungan yang sepenuhnya berlandaskan Kasih. Hubungan antara dua orang saudara yang berasal dari “rahim” yang sama. Menarik sekali, dalam bahasa-bahasa Timur Tengah, Rahim juga berarti Kasih-Sayang dan merupakan salah satu sifat utama Hyang Maha Kuasa, Gusti Allah.
Kita memang membutuhkan lebih banyak orang seperti beliau… lebih banyak ulama, lebih banyak pendeta, lebih banyak biku, lebih banyak pastur dan pemangku seperti beliau.
Sungguh, “Love is the Only Solution”.
Cinta-Kasih adalah Satu-Satunya Solusi… Dan, sesungguhnya bangsa ini sudah mempraktikkan solusi tersebut sejak ribuan tahun yang lalu.
Penduduk asli kepulauan ini menerima segala yang terbaik dari luar dengan pikrian, hati, dan tangan terbuka. Ajaran-ajaran agama dari luar diterima dengan penuh antusias. Namun, tidak berarti bahwa kepulauan ini tidak memiliki kepercayaan atau apa yang biasa disebut “agama” asli. Kepulauan ini sudah memilikinya. Banyak kepercayaan dan agama yang berkembang di sini, namun ada benang merah yang mempersatukan semuanya. Di balik segala yang berbeda, penduduk kepulauan ini mampu melihat Jiwa Hyang Tunggal, Satu. Maka, terciptalah Kebersamaan Sejati berlandaskan Budaya dan Kesadaran Spiritual.
Sriwijaya berkuasa selama berabad-abad. Majapahit selama beberapa abad. Dan, kedua dinasti besar tersebut menjadi besar karena mereka membangun negara di atas Landasan Budaya.
Agama Islam sudah ada di kepulauan kita sejak Zaman Sriwijaya. Umat Islam pun hidup rukun dengan mayoritas penduduk yang beragama Hindu dan Buddha. Saat itu, walau masih minoritas, Umat Islam tidak diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Negara sepenuhnya menjamin hak setiap warga untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihannya. Kelompok-kelompok minoritas, khususnya Islam diberi fasilitas tambahan seperti perkampungan khusus dan lain sebagainya. Bukti-bukti akan hal ini sudah diperoleh oleh para peniliti, sejarawan dan antropolog maupun arkeolog.
Kemudian, ketika Landasan Budaya dan Kesadaran Spiritual yang sangat Universal itu diganti dengan “Pemahaman Sempit” tentang Agama – maka Bangunan Kebersamaan Bangsa pun runtuh… Dan, kita dijajah oleh kekuatan-kekuatan asing selama tiga setengah abad lebih.
Kiranya, kita mesti belajar dari sejarah masa lalu.
Beberapa bulan sebelum terjadinya, apa yang biasa disebut “G30S”, Bung Karno yang saya sangat kagumi “barangkali” mulai merasa dipojokkan oleh kelompok-kelompok agama. Maka, lagi-lagi “barangkali” demi kepentingan politik beliau mengeluarkan peraturan (No. 1, tahun 1965) dimana Kelompok-kelompok Kepercayaan/Kebatinan (Spiritual, bukan klenik. Klenik adalah Spiritism) yang sesungguhnya adalah Pewaris Budaya Asal Nusantara diminta untuk kembali ke apa yang disebut “induknya” atau agama “masing-masing”. Pun untuk pertama kalinya, dibuatlah daftar agama-agama “resmi” di Indonesia.
Daftar tersebut jelas tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Misalnya Agama Sikh dengan jumlah penganutnya yang cukup banyak di Sumatera Utara tidak disebut sama sekali. Begitu pula agama Shinto, Baha’i dan lain sebagainya – yang jumlah pengikutnya di Indonesia barangkali sedikit sekali – atau bahkan saat itu belum ada.
Dengan cara itu, secara sengaja atau tidak sengaja, Bung Karno melakukan apa yang saya yakini tidak sesuai dengan nuraninya sendiri. Ia menempatkan kepentingan politik di atas suara nuraninya. Maka, dalam beberapa bulan saja, terjadilah G30S. Selanjutnya, adalah rahasia umum.
Dalam waktu kurang dari 2 tahun setelah itu, pada tahun 1967 – Bung Karno seolah tenggelam dalam halaman-halaman sejarah.
Setelah itu, di masa pemerintahan Suharto…. Setelah wafatnya Ibu Tien pada tahun 1996 – Pak Harto pun melakukan apa yang dilakukan oleh Bung Karno. Beliau mulai mendekati kelompok-kelompok agama demi “keberlangsungan kekuasaan”-nya. Dalam waktu kurang dari dua tahun, beliau pun terpaksa lengser.
Kesalahan seperti ini sudah sering terjadi dan setiap kali terulangi. Ada kalanya untuk kepentingan politik kita membentuk organisasi berlandaskan agama. Ada kalanya demi popularitas politik kita menciptakan dualitas kukum. Ada kalanya tubuh partai pun kita sekati dengan sekat agama – lagi-lagi karena urusan politik.
Hendaknya para pemimpin bangsa saat ini belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena, kesalahan itu akan berakibat yang sama pula. Jangan lupa, Pemilu tahun 2009 sudah tinggal beberapa bulan lagi. Dan, para Punakawan sedang memantau kita sebelum mengeluarkan Fatwa Alam yang direstui oleh Sang Keberadaan.
Landasan agama barangkali sukses di negara lain, karena agama itulah budaya mereka. Seperti Arab Saudi….. Mereka sendiri mengaku bahwa sebelum adanya ajaran agama, mereka masih belum cukup berbudaya. Padahal, saya juga tidak mempercayai hal itu. Karena banyak bukti di lapangan yang tidak menunjang kepercayaan itu. Sayang sekali, Kerajaan Saudi tidak mengijinkan penelitian arkeologi di tempat-tempat penting.
Lain mereka, lain kita….
Kita sudah berbudaya dan beradab jauh sebelum Timur Tengah mengenal peradaban, budaya dan agama. Kita sudah belajar untuk menghormati lingkungan, jauh sebelum Barat belajar mandi setiap hari. Kita sudah berdagang dengan pihak asing, ketika istilah globalisasi pun belum dikenal.
Maka, sungguh memalukan bila saat ini kita malah berkiblat pada Arab untuk Budaya. Kita berkiblat pada Barat untuk Ekonomi. Kita berkiblat pada Cina untuk kebutuhan sehari-hari.
Berkiblatlah pada diri sendiri, pada Budaya sendiri, pada Kearifan Lokal sendiri, pada nilai-nilai luhur yang ada di kepulauan kita sendiri.
Kita boleh, dan memang mesti menjalin hubungan silaturahim dengan siapa pun jua. Dengan seluruh dunia, dengan setiap warga dunia….. Silaturahim, Kasih adalah satu-satunya solusi. Tetapi, untuk itu pun terlebih dahulu kita mesti Berdikari. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno, kita mesti berdiri di atas kaki sendiri. Kita mesti berdiri bersama dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Kita mesti berkontribusi terhadap Peradaban Dunia.
Saatnya kita melupakan segala persoalan yang tidak penting diantara kita. Saatnya kita bersatu-padu dan menjalin hubungan silaturahim dengan sesama anak bangsa, dengan sesama warga dunia. Karena, sungguh Love is the Only Solution…. Silaturahim adalah Kebutuhan Kita Semua!