Dharma Media, 28 Januari 2008

Dharma Media

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 28 Januari 2008

 

Tahun lalu Bali menjadi Tuan Rumah bagi banyak pertemuan penting…. Diantaranya adalah Konperensi UNESCO tentang Peran media bagi Perdamaian, yang difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia.

Sayang sekali, banyak bos media yang tidak hadir. Ada pun yang hadir, segera meninggalkan ruang konperensi setelah upacara pembukaan oleh menteri. Barangkali mereka punya acara lain yang “lebih penting”, atau mesti menemani “orang penting” untuk bermain Golf. Tapi, saya tidak mau berprasangka buruk. Anggap saja mereka sibuk, titik..

Konperensi itu menelurkan banyak kesimpulan. Namun, salah satu yang bagi saya paling menarik adalah: “Awam mesti menyadarkan media bila berita baik itu patut disiarkan, dipublikasikan. Dan, ada kalanya berita sensasional justru tidak perlu diekspos secara berlebihan.”

Sekali lagi, sayang bos-bos media sudah tidak ada untuk mendengarkan kesimpulan-kesimpulan itu. Padahal, dalam banyak kasus, khususnya di daerah, adalah bos-bos media yang justru menentukan berita mana yang perlu diturunkan, dan mana yang tidak perlu.

Teman-teman wartawan sudah bersusah-payah mencari berita, menulis reportase – tapi, apa daya mereka? Pencarian mereka sia-sia saja. Reportase yang mereka tulis dengan susah-payah pun tidak dihargai.

Memang tidak semua media seperti itu.

Ada kalanya, berita-berita baik nan menyejukkan terkalahkan oleh berita-berita jelek dan mengenaskan tapi sensasional. Ada kalanya, berita baik itu tanpa “pelicin”… Ya, ya, ya, saya punya pengalaman pribadi dalam hal ini.

Saya salut pada Group Jawa Pos, khususnya Radar Bali – yang berpegang teguh pada kode etika jurnalisme. Mereka tidak membutuhkan “pelicin” untuk menurunkan berita yang memang perlu dan pantas diturunkan, dipublikasikan.
Salah satu media di daerah secara jelas memasang tarif. Jadi, semua berita itu diperlakukan sebagai advertorial – iklan. Bila seorang pembunuh berdarah dingin yang sedang menjalani hukuman di balik jeruji mendapatkan kunjungan dari seorang pembelanya – maka berita yang barangkali dianggap cukup sensasional oleh bos media – diturunkan lengkap dengan foto berwarna. Namun, bila sekelompok anak bangsa mengadakan aksi damai untuk membebaskan negeri ini dari kekerasan – maka berita itu dianggap sampah dan dibuang.

Aneh, tapi nyata!

Seperti itulah keadaan negeri kita saat ini. Beberapa media, semoga tidak banyak, telah melupakan Dharma mereka, kewajiban mereka.

Apa sih Dharma Media itu?

Apa sih yang menjadi kewajiban media?

Dan Gillmor, seorang Wartawan Senior dari Silicon Valley Amerika berpendapat bahwa semestinya media “berasal dari masyarakat, dan untuk masyarakat”. Dalam bukunya yang cukup populer, “We the Media” ia mepopulerkan istilah Grassroots Journalism. Sebagaimana dipercayainya, Jurnalisme Masa Depan adalah Jurnalisme yang berbasis Dialog dengan awam, dengan rakyat kecil, dengan siapa saja.

Jurnalisme Masa Depan bukanlah Jurnalisme yang berbasis Monolog dan hanya menyuarakan kepentingan pemerintah, kalangan atau kelompok tertentu. Jurnalisme Masa depan juga tidak bisa lagi memberitakan sesuatu berdasarkan “pesanan”.

Media yang menurunkan berita hanya karena dibayar untuk itu – akan ditinggalkan oleh pembacanya. Alasan Gillmor jelas – Media Cetak maupun Elektronik sudah tidak dapat memonopoli berita. Webcasting lewat internet sudah merubah paradigma lama. Sekarang, masyarakat sudah tidak dapat dikibuli lagi.

Gillmor juga menasihati media untuk tidak lagi mengandalkan “objektivitas”. Selama ini, atas nama objektivitas, banyak media yang tidak mau mengambil resiko dan memberitakan sesuatu secara jujur dan terbuka.Misalnya, tidak ada media yang secara tegas menentang pembelaan terhadap para pembunuh berdarah dingin atas nama agama. Bila ada yang menulis secara terbuka, opininya tidak dimuat.

Namun, pada saat yang sama bila kelompok radikal mendatangi kantor media dan memaksanya untuk menurunkan berita yang menguntungkan mereka – maka berita itu sudah pasti diturunkan.

Memang, banyak insan pers yang berdalih bahwa: “Kita hanya memberitakan apa adanya. Kita tidak perlu menyimpulkan sesuatu…” Ini objektivitas. Dan, inilah yang ditentang oleh Gillmor. Bila berita tentang kekerasan menimbulkan kebencian – maka, apakah perlu diturunkan secara rinci?

Apa yang dikatakan oleh Gillmor sekarang sudah menjadi resolusi UNESCO. Saya tidak tahu apakah insan pers kita pernah membaca resolusi-resolusi tersebut – padahal resolusi-resolusi itu dibuat di Bali.

Semestinya, media sudah tidak lagi memberitakan sesuatu “begitu saja”. Sebagaimana dikatakan oleh John Pilger, seorang wartawan asal Australia yang telah membuat banyak film dokumenter, “Tidaklah cukup bila insan pers menganggap dirinya sebagai penerus pesan saja – tanpa memahami agenda terselebung di balik pesan yang hendak disampaikannya….”

Rakyat membutuhkan Berita Baik, bukan Berita Jelek….. Berita-berita jelek itu memang ada, tidak dapat dinafikan. Namun, tidak perlu juga diekspos secara berlebihan.

Namun, yang paling menyedihkan adalah nasib media dan bos-bos media yang menganut paham Fulusudin. Mereka yang saat ini menurunkan berita berdasarkan pesanan atau menjual ruang berita – akan segera ditinggalkan oleh pembacanya, pemirsanya.

Gillmor menawarkan 4 Pilar yang dipercayainya sebagai penyelamat Media. Saya akan mengupasnya sesuai dengan pemahaman saya dan relevansinya dengan keadaan di negeri kita.
Pertama: Kedalaman Berita. Tidaklah cukup bila kita hanya meliput berita dari dua sisi saja. Misalnya dari Sisi yang Dituntut dan Sisi yang Menuntut. Kita mesti memperoleh sudut pandang yang lain juga. Barangkali sudut pandang yang tidak populer, namun penting bagi masyarakat. Dan, diatas segalanya kita mesti memberi ruang yang cukup kepada pembaca dan pemirsa untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mereka.

Kedua: Ketepatan Berita. Tidak semua fakta tepat untuk diberitakan. Fakta yang bisa menjadi besar tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat tidaklah tepat untuk diberi porsi besar.

Ketiga: Keseimbangan Berita atau Fairness. Setiap berita mesti diperlakukan secara fair. Setiap pelaku mesti diperlakukan secara fair. Kita tidak boleh berpihak karena urusan suka/tak-suka. Sulit? Tidak juga, bila kita selalu ingat bahwa Media adalah dari Rakyat, dan untuk Rakyat. Sebab itu, monopoli perusahaan-perusahaan besar memang harus berakhir. Di setiap daerah semstinya ada beberapa pilihan, persis seperti di Bali. Sehingga masyarakat dapat menentukan pilihannya.

Keempat: Keterbukaan atau Transparency. Sumber Berita harus jelas. Apalagi dengan kemajuan IT, sumber situs web segala dapat diperoleh dan dicantumkan dengan mudah.

Nah, kira-kira seperti inilah Dharma Media….. Semoga kita semua dapat menempuh Jalan yang Benar, yang Lurus, dan terhindar dari Jalan yang berliku-liku dan hanya menyesatkan jiwa….. Amin……