Tantangan bagi Bali
Anand Krishna*
Radar Bali, Minggu 20 Juli 2008
Semakin dekatnya pemilihan umum, semakin panasnya bumi pertiwi. Bali baru saja merasakan hangatnya pemilihan pasangan gubernur dan wakil gubernur. Sebentar lagi, ia mesti merasakan panasnya pemilihan presiden dan wakil presiden.
Diantara sekian banyak tantangan yang dihadapi oleh gubernur dan wakil gubernur Bali yang baru, tantangan yang terberat menurut saya adalah mengedukasi rakyat Bali supaya mereka memahami arti dan nilai suara mereka.
Suara adalah Sabda, dan Sabda adalah Aksara – energi murni – tidak pernah mati, tidak pernah hilang, tidak pernah punah. Dampak dari energi itu akan tetap terasa setelah presiden dan wakil presiden hasil pemilu 2009 sudah lengser. Sebagaimana, hingga saat ini pun kita masih merasakan dampak dari kepresidenan Bung Karno, Pak Harto, Bang Habibie, Gus Dur, dan Mba’ Mega. Terpilih lagi atau tidak, dampak dari kepresidenan Mas Bambang pun akan tetap terasa oleh bangsa ini dan menjadi bagian dari sejarah kita.
Bagi sebagian politisi di pusat, wacana agama menjadi sangat penting. Tidak menjadi soal, bila mereka pernah mempelajari hasil sidang konstituante di Bandung sekitar tahun 1950-an dan argumentasi para pembicara dalam sidang tersebut. Tidak menjadi soal bila mereka pun mempelajari negara modern Pakistan yang lahir dari sentimen agama.
Dengan sangat mudah, seorang pendukung landasan agama untuk bernegara, melontarkan wacana, “berilah kami kesempatan” alasannya “pancasila tidak berhasil menghapus korupsi dan sebagainya”. Kemudian, menurut orang itu, bila sistem agama pun tidak berjalan, boleh saja diganti dengan Pancasila atau sistem lainnya.
Pikirkan, renungkan – bila landasan budaya yang selama ini kita gunakan untuk bernegara dan berbudaya dirubah dengan landasan agama – apakah orang itu dapat seenaknya mewacanakan perubahan landasan seperti yang dilakukannya di hadapan sekian banyak orang di studio Teve swasta dan disaksikan oleh ratusan ribu bahkan jutaan pemirsa di rumah?
Kita boleh berargumentasi, berputar lidah dan bermain dengan kata-kata, bila landasan agama yang dimaksud tidak sama dengan teokrasi. Buktinya apa? Adakah seorang pendukung budaya arab kuno atau demokrasi barat yang dapat menentang sistem pemerintahan yang ada di Arab Saudi? Konon, sistem itu dianggap berlandaskan ajaran agama, pertanyaan saya, “kemudian kenapa Om Osama tidak setuju pula dengan sistem tersebut?”
Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat mewacanakan perubahan. Ia mesti hidup dalam pengasingan dan mengungkapkan kekecewaannya lewat aksi kekerasan.
Para politisi yang secara implisit maupun eksplisit – secara diam-diam, curi-curi, atau terbuka – bersemangat banget untuk merubah landasan kita bernegara ini sering berdalih: “Ketentuan-ketentuan agama hanyalah untuk golongan tertentu, kaum-kaum lain bebas untuk menjalankan akidah agama mereka masing-masing.”
Disinilah justru letak kesalahan mereka.
Pertanyaan saya: Kita hidup di dalam satu rumah atau tidak? Kita ini satu kaum – dalam pengertian satu bangsa – atau tidak?
Bila kita hidup sendiri-sendiri – maka apa yang terjadi di rumahmu memang tidak menjadi urusanku. Tetapi, bila kita hidup dalam satu rumah besar yang satu dan sama – Indonesia – maka apa yang terjadi di dalam kamarmu, sudah pasti akan berdampak pada kamar-kamar lain.
Saya tidak bisa seenaknya membakar kamar saya dengan dalih, “ini kan kamar saya, suka-suka saya dong. Kamu urusi kamarmu.” Kebakaran yang terjadi di dalam kamar saya, dapat membakar kamarmu juga, pun kamar orang lain yang tinggal serumah. Bahkan dapat membakar seluruh rumah.
Kita tidak bisa menetapkan satu set peraturan dan undang-undang bagi satu kamar, dan lain bagi kamar lain. Itu bila kita setuju untuk hidup bersama dalam satu rumah.
Bagi saya, kita adalah satu kaum, satu bangsa – Bangsa Indonesia. Dan, kita tinggal di dalam satu rumah – Rumah Indonesia.
Maka, apa yang aku lakukan di dalam kamarku adalah urusanmu, sebagaimana apa yang kau lakukan di dalam kamarmu adalah urusanku. Kita tidak bisa seenaknya menentukan peraturan-peraturan kamar yang beda.
Jangankan “satu rumah”, tinggal di “satu hotel” saja – kita mesti mengindahkan peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh pihak hotel. Peraturan-peraturan itu berlaku bagi semua.
Pemimpin Bali, Gubernur dan Wakil Gubernur, para Bupati dan Rakyat Bali – mesti memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang memiliki komitmen penuh terhadap konsep “satu bangsa” – satu Rumah Indonesia. Dan, diatas segalanya “satu peraturan” bagi satu rumah.
Bila ada pemimpin yang diback-up oleh para politisi yang tidak memiliki komitmen seperti itu – siapa pun dia – Bali mesti menolaknya. Partai-partai politik yang berpegang pada prinsip “urusanku urusanku, urusanmu urusanmu” adalah sangat berbahaya. Mereka menjadi ancaman bagi keutuhan negara dan bangsa ini. Urusanku, urusanmu, urusan dia – adalah urusan kita.
Bali mesti bersikap secara jelas dan tegas, “Tidak bagi penghantu paham dualitas hukum bagi sesama rakyat Indonesia.”
Perbedaan pendapat dan pandangan bisa diterima, bahkan diapresiasi. Perbedaan agama mesti dijunjung tinggi. Namun, perbedaan-perbedaan itu, kebhinekaan itu, mesti berada diatas landasan “keikaan”. Sumpah kita mesti dipertegas: Satu Bangsa, satu Negara, Satu Bahasa, Satu Hukum…..
Para politisi yang saat ini mencari dukungan dari rakyat yang masih belum memahami implikasi dari dualitas hukum – entah sangat naif atau memang sengaja melakukan hal itu. Hukum apa yang berlaku bagi seorang ibu penjual kue basah di pasar yang masih menjalankan nilai-nilai keagamaan sebagaimana diwarisinya secara turun-temurun, sementara itu lima orang anaknya masing-masing menganut agama yang beda?
Setiap anak berusaha untuk meng-“agama”-kan ibunya, untuk menyelamatkan jiwanya. Sang Ibu merasa tidak perlu menerima undangan itu, karena ia merasakan dirinya sudah beragama. Kecewa dengan sikap itu, para anak mulai menjauhinya.
Kemudian, ketika sang ibu menghembuskan napasnya yang terakhir – para anak pun berantam untuk menguasai jasad ibu dan disemayamkan sesuai dengan agama yang dipeluknya.
Ibu Pertiwi belum mati, ia masih hidup, dan kita semua adalah anak-anaknya. Gusti Allah, Ya Rabb, Wahai Widhi, Bapa di Surga, Tao, Buddha – maafkan kekurangajaran kami yang tidak memahami warisan budaya kita sendiri dan lebih tertarik dengan budaya-budaya asing.
Bali kau sudah bangkit, janganlah tertidur lagi…. matahari sudah terbit, tiba saatnya untuk berkarya, untuk melaksanakan tugas….. Selamatkan Ibu Pertiwi.
*Aktivis Spiritual