Pancasila & Otak Manusia (Radar Bali, 16 Juli 2008)

Pancasila & Otak Manusia

Anand Krishna*
Radar Bali, Rabu, 16 Juli 2008

 

Dalam acara diskusi bulanan terakhir di padepokan One Earth (Ciawi, Jawa Barat), panitia penyelenggara menghadirkan beberapa pakar/ilmuwan, diantaranya seorang Ahli Bedah Syaraf, Pakar Fisika dan Fisika Quantum/Nuklir.

Kesimpulan dari ketiga orang pembicara tersebut sungguh sangat menarik untuk direnungkan bersama. Hanyalah manusia yang memiliki bagian otak yang disebut Neo-Cortex. Hewan-hewan jenis lain hanya memiliki bagian yang disebut Lymbic.

Manusia adalah jenis hewan yang boleh disebut “super” – ia adalah super-animal. Memiliki Lymbic maupun Neo-Cortex. Lymbic bersifat “statis”, dalam pengertian ia hanya melakukan pekerjaan rutin, tidak bisa berkembang. Maka, seekor katak lahir sebagai katak, dan sudah pasti mati sebagai katak. Sejak zaman dahulu mereka hidup di kolam, sekarang pun sama.

Lain halnya dengan manusia, dulu dia hidup di dalam gua, sekarang tidak. Dulu, rumahnya gubuk, sekarang villa. Seluruh keberhasilan manusia ini terkait dengan perkembangan Neo-Cortex. Makin berkembangnya bagian tsb, makin majunya manusia, makin progresif dirinya.

Lymbic di dalam diri manusia – persis seperti hewan-hewan lain – hanya memikirkan makan, minum, tidur, dan seks. Ia tidak dapat berpikir lebih jauh, dan lebih luas lagi. Manusia masih memiliki bagian itu, karena ia pun masih membutuhkan apa yang dibutuhkan hewan-hewan lain.

Namun, di luar urusan itu – manusia memiliki kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Ini yang tidak dimiliki oleh hewan-hewan jenis lain. Maka, manusia bisa membangun. Hewan-hewan lain tidak bisa. Manusia bisa dididik atau mendidik diri untuk menjadi super-human, dan tidak berhenti pada tataran super-animal. Hewan-hewan lain tidak bisa.

Celakanya, tidak semua manusia berupaya untuk mengembangkan diri, dengan memanfaatkan neo-cortex yang dimilikinya. Padahal, bagian otak yang satu ini adalah hadiah paling penting dari Tuhan, Widhi, Gusti Allah, Adi Buddha, Bapa di Surga, Keberadaan atau apa pun sebutan Anda bagi Hyang Maha Kuasa itu. Sehingga – banyak diantara kita sudah merasa puas dengan manfaat yang kita peroleh lewat lymbic.

Hazrat Isa mengingatkan kita, “he, kalian tidak hidup untuk roti saja lho…” Nabi Muhammad mengingatkan bilamana kita tidak peduli terhadap keamanan dan kesejahteraan tetangga maka kita belum cukup beragama. Dalam hal ini, tentunya yang dimaksud beliau dengan rasa aman dan sejahtera jauh melebihi definisi-definisi kita yang sempit.

Buddha mengajak kita untuk berdamai dengan semua. Krishna menyerukan kesatuan dan persatuan antara umat manusia dan seluruh bentuk kehidupan yang ada, baik yang bergerak atau energi, maupun yang tidak bergerak atau materi. Karena, pada dasarnya kehidupan itu satu adanya. Segala apa yang saya lakukan terhadap Anda akan kembali kepada saya lagi. Kejahatan kembali sebagai kejahatan. Kebajikan pun sama.

Marx dan Machiavelli, dan para penganut mereka – jelas tidak dapat melihat sesuatu di luar kebutuhan lymbic. Dua-duanya bicara tentang kesejahteraan materi. “Urusi perut dan berikan sedikit hiburan”, seru Machiavelli, “dan kau dapat menguasai siapa saja”. Marx hanya mengembangkan apa yang pernah disampaikan oleh Machiavelli.

Banyak diantara kita yang masih percaya bahwa urusan negara ini akan langsung terselesaikan bila kebutuhan rakyat akan materi terpenuhi. Tanpa disadari, kepercayaan itu sesungguhnya menempatkan kita berada bersama Machiavelli dan Marx.

Machiavelli dan Marx akan membenarkan segala cara untuk, apa yang mereka anggap, kesejahteraan rakyat. Mereka bisa menolak agama dan kepercayaan, bisa juga menggunakan agama dan kepercayaan untuk mengelabui kita. Ini yang saat ini terjadi di negeri kita.

Para politisi kita di pusat – mudah-mudahan di Bali tidak – hampir seluruhnya masih memanfaatkan bagian lymbic dari otak mereka. Urusi kesejahteraan, bila tidak terurusi, bila gagal – maka salahkan Tuhan, “bagaimana pun jua kita sudah berupaya, Gusti-lah yang menentukan….. Tapi, jangan takut, bila disini masih tetap menderita, maka disana pasti tidak lagi.” Para Pemimpin Bali tidak boleh meniru mereka.

Padahal, dasar dari ajaran-ajaran agama adalah “here and now” – disini dan saat ini. Bila disini kau tidak bahagia, disana pun sama. Bila disini kau menanam benih asam, disana buah asam pula yang kau peroleh.

Salah satu kelemahan lymbic adalah ia “penakut”. Ia selalu merasa dirinya dalam keadaan bahaya – eksistensinya terancam. Bila ia memeluk agama atau memiliki ideologi, maka agama dan ideologi itu dirasakannya dalam keadaan gawat, darurat, maka mesti di-“bela”. Padahal ajaran-ajaran itu justru “turun” untuk memfasilitasi dirinya menjadi manusia yang lebih baik dengan memanfaatkan neo-cortex.

Kelemahan lain adalah ia selalu berpikir dalam kotak. Ia tidak bisa berpikir diluar kotak. Ia akan selalu mencari orang-orang yang sejenis dengannya, yang sama-sama hanya menggunakan lymbic. Wawasan mereka sempit.

Inilah orang-orang yang saat ini menolak “Pancasila” – karena butir-butir Pancasila itu memiliki implikasi yang sangat luas. Pancasila, adalah hasil dari penggalian yang dilakukan oleh founding fathers kita dengan memanfaatkan Neo-Cortex. Lymbic tidak dapat menggali Pancasila. Lymbic selalu bicara tentang sukuku, agamaku, rasku, golonganku, partaiku, ideologiku, pikiran dan sebagainya. Ia tidak dapat menerima kebhinekaan. Kalau pun dipaksa untuk menolerir perbedaan, ia akan metolerir dengan pengertian, “Aku menghormatimu, tapi bagaimana pun jua sukuku, agamaku, rasku dan golonganku-lah yang terbaik.”

Hewan-hewan lain pun sama, mereka hidup dalam hutan yang sama. Dan, mereka menunjukkan sikap toleransi terhadap beberapa jenis hewan lain yang kebuasan atau kejinakannya mirip mereka.

Beberapa waktu yang lalu, Televisi Pakistan (PTV) menyiarkan pernyataan-pernyataan yang sungguh luar biasa. Pernyataan-pernyataan tersebut datang dari keluarga almarhum Bhutto dan Perdana Menteri Pakistan. Intinya, dari pengalaman mereka bernegara selama lebih dari 60 tahun, terbukti sudah bila sistem pemerintahan Amiriyat itu gagal, tidak bisa berjalan. Hanyalah sistem Jamburiyat dimana kedaulatan ada di tangan rakyat – yang bisa berjalan. Ini berarti para pemimpin di belahan dunia tersebut sudah mulai memanfaatkan neo-cortex mereka.

Raja Saudi memfasilitasi dialog interfaith untuk pertama kalinya. Emirat membuka Masjid Agung bagi semua orang, Muslim maupun non-Muslim. Di negara lain, mereka memberi ijin bagi pembangunan gereja setelah seribu tahun lebih. Ini sangat menggembirakan. Makin banyak orang yang memanfaatkan neo-cortex.

Di negeri kita sendiri, malah sebaliknya. Ada partai politik, ada LSM, ada individu-individu yang masih ingin menggantikan landasan kita bernegara. Dari pemanfaatan Neo Cortex sebelumnya, kita malah mau kembali ke lymbic.

Kebhinekaan, dan butir-butir Pancasila itu sepenuhnya selaras dengan Hukum Fisika – meluas, tidak menyempit. Hal ini juga sangat menggembirakan, karena berarti para pemimpin, individu dan lembaga-lembaga yang tidak selaras dengan hukum tersebut akan tersingkir dengan sendiri.

Pancasila Jaya – Indonesia Jaya.

*Aktivis Spiritual