“AHIMSA BUKANLAH BAGI PARA PENGECUT”
Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 31 Maret 2008
Demikian yang pernah terucap oleh Mahatma Gandhi. Dalam beberapa kesempatan, beliau pun menegaskan kembali bahwa orang yang lemah dan tidak mampu membalas kekerasan – bukanlah seorang pelaku Ahimsa, Non Violence atau Tanpa Kekerasan.
Ketika seseorang mampu membalas kekerasan dengan kekerasan, kemudian memutuskan untuk tidak melakukan hal itu – dan membalasnya dengan tindakan Ahimsa, tanpa kekerasan – maka ia adalah seorang pelaku sejati Ahimsa.
Wahai “diriku”, wahai Bali – seperti apakah kita?
Pengecut yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, karena seluruh energi kita terboroskan untuk mengurusi materi – bahkan berdoa pun semata untuk memperoleh rejeki – atau memang sedang melakoni Ahimsa ala Gandhi, ala Buddha, ala Mahavira, dan ala Isa?
Beberapa hari terakhir, hampir seluruh media di Australia membahas pidato Ustad Abu Bakar Basyir yang direkam bulan Oktober tahun lalu oleh seorang siswa sains politik Universitas Australia, Nathan Franklin, yang saat itu tengah mengadakan riset tentang madrasah-madrasah di Jawa Timur. (Sumber: http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,23421343-601,00.html)
Dalam rekaman itu, Basyir menyebarkan pesan-pesan penuh kebencian. Para wisman di Bali khususnya turis Australia disebut “cacing, ulat dan ular” karena dianggap imoral dan kafir.
Kaum muda diprovokasi untuk “mati syuhada” sehingga dosa-dosa mereka dapat diampuni seketika juga. Itulah jalan yang dianggapnya paling mudah untuk memperoleh pengampunan – lagi-lagi “menurut rekaman itu”.
Ia menyerukan agar papan-papan pengumuman ditempelkan diseluruh Indonesia untuk memperingatkan turis bahwa mereka memasuki daerah Muslim dan mewajibkan turis utk menutupi tubuh mereka serta jangan juga lupa untuk “memukuli” turis yang melanggar peraturan.
“Insya Allah, tidak ada kafir di sini,” katanya. “Kalau ada, pukuli saja mereka. Jangan tolerir mereka.”
Pidato tersebut, konon, disaksikan juga oleh para petugas yang tentunya digaji oleh negara dari hasil pajak yang dibayar oleh rakyat.
Padahal dalam pidato tersebut, Basyir juga nampak menyerukan agar pengikutnya menolak hukum parlemen dan mengatakan bahwa mengikuti hukum negara yang mengkontradiksi shariah adalah sebuah tindakan “penghujatan”.
“Jangan takut kalau kau dicap Muslim garis keras,” kata Basyir. “Ini memang harus begitu. Kami tidak dapat mengikuti UU manusia yg konflik dengan UU Allah.”
Saya berharap bahwa berita yang disampaikan oleh Media Australia itu tidak benar. Saya berharap bahwa Ustad Basyir tidak pernah berkata demikian, bahwa beliau tidak pernah menyebarkan kebencian seperti itu. Saya berharap bahwa tim pembela beliau akan segera mensomasi seluruh media Australia, bahkan pemerintah Australia untuk membuktikan keabsahan berita-berita tersebut.
Namun, bila berita itu memang benar, maka saatnya Bali bersuara. Saatnya Bapak Gubernur kita mencetak sejarah sebelum meninggalkan kantor. Pesan-pesan penuh kebencian ini JELAS MERUSAK NAMA BAIK INDONESIA, dan MEMATIKAN BALI yang hingga saat ini masih tergantung pada bisnis pariwisata.
DIAMNYA BALI DALAM KASUS INI, jika kasus ini memang benar, adalah TINDAKAN PENGECUT. Ini bukan Ahimsa.
Perwakilan Partai-partai berasas Islam di Bali, PKS, PBB, PPP mesti bersuara pula, karena “Islam adalah Rahmat bagi Semesta Alam”. Islam adalah Berita Kasih, Keselamatan, dan Kedamaian. Bukan Berita Kebencian.
Berita ini hanya menodai wajah Islam.
Berita ini menodai wajah para pejabat kita, para wakil rakyat kita, para pemimpin majelis-majelis terhormat kita – yang masih mentolerir “penghujatan terhadap ajaran agama”. Mereka yang membiarkan terjadi “penyelewengan tafsir agama untuk menyebarkan kebencian”.
Di manakah engkau, Pimpinan PDIP, dan Golkar, dan Partai Demokrat, PKB, dan partai-partai lain – Indonesia seperti apakah yang sedang kalian perjuangkan? Di manakah nyali kalian ketika mendengar “hujatan terhadap konstitusi”? Di manakah rasa malu kalian terhadap para founding fathers bangsa ini?
Seorang warga Indonesia yang tinggal di Australia malah mengingatkan warga Australia untuk menghargai sentimen warga Muslim karena bagaimana pun juga Indonesia adalah negara Muslim. Demikian dalam suratnya ke salah satu media berbahasa Inggeris di Indonesia. Ini adalah contoh buruk. Ini adalah contoh akan ketidaktahuan warga kita di Australia tentang konstitusi kita. Negara ini bukanlah Negara Islam, Hindu, Buddhis, Kong Hu Cu, Kristen dan sebagainya. Negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan Asas Pancasila.
Bung Karno jelas-jelas mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia diperjuangkan untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk suku dan pemeluk agama tertentu.
Saudara-saudara kita yang hanya mencari selamat bagi dirinya sendiri, mereka yang tinggal di luar negeri semata untuk urusan perut – padahal pengabdian mereka dibutuhkan oleh negara dan bangsa – adalah putra-putri Ibu Pertiwi yang tidak sadar akan kewajiban mereka terhadap air susu ibu yang sedang mengalir sebagai darah dalam tubuh mereka.
Pun, saatnya para Bupati di seluruh Bali bersatu padu, tidak lagi memikirkan kursi dan kantong – tidak lagi mengurusi perizinan untuk hotel-hotel dan apartemen-apartemen mewah yang hanya merusak keindahan Bali – dan secara tegas menolak pernyataan-pernyataan miring yang dilontarkan terhadap Bali dan Indonesia.
Rakyat Bali mesti mendesak Bapak Gubernur, mendesak Ketua DPRD, mendesak para Bupati dan Walikota – untuk segera menghadap Bapak Presiden, Bapak Ketua DPR, dan Bapak Ketua MPR: “Enough is enough….. Mentoleril kezaliman bukanlah Ahimsa.”
Para pejabat kita yang masih mau metolerilnya – ingat, sejarah sedang mencatat nama-nama kalian. Kelak anak-cucu kalian akan merasa malu menyebut nama kalian.
Menghadapi pemilihan Gubernur dalam waktu dekat, makin terasa kebutuhan kita akan sosok seorang Putra Bali yang Berani Bersuara, bukan pengecut, bukan yes-man. Tidak tunduk pada kemauan partai, ketua partai, maupun pejabat pemerintah yang tidak tegas. Tetapi, tunduk pada Kepentingan Rakyat Bali – tunduk pada Impian para Founding Fathers kita – tunduk pada Ibu Pertiwi.
Dan, sebagai Rakyat Bali, kita pun mesti segera meninggalkan kenyamanan ranjang materi yang telah membuat kita terlena. Ranjang ini sia-sia, kenyamanan sesaaat yang sedang kita rasakan sia-sia – bila kita kehilangan Bunda Bali. Putra-putri, anak-anak macam apakah kita yang tidak peduli terhadap Ibu yang telah melahirkan kita?
*Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.californiabali.org/)