AHIMSA – Senjata Para Pemberani, 6 Agustus 2007

AHIMSA – Senjata Para Pemberani

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 6 Agustus 2007

 

 

Ahimsa atau Non-Violence, Tanpa Kekerasan…..

Sedemikian hebatnya wacana yang diangkat dan dipopulerkan oleh Gandhi, Sang Mahatma – sehingga belasan tahun kemudian Martin Luther King, Jr. pun masih dapat mendengarnya. Hampir tak ada satu pun pidato public King, dimana ia tidak mengutip Gandhi.

 

Tetapi, sebenarnya apa sih Ahimsa itu?

Banyak yang kemudian mengaitkan Ahimsa dengan diet vegetarian….. Baik, boleh-boleh saja, tetapi Ahimsa bukanlah sekedar urusan diet.

 

Dalam pengertian Gandhi, Ahimsa adalah sebuah senjata yang sangat ampuh. Senjata yang dapat melelehkan kekerasan. Ya, “melelehkan” dan merubahnya menjadi kelembutan.

 

Ahimsa bukanlah sebuah senjata untuk “melawan”, “meluluhkan” atau “menaklukkan” kekerasan. Ahimsa ibarat senjata kimia yang dapat merubah zat kekerasan menjadi kelembutan. Kemudian, zat kelembutan itulah yang melahirkan Kasih dan Kedamaian dalam hati manusia.

 

Namun, sebelum menggunakan senjata ini – adalah sangat penting bahwa kita memahami definisi kekerasan. Kekerasan itu apa saja, sehingga kita dapat menggunakan senjata Ahimsa secara efektif.

 

Kekerasan yang terjadi di medan perang adalah akibat dari kekerasan yang awalnya muncul dalam pikiran manusia. Begitu pula dengan kekerasan yang dilakukan oleh para teroris, oleh para penjahat dan pembunuh – awalnya berasal dari pikiran.

 

Sebab itu, Ahimsa mesti digunakan untuk merubah kekerasan yang ada dalam pikiran manusia menjadi kelembutan kasih dan kedamaian. Jika kekerasan itu sudah terlanjur mengantar kita ke medan perang, maka senjata Ahimsa sudah tidak seberapa efektif. Saat itu, pikiran kita sudah sangat sulit untuk dikendalikan.

 

Gunakan senjata Ahimsa ketika pikiran kita “baru” kacau…. Ketika “keserakahan” muncul dalam pikiran dan mengacaukannya. Dan, keserakahan itu sendiri adalah akibat dari keinginan yang berlebihan, kemauan yang tak terkendalikan.

 

Seorang buruh dengan gaji dibawah duapuluhribu rupiah menghabiskan seperempat gajinya untuk beli rokok. Ini adalah keinginan yang tak cerdas. Ini adalah kemauan yang merusak. Ini adalah Himsa atau Kekerasan. Keinginan ini yang mesti di proses menjadi lebih cerdas. Kemauan ini yang mesti dirubah menjadi yang lebih berguna. Untuk apa membakar uang?

 

Karena ketidakcerdasan kita, maka perusahaan rokok menjadi besar. Pemilik perusahaan itu menjadi orang terkaya di negeri kita. Dia lupa, bahwa seluruh kekayaan dia adalah hasil dari tindakan Himsa, Kekerasan.

 

Kemudian, sebagian dari uang itu boleh saja disedekahkan, digunakan untu membangun tempat-tempat ibadah, atau untuk membiayai konser, kontes, atau untuk menyelenggarakan even-even lain – semuanya itu tidak dapat menghapus dosa kekerasan yang telah dilakukan oleh si kaya pemilik pabrik rokok itu.

 

Kita belum mengangkat isu kesehatan dan moral….Siapa yang memberi hak kepada seorang perokok untuk membahayakan kesehatan orang-orang lain di sekitarnya? Siapa pula yang memberi hak serupa kepada produsen rokok?

 

Seorang pemabuk hanya merusak kesehatannya sendiri. Jika ia membeli arak dengan mengabaikan kepentingan keluarganya – maka ia pun berdosa terhadap keluarganya sendiri. Ia menjadi beban bagi keluarga – tetapi ia tidak “secara langsung” membahayakan dan merusak kesehatan orang lain, sebagaimana dilakukan oleh seorang perokok.

 

Himsa atau Kekerasan juga dilakukan oleh para pebisnis yang memiliki bisnis sekolahan. Mereka memotivasi orang-orang yang tidak mampu untuk menjadi korup sehingga dapat menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah yang mewah. Seorang pemilik bisnis seperti itu mengatakan dengan bangga, “Inilah satu-satunya sekolah yang memiliki Lapangan Golf Mini!” Bung, Bang, Mas, Bli, anak-anak kita tidak membutuhkan Golf. Berikan mereka teater terbuka dimana mereka dapat menari dan menyanyi bersama tiupan angin. Berikan mereka museum dimana mereka dapat mempelajari budaya mereka. Berikan mereka perpustakaan yang bukan sekedar formalitas, tetapi lengkap dengan segala macam bacaan yang bermutu.

 

Golf telah merusak moral para pejabat dan petinggi kita. Di lapangan-lapangan itulah sering terjadi transaksi-transaksi yang tidak suci. Disanalah negeri kita dijual sepotong demi sepotong. Golf telah menjadi aib bagi bangsa ini. Belajarlah dari pemimpin Korea Selatan yang saat dilanda krisis ekonomi, langsung mengharamkan golf bagi para pejabat dan pegawai negeri. Alhasil, waktu dan energi yang tak terboroskan itu dapat digunakan bagi sesuatu yang lebih penting. Dan, Korea Selatan pun segera pulih dari keterpurukan ekonominya.

 

Kita masih dalam keadaan krisis.

Bukan saja krisis ekonomi, tetapi krisis kesadaran, krisis akhlak, krisis kebangsaan, krisis kepemimpinan….. Tidak, kita tidak membutuhkan lapangan golf.

 

“Orang-orang Korea senang bermain golf”, menurut seorang petinggi kita – maka ia pun membenarkan adanya lapangan-lapangan golf di Pulau Dewata.

 

Ya, ya, ya, Warga Korea datang ke sini untuk bermain golf – supaya lahan di negeri mereka tidak dirusak untuk sesuatu yang tak berguna. Jika lahan di Pulau Dewata dirusak, ya itu urusan para perusak yang adalah Orang-0rang Indonesia sendiri!

 

Merusak taman sari untuk membangun lapangan golf – adalah Himsa, Kekerasan. Merusak Contour bukit untuk membuat lapangan golf – adalah Himsa, Kekerasan.

 

Himsa ada dimana-mana….

Pertunjukan seni, konser, berakhir dengan tindakan kekerasan. Permainan bola, olah-raga, berakhir dengan anarki. Kampanye politik berubah menjadi kampanye cacian dan makian bagi lawan politik.

 

Bahkan, membaca ayat-ayat suci pun anak-anak kita di sekolah diberitakan “kesurupan” oleh media elektronik. Membaca atau mendengar ayat-ayat suci koq malah kesurupan? Sebenarnya, yang terjadi adalah histeria murni. Mereka menjadi histeris. Dan, histeria ini terjadi dimana-mana. Mereka yang main hakim sendiri dan membunuh seorang pencuri biasa adalah penderita penyakit yang sama.

 

Atas nama agama yang semestinya melembutkan jiwa – kita pun melakukan tindakan kekerasan. Kenapa? Karena, Kekerasan atau Himsa telah bersarang di dalam pikiran kita. Pikiran ini yang mesti diolah….. Mind kita, Gugusan Pikiran yang disebut Mind itu, mesti dihancurkan, dilampaui, atau apa pun sebutannya, dan diganti dengan Mind Baru. Mind yang bersifat Ahimsa karena percaya-diri, karena menghargai Nilai-Nilai Luhur Kemanusian, karena beradab dan berbudaya.

 

Merubah kekerasan menjadi kelembutan, Himsa menjadi Ahimsa, bukanlah pekerjaan biasa. Hanyalah seorang pemberani yang dapat melakukan hal itu. Karena, pertama ia mesti menghadapi kekerasan dirinya sendiri. Ia mesti menemukan kekerasan di dalam dirinya. Ia mesti menerima adanya kekerasan itu. Ia tidak boleh mencari pembenaran untuk membenarkan kekerasan itu. Hanyalah setelah itu, ia dapat merubah dirinya.

 

Berita baiknya, pemberani bukanlah jenis manusia yang luar biasa. Keberanian adalah salah satu sifat dasar manusia. Keberanian ada di dalam diriku, dan dirimu, di dalam diri kita semua….. Pemberani itu tak lain adalah diriku, dan dirimu, diri kita!