Bali Beradab, 5 Mei 2008

Bali Beradab

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 5 Mei 2008

Beberapa kejadian di tanah air belakang ini, membuktikan betapa telah merosotnya nilai-nilai luhur peradaban Nusantara. Ketika saya mengatakan bahwa Bali adalah cerminan Nusantara dan bila Bali “hilang” maka Nusantara akan “hilang” – adalah hilangnya peradaban dan kemuliaan inilah yang dimaksud.

Bali adalah pewaris Budaya Nusantara.
Ajeg Bali adalah seruan kepada seluruh bangsa ini untuk kembali kepada nilai-nilai luhur budaya kita sendiri – bukan budaya Barat, bukan Budaya Arab, bukan budaya Cina, dan bukan pula budaya India. Tetapi, Budaya Nusantara.

Satu contoh saja:
Direktorat Jenderal Bimas Hindu dan Budha pernah mengeluarkan maklumat, atau apa sebutannya di masa Orde Baru itu, bahwasanya Gerakan Hare Krishna dilarang. Banyak teman-teman di Parisada saat itu mendukung hal tersebut. Namun, tak ada satu pun warga Hare Krishna yang diancam akan dibunuh, atau dihalalkan darahnya. Tak satu pun tempat ibadah mereka dirusak.

Keadaan ini beda dengan apa yang terjadi terhadap kelompok Ahmadiyah. Beberapa waktu yang lalu, Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) bersama Wahid Institute menggelar konperensi pers, dimana ditayangkan sebuah video yang menampilkan beberapa tokoh yang tidak hanya mencaci-maki Ahmadiyah, Wakil Presiden, Presiden RI-4 Gus Dur dll, tetapi juga menyuruh umat yang hadir untuk “membunuh” warga Ahmadiyah dimana pun mereka ditemukan.

Rekaman tersebut disampaikan kepada pers, kepada pihak berwajib, juga setahu saya kepada Yang Mulia Bapak Presiden. Tidak ada tindak-lanjutnya. Ketika video itu masuk ke You-Tube dan disaksikan oleh seluruh dunia, Metro TV pun menyiarkannya – baru ada tanggapan dari beberapa pihak. Termasuk diantaranya yang malah minta kepada pemerintah untuk mengusut siapa yang memasukkan video tersebut, tanpa menyentuh substansi dari apa yang ada dalam video tersebut. Aneh. Padahal, sejak semula pemerintah sudah memperoleh rekaman video tersebut.

Manusia-manusia yang hanya mengenal satu bahasa “kekerasan” – memang terdapat dimana-mana. Di Bali pun ada. Tetapi, “sekelompok” manusia yang didukung oleh beberapa pihak, termasuk para petinggi – kemudian melakukan kekerasan berkelompok – ini tidak ada di Bali. Dan, tidak boleh ada.

Sayang sekali, bahwa sifat dan tabiat Bali ini tidak dipahami sehingga Munas yang akan digelar oleh warga Ahmadiyah di Bali tidak diizinkan. Sayang, karena setahu saya di Bali tidak ada “kelompok” keras seperti itu. Dengan tidak mengijinkan pertemuan Ahmadiyah demi keamanan atau dengan alasan lain, kita telah mengirimkan sinyal yang tidak baik ke seluruh pelosok Nusantara, bahkan ke seluruh dunia.

Dalam jaman internet ini, apa pun yang terjadi dibelahan dunia mana pun jua, dalam waktu detik sudah menjadi berita umum.

Sebelum mengambil keputusan untuk tidak memberi ijin, seandainya pihak-pihak terkait di Bali menonton rekaman yang sekarang sudah ada di public domain, seandainya beliau juga berkonsultasi dengan para petinggi di pusat yang sudah menerima rekaman tersebut, dan menimbang beberapa pendapat di bawah – barangkali reaksi beliau beda:

Syafei Anwar, Cendekiawan Islam, salah seorang pendiri Cabang Indonesia untuk International Coinference for Religion and Peace: “Dalam konteks Islam, Fatwa tidak memiliki kekuatan Legally Binding, hanya Legal Opinion.”

Ade Armando, Majalah Madina: “,,,,,,,satu-satunya alasan untuk mempersoalkan kehadiran Ahmadiyah adalah soal penafsiran Islam. MUI memang sudah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Dalam konteks demokrasi, mereka tentu berhak untuk mengeluarkan pernyataan semacam itu. Tapi itu tentu saja sebatas penilaian sejumlah ulama yang selalu mungkin salah.

“Bukankah untuk menentukan kapan Iedul Fitri saja, ulama bisa berbeda pendapat?

“Celakanya, sebagian pihak berusaha meyakinkan orang bahwa karena MUI sudah berkesimpulan begitu, itulah kebenaran absolut. Ini menggelikan…….

Sekarang, semua bergantung kepada pemerintah. Secara sederhana, ada kubu pilihan. Yang satu adalah kubu yang menghalalkan kekerasan atas nama agama, yang percaya pada gagasan yang menolak keberagaman, gagasan bahwa hanya ada satu tafsiran tunggal seraya meniadakan yang lain. Di sisi lain, ada kubu yang percaya pada arti penting hak asasi manusia, pada hakberbeda pendapat dan keyakinan, serta hidup dalam suasana yang tidakmerestui kekerasan.

“Semoga pemerintah mengambil pilihan yang benar.”

M. Nasrudin, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pemimpin Redaksi Majalah Justisia: …..fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti) kepada orang yang mengajukan pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya proses istifta’ (pengajuan permohonan akan fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara personal maupun badan hukum kepada mufti.

“Berbeda dengan qadha’, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Artinya, fatwa boleh diikuti atau ditinggalkan, bahkan oleh si pemohon sendiri.”

Apa yang terjadi pada warga Ahmadiyah – dan biarlah saya mengatakan sejujurnya, secara pribadi saya pun tidak setuju 100% dengan pendekatan theologi mereka – merupakan catatan buruk bagi bangsa dan negara ini. Hal ini sudah melanggar konstitusi negara.

Memang diantara para petinggi kita ada yang berpendirian bahwa: “Umat yang lain yang berbeda Tuhan dengan umat Islam kan tidak ada masalah…” Saya berharap – dan saya pun telah menyampaikan langsung kepada beliau – bahwa apa yang tertulis dan tertera pada situs resmi beliau itu salah. Karena, kita semua “tahu” dan “mengerti” bahwa Tuhan itu satu adanya. Banyak agama, banyak jalan, banyak cara menuju Tuhan yang satu dan sama adanya.

Inilah konstitusi kita, Pancasila kita, paham “kebhinekaan” kita. Bali, yang adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban Nusantara tidak pernah punya faham tentang dua, tiga atau empat Tuhan – satu Tuhan untuk masing-masing agama.

Ada yang menegur saya, “Ada apa dengan kamu? Kamu tidak mewakili agama tertentu, kenapa ikut-ikutan dalam hal ini?”

Ikut-ikutan, karena ini adalah persoalan bangsa. Martabat bangsa dan negara yang sedang dipertaruhkan. Warga Ahamadiyah adalah warga negara Indonesia. Dan, jangan lupa, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, One for All, All for One…. negara ini, lanjut beliau, bukanlah untuk satu golongan masyarakat saja, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Dan, saya adalah bagian dari Bangsa Indonesia sama seperti NU, Muhammadiyah, MUI, Ahamadiyah, Parisada Hindu, Walubi, Umat Konghucu, Kristen, Katolik dan lain sebagainya.

Keputusan pemerintah masih ditunggu, dan sebaiknya kita semua sadar bahwa dalam alam keterbukaan ini, pilihan kita hanya satu diantara dua: Bergabung dengan peradaban dunia yang menjunjung tinggi kebebasan, yang mana juga merupakan amanat konstitusi kita sendiri, “atau” bergabung dengan dua negara besar di dunia ini yang masih belum menerima “human rights convention”, silakan anda menebak sendiri negara-negara mana.

Saat ini, dengan adanya aliran dana dari negara-negara tersebut, bangsa dan negara ini memang sedang digiring untuk menjadi bagian dari mereka. Kita dipisahkan dari peradaban dunia, dan hendak dijadikan bagian dari peradaban yang tidak sepenuhnya beradab.

Dalam rangka Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini (3 Mei), Sekjen PBB Ban ki Moon mengingatkan kita akan Universal Declaration of Human Rights, yang telah diratifikasi oleh RI, yakni tentang “kebebasan setiap orang untuk beropini dan berekspresi” – tentu dengan cara yang sopan, beradab, dan tidak menyebar kebencian, juga tidak mengajak orang untuk membunuh orang lain. Sekian.

*Aktivis Spiritual